Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima panser berderet di sepanjang Jalan Al-Nasr, akses keluar-masuk kampus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Selasa pekan lalu. Setiap panser dijaga empat tentara: satu nangkring di atas kendaraan, tiga lainnya berdiri menenteng senapan. Selain mereka, puluhan polisi bersenjata lengkap duduk santai dan berbincang di depan pintu kampus. Beberapa polisi menyempatkan diri pergi ke warung-yang hanya buka sampai selepas magrib-untuk membeli camilan.
"Mereka masih bersiaga," kata Abdul Azis, pengajar di kampus Al-Azhar, kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Militer mengantisipasi aksi demonstrasi mahasiswa menentang pemerintah pascakudeta.
Bentrokan antara polisi dan mahasiswa pecah pada Jumat dua pekan lalu, menewaskan 14 orang. Sejauh ini, polisi menyatakan telah menahan lebih dari 250 pendukung Al-Ikhwan al-Muslimun, organisasi penyokong Muhammad Mursi, presiden yang dilengserkan tentara pada 3 Juli lalu. Di antara mereka terdapat mahasiswa Universitas Al-Azhar. Ini penahanan yang membabi-buta. Universitas Islam tertua di Mesir itu selama ini dianggap paling netral. Tapi, "Kami tidak akan mentoleransi serangan yang mengancam keselamatan warga Mesir," kata Menteri Dalam Negeri Mesir Mohammad Ibrahim, seperti dikutip Asharq Al-Awsat.
Setelah kerusuhan itu, Dewan Agung Universitas Mesir menyetujui adanya pasal pemecatan mahasiswa dalam aturan kampus jika terbukti terlibat aksi sabotase atau terorisme. Keputusan ini diambil setelah pertemuan dengan Wakil Perdana Menteri Hossam Eissa pada Ahad pekan lalu. Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri memberlakukan undang-undang unjuk rasa yang membatasi aksi demonstrasi.
Pemerintah Mesir memang sedang gencar membabat pendukung dan pengaruh Al-Ikhwan al-Muslimun di negara itu. Langkah pertama, Presiden Adly Mansour mengganti kurikulum pendidikan. Menteri Pendidikan Mahmud Abou el-Nasr menjelaskan buku pelajaran di kurikulum lama memuja-muji Al-Ikhwan sebagai pembawa perubahan bagi Mesir. Dia mencontohkan pembahasan perbedaan antara revolusi dan kudeta; munculnya tokoh Al-Ikhwan, seperti Saad el-Katatni, Usamah Yassin, dan Ayman Nour; serta gambar empat jari yang biasanya menjadi simbol Ikhwan di sampul belakang buku pelajaran sekolah menengah atas.
El-Nasr memerintahkan semua buku ditarik dari peredaran. Saat ini pemerintah telah mencetak satu juta buku pelajaran dengan biaya 2 miliar pound Mesir atau sekitar Rp 3,5 triliun. Semua percetakan dan penerbitan telah diminta mencetak ulang dengan menghilangkan "propaganda" Al-Ikhwan. "Setiap pergantian rezim selalu ada perubahan kurikulum untuk mempromosikan cita-cita penguasa," kata pakar pendidikan Mesir, Kamal Moughit, seperti dikutip Al Monitor. Sebanyak 87 sekolah milik Al-Ikhwan dialihkan pengelolaannya kepada Kementerian Pendidikan.
Al-Ikhwan selama ini dikenal dekat dengan kaum miskin. Dalam pemilu pada 2012, mereka menang berkat suara dari daerah pelosok. Kedekatan itu ditunjang oleh peran organisasi sosialnya. Pemerintah pun membekukan tiga organisasi, yakni Bank Makanan Mesir, Lamset Amal, dan Gawharet Al-Hamd, dari 1.055 lembaga swadaya masyarakat yang diduga berhubungan dengan Persaudaraan-sebutan lain Al-Ikhwan.
Tiga organisasi itu telah menghidupi setengah juta anak yatim, meringankan beban jutaan keluarga, memberi layanan kesehatan, dan mendidik ratusan ribu anak miskin. Gereja turun tangan mengisi kekosongan itu. "Kami siap memberikan bantuan kepada keluarga miskin yang terkena dampak atas keputusan pemerintah, karena kasih Tuhan untuk semua orang," kata Uskup Paul, petinggi Gereja Ortodoks di Mesir, seperti dikutip Daily News Egypt.
Masjid-masjid yang selama ini dikelola Persaudaraan dipindahtangankan ke Yayasan Al-Azhar. Kementerian Urusan Islam Mesir bahkan mengirim pengkhotbah bersertifikat untuk memberikan pencerahan kepada umat mulai Jumat dua pekan lalu. Dua bulan lalu Mesir menangkap 50 ribu pengkhotbah yang tak mengantongi sertifikat. "Al-Azhar dan Kementerian Urusan Islam siap menanggapi setiap kekurangan pengkhotbah dan menyampaikan pesan Islam yang lebih toleran dan terbuka," kata Menteri Urusan Islam Mesir Mohammed Jumaa kepada situs Worldtribune.com.
Rezim berkuasa bersikap semakin keras terhadap Al-Ikhwan setelah aksi pengeboman kantor polisi di Mansoura, Senin tiga pekan lalu. Insiden itu menewaskan 14 orang, yang sebagian besar polisi. Pada September tahun lalu, pengadilan Mesir memerintahkan Al-Ikhwan dibubarkan dan menjadi organisasi terlarang.
Berselang sehari, Mesir menetapkan Al-Ikhwan bagian dari kelompok teroris. Setiap orang yang terkait dengan Al-Ikhwan bisa dijerat dengan undang-undang terorisme dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Pemerintah mengusulkan penetapan ini diakui di Liga Arab, yang beranggotakan 18 negara. Persaudaraan memiliki jaringan hingga ke Maroko, Tunisia, Libya, Gaza, dan Yordania.
Mesir juga memperketat semua hal yang berbau Al-Ikhwan dan teroris. Sebuah iklan perusahaan telekomunikasi asal Inggris, Vodafone, dituduh menyampaikan pesan-pesan teroris. Iklan ini menggunakan bintang iklan boneka populer Abla Fahita. Dalam iklan itu, Fahita berbicara di telepon, dan putrinya, Karkoura, mencari kartu SIM ayahnya yang hilang. Berbicara dengan rekannya, Fahita meminta disiapkan anjing pelacak dari pusat belanja untuk mencari kartu dan membahas karakter lain yang disebut Mama Touta.
Ahmed Spider, seorang blogger, mengatakan Mama Touta adalah nama rahasia Al-Ikhwan. "Itu kode bahwa sebuah mal akan meledak setelah seekor anjing gagal mencari bom di mobil," katanya seperti dikutip Associated Press.
Dia langsung melapor ke jaksa keamanan nasional yang menangani terorisme. Vodafone tidak hanya satu kali ini saja memuat iklan berbau Al-Ikhwan. Pada pertengahan tahun lalu, mereka juga membuat iklan menggunakan aksi demonstrasi. Dua pejabat tinggi Vodafone dimintai keterangan. Tapi Vodafone membantah tuduhan itu. "Tidak ada kepentingan lain di balik iklan itu. Abla Fahita hanyalah sebuah boneka," begitu pernyataan resmi Vodafone.
Menghadapi tekanan pemerintah, Persaudaraan menyiapkan "amunisi". Melalui perwakilan di London, Al-Ikhwan menggugat penggulingan Mursi ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Bekas anggota parlemen Mesir, Abdul Mawgoud Dardery, akan mengurus kasus ini dibantu pengacara hak asasi manusia asal Inggris. "Menurut kami, apa yang terjadi di Mesir adalah kudeta. Situasi ini tidak baik bagi stabilitas negara dan tidak baik bagi stabilitas kawasan," katanya.
Dardery juga menggalang dukungan bagi demokrasi di Mesir ke beberapa kota di Eropa. Namun beberapa negara besar tidak memberikan respons positif. Di antara negara-negara itu adalah Amerika Serikat, yang selalu menyatakan diri peduli terhadap penegakan demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi hukum. "Ketika gelombang itu datang ke Mesir atau Arab, mereka memilih menutup mata," ujarnya.
Selain dengan jalur hukum, Al-Ikhwan punya opsi perang. Bekas anggota Al-Qaidah, Muhammad Tawfic, membeberkan bahwa pemimpin Al-Ikhwan yang kini ditahan, Khairat el-Shater, sedang membangun pasukan garda revolusi, seperti satuan elite militer Iran. Al-Ikhwan akan merekrut 30 ribu orang dari jaringan Islam di Jazirah Arab dan 20 ribu lagi dari Al-Qaidah. Mereka akan dilatih enam bulan dan memiliki loyalitas tinggi kepada pimpinan. "Mereka akan melawan," kata Tawfic dalam wawancara dengan televisi swasta lokal, Al-Mehwar.
Eko Ari Wibowo, Gamal El Nasr (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo