Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kado Mengejutkan buat Etnis Melayu

Singapura menetapkan calon presiden baru pada 2017 berasal dari etnis Melayu. Menjaga keharmonisan etnis?

21 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI hadapan para pengusaha muslim Singapura, Perdana Menteri Lee Hsien Loong menyampaikan sebuah "kejutan". Selasa pekan lalu, di tengah suasana makan malam, Lee memaklumkan bahwa Singapura akan mempunyai presiden Melayu tahun depan.

Kepada para pengusaha yang menantinya, Lee mempersilakan mereka makan lebih dulu, karena ia mungkin datang terlambat. Topik mengenai siapa yang akan menjadi Presiden Singapura dipastikan tidak mudah dibicarakan di parlemen tanpa debat panjang. Namun amendemen konstitusi yang disodorkan Perdana Menteri Lee itu ternyata berlangsung mulus.

Tiga hari berdebat, parlemen akhirnya meloloskan amendemen yang "pro" minoritas Melayu itu. Hasilnya: 77 suara mendukung, 6 menolak. "Saya menantikan Singapura memiliki presiden Melayu lagi. Ini akan memperkuat masyarakat multiras kita," kata Lee.

Posisi tersebut diperkirakan memperkuat ras Melayu, yang hanya meliputi 13,3 persen dari 5,78 juta penduduk. Sejak 1991, jabatan presiden tidak sekadar simbolis. Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Dengan mandat itu, presiden berwenang menjaga cadangan devisa negara dan memiliki hak veto dalam penggunaannya. Presiden juga berhak mengganti hakim agung, jaksa agung, kepala angkatan bersenjata, dan komisioner polisi.

Keistimewaan lain, seorang presiden di Singapura merangkap pengawas Biro Penyelidikan Korupsi serta boleh mengeluarkan keputusan eksekutif di bawah Undang-Undang Keamanan Internal dan Undang-Undang Menjaga Kerukunan Beragama.

Presiden adalah jabatan penting. Seorang calon presiden harus memiliki kualifikasi antara lain pernah memimpin sebuah perusahaan dengan aset sedikitnya US$ 500 juta (sekitar Rp 6,7 triliun).

Amendemen konstitusi memperjelas nawaitu pemerintah Singapura untuk memelihara harmoni antar-ras, etnis, dan agama. Amendemen ini mengukuhkan: presiden akan diambil dari kelompok mayoritas kedua di negeri itu—Melayu ataupun India. Jika kesempatan diberikan kepada etnis Melayu dalam pemilihan tahun depan, itu karena Melayu merupakan etnis terbesar kedua setelah Mandarin.

Keturunan India, yang mencakup 9,2 persen dari populasi, sebenarnya pernah diwakili oleh Presiden S.R. Nathan, yang wafat beberapa waktu lalu. Presiden dari etnis Melayu terakhir di Singapura adalah Yusof Ishak. Ia menduduki jabatan itu 46 tahun lalu.

Sayangnya, tidak semua kalangan menyambut berita gembira ini. Nizam Idris, ekonom dan pemimpin strategi pasar Macquarie Bank, lewat kolom opininya di Straits Times menyatakan hal tersebut sebagai langkah mundur bagi etnis Melayu.

Dia menyatakan yang paling diperlukan Singapura adalah konsistensi kebijakan, bukan sekadar etnis. "Akan lebih memuaskan jika sebuah kampanye yang ulet berujung pada terpilihnya seorang presiden Melayu, yang layak mendapat jabatan tersebut," tulis Nizam.

Sedangkan Norshahril Saat, peneliti dari Iseas-Yusof Ishak Institute, mengingatkan, meskipun etnis minoritas mendapat keistimewaan untuk menjadi presiden, warga Singapura harus tetap memilihnya berdasarkan kemampuan.

Meski tak tampak di pemberitaan media Singapura, diskriminasi etnis kerap terjadi di Negeri Singa itu. Survei pada 2013 yang dipublikasikan media Malaysia, New Straits Times, menyebutkan kaum minoritas kerap dikesampingkan dalam memperoleh lapangan kerja atau mendapatkan perumahan.

Survei yang dilakukan selama enam bulan itu mengungkap: warga Melayu merasa tidak diterima sebagai bagian dari Singapura. Terkadang mereka merasa dikucilkan.

Sejumlah pengamat juga tidak yakin apakah presiden asal etnis Melayu itu bakal diterima semua kalangan di Singapura. "Yang saya risaukan ialah apakah calon Melayu akan diterima dengan sepenuh hati oleh kaum-kaum bukan Melayu? Apakah mereka akan menerimanya sebagai calon yang betul berkualitas dan layak?" kata mantan wartawan Salim Osman seperti dikutip situs berita Mediacorp.sg.

Dua nama sudah disebut-sebut bakal menjadi calon presiden: Halimah Yacob, ketua parlemen saat ini, dan Abdullah Tarmugi, mantan menteri kabinet yang juga ketua parlemen 2002-2011. Baik Halimah maupun Abdullah tidak mau berkomentar soal dukungan pencalonan mereka. "Yang terutama bagi saya saat ini adalah memberikan yang terbaik bagi Singapura," ujar Halimah diplomatis.

Natalia Santi (Strait Times, New Strait Times, Berita Harian, Beritamediacorp)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus