Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berakhir di Altar Penyihir

Kematian beberapa bocah Afrika—korban praktek ritual pengusiran roh jahat—menguak penyelundupan kanak-kanak kulit hitam ke Inggris. Media massa setempat meramaikan kisah ini selama dua pekan terakhir. Wartawan Tempo Wahyu Dhyatmika melaporkannya dari London, dituliskan kembali oleh Philipus Parera.

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nasib nahas itu datang kepada Cresanta—sebut saja namanya begitu—di suatu hari, dua tahun silam. Gadis berusia 8 tahun itu disiksa hingga sekarat oleh bibinya sendiri serta dua orang teman sang bibi di sebuah flat di sebelah timur London. Sekujur tubuhnya dipukuli, ditendang. Dadanya diiris dengan pisau. Bubuk lombok dijejalkan ke matanya. Setengah sadar dia dimasukkan ke dalam plastik sampah dan dibuang. Toh, nyawa Cresanta terlalu kuat untuk ditumpas.

Dia selamat dan mengadukan azab itu ke polisi: ”Mereka tertawa sambil memukuli saya,” ujar Cresanta. Bocah asal Angola itu menjadi korban ritual pengusiran setan. Bibinya percaya dia kerasukan Kindoki (roh penyihir jahat). Masyarakat Afrika, terutama di Angola, meyakini Kindoki suka merasuki jiwa anak-anak. Orang-orang di sekitar anak yang kerasukan itu akan menderita, sial, bahkan bisa mati.

Kasus Cresanta, yang proses peradilannya baru selesai pada awal Juni, kembali marak dibicarakan. Gara-garanya adalah berita yang dirilis Radio BBC 4 dalam program bertajuk Today, dua pekan lalu. Dalam siaran itu disebutkan, ratusan anak diselundupkan dari Afrika dan berakhir di panggung ritual pengusiran Kindoki. Radio itu mendapatkan bocoran hasil investigasi Kepolisian Metropolitan London yang rencananya baru akan dibeberkan akhir bulan ini.

Yang lebih menghebohkan lagi, menurut laporan itu, aktivitas sesat ini mendapat dukungan dari gereja-gereja independen komunitas Afrika di London. Dugaan ini muncul setelah pihak Scotland Yard menemukan buku catatan milik Sita Kisanga, 35 tahun, salah satu penyiksa Cresanta. Di situ tertulis: ”Dalam acara khalwat pun dia (Cresanta) dinyatakan sebagai ndoki.”

Fakta itu menggelitik polisi untuk mengusut lebih jauh. ”Kami mencari tahu apakah benar gereja terlibat dalam penganiayaan anak,” ujar Detektif Chris Bourlet, Wakil Pemimpin Seksi Perlindungan Anak di Scotland Yard. Apa yang mereka temukan? Ada ratusan gereja komunitas Afrika Barat mempraktekkan ritual pengusiran setan. Kebanyakan berada di sekitar London, di daerah Newham, Hackney, Haringey, Tower Hamlets, Brent Cross, dan Harlesden. Setidaknya ada 31 kasus dalam lima tahun terakhir yang dikaitkan dengan ritual sesat itu.

Kisanga, yang divonis bersalah awal bulan ini, merupakan jemaat gereja Combat Spirituel di Dalston, timur laut London. ”Pendetalah yang meyakinkan kami dia kerasukan roh Kindoki. Kami disarankan untuk membawa anak itu ke gereja agar diselamatkan,” ujarnya.

Ahli masalah gaib, Dr Richard Hoskin, yang menyelidiki kasus penganiayaan anak-anak di gereja-gereja di Haringey dan Hackney, membenarkan hal itu. Pendeta, misalnya, mengatakan kepada orang tua atau pelindung si anak bahwa anak itu telah makan sekerat roti yang ”berisi” Kindoki sehingga roh jahat itu bersarang di dalam dirinya (lihat Setelah Titah Sang Pendeta).

Kepolisian di London lalu menghubungkan temuan-temuan itu dengan hilangnya 299 anak Afrika dan satu anak Karibia pada periode Juli hingga September 2001. Beberapa saksi mengatakan, anak-anak itu dibawa pulang ke Afrika. Polisi menduga mereka telah menjadi korban ritual sesat. Soalnya, hingga saat ini belum ada kabar di mana mereka berada. Pada periode itu polisi menemukan potongan tubuh anak lelaki berusia 4 sampai 7 tahun—disebut sebagai Adam—di Sungai Thames, London.

Setahun sebelumnya, Victoria Climbie, bocah 8 tahun asal Pantai Gading, ditemukan terbaring setengah sadar, lapar, dan hampir beku di sebuah tempat sampah dalam satu flat di pinggiran London. Meski sempat dibawa ke rumah sakit, Victoria tak tertolong. Bibi Climbie dan pacarnya, yang telah divonis penjara seumur hidup, mengaku sempat membawa anak itu ke beberapa gereja untuk disembahyangi sebelum menyiksanya hingga tewas.

Penyiksaan hanya potongan kecil dari masalah yang lebih besar, yakni penyelundupan anak-anak. United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) mencatat, anak-anak Afrika diselundupkan ke Inggris melalui Benin, Pantai Gading, Ghana, Gabon, dan Kamerun. Di Inggris, mereka masuk melalui Bandar Udara Heathrow dan Terminal Eurostar di Stasiun Kereta Waterloo, London. Agustus hingga November tahun lalu saja, polisi Inggris mencurigai ada 1.738 anak yang masuk secara ilegal—12 di antaranya saat ini lenyap tanpa jejak.

Akar masalahnya adalah kemiskinan. Di negeri asalnya, anak-anak itu dijual untuk membayar utang keluarga. Ada yang dititipkan pada agen-agen pencari kerja, ada yang memang dicuri untuk diselundupkan. Mereka dipekerjakan sebagai pembantu, penjual obat-obatan terlarang, atau pelacur. Yang masih bayi dijual kepada pasangan suami-istri tanpa anak.

Jaringan ini sudah lama tercium namun amat sulit dibongkar. Anak-anak itu sendiri takut untuk mengaku. ”Mereka (para penyelundup) mengancam kami akan mati tersambar petir jika membuka rahasia mereka,” ujar Charity Osatin, 14 tahun, kepada harian The Guardian. Saudara dari istri pamannya yang cuma dia kenal sebagai Paman Sam, mengajak dia berlibur. Nyatanya dia dijadikan pelacur. Dia menjalani upacara voodoo sebelum diselundupkan ke London.

Di London, anak-anak ini diasuh oleh ”bibi” atau orang tua angkat mereka. Komunitas Afrika di London bertahan hidup dengan berbagai cara. Dari membuka toko kelontong sampai menjadi buruh kasar. Diskriminasi di bidang pendidikan dan penyediaan lapangan kerja kerap menimpa mereka. Mereka mudah menjadi sasaran kebencian manakala kondisi ekonomi kian berat. Sang Bibi, misalnya, permohonan perpanjangan visanya ditolak sebelum dia mulai menyiksa Cresanta.

Debbie Ariyo, Direktur African Unite Against Child Abuse, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang advokasi dan pencegahan penyelundupan anak, mengatakan, organisasinya sudah menemukan lebih dari 20 kasus penyiksaan anak dengan motif serupa di London. Jalan keluarnya, menurut dia, adalah mendekati gereja-gereja agar mau memelopori perlindungan anak-anak. ”Soalnya, komunitas Afrika sangat menghormati pemimpin gerejanya,” katanya kepada Tempo.

Celakanya, justru para pendetalah yang dituding menyuburkan praktek-praktek sesat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus