Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH bercat putihserta berkusenkayujati di Jalan Ngemplak, Kelurahan Sidorejo, Tuban, Jawa Timur, itu tertutup rapat. Rabu petang pekan lalu, ketika Tempo mendatangi rumah tersebut, tampak lampu terasnya menyala terang. Itulah rumah Rudy Santoso, terpidana kasus narkoba yang pekan lalu dibebaskan Mahkamah Agung.
Kepada Tempo, beberapa tetangga Rudy menerangkan bahwa rumah tersebut tak lagi berpenghuni. "Sudah dijual Rudy beberapa bulan lalu," ujar seorang tetangga Rudy yang minta namanya tak ditulis. Menurut dia, Rudy berdiam di rumah tersebut sejak 2008.
Kakak Rudy, Untung, yang tinggal tak jauh dari situ, mengakui rumah tersebut memang sudah dijual. "Sekarang dia pindah ke Probolinggo," kata Untung. Pengacara Rudy, Budi Sampurno, mengatakan Rudy kini tengah menenangkan diri. Kasus tersebut telah membuat pria 42 tahun itu mengalami stres. Menurut Budi, kliennya sudah mengetahui putusan MA sejak tahun lalu. Petikan putusan itu dikirim oleh Pengadilan Negeri Surabaya. "Dia masih trauma, masih enggan tinggal di Surabaya, takut dijebak lagi. Dia juga tidak mau bertemu dengan wartawan," ujar Budi.
Kendati sudah ada sejak hampir setahun silam, pengumuman bebasnya Rudy tersebut baru dikeluarkan secara resmi oleh MA pada Jumat awal Januari itu. Pengumuman itu tertuang di situs resmi MA. Mahkamah Agung mengoreksi putusan Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang menghukum Rudy empat tahun penjara karena dinyatakan terbukti memiliki 0,2 gram narkoba. Hukuman yang menurut Budi sangat jauh dari rasa keadilan.
Kejadian itu bermula pada Ahad, 7 Agustus 2011, di rumah kos Rudy Santoso di Jalan Rungkut Asri RL 3A Nomor 23, Surabaya. Sore itu, sekitar pukul 16.00, tetangganya, Susi, yang hanya dikenalnya sepintas, tiba-tiba meminta izin memakai kamar mandinya. Rudy tak keberatan.
Beberapa menit setelah Susi masuk kamar mandi, Rudy terkejut ketika tiba-tiba empat polisi merangsek ke kamar kosnya. Mereka juga masuk toilet, lalu memerintahkan Rudy mengeluarkan narkoba yang dimilikinya. Rudy terbengong-bengong. Ia tak paham instruksi polisi itu. Belum lagi keheranannya hilang, seorang polisi menyatakan menemukan sebuah plastik berisi kristal putih di balik kloset kamar mandinya. Menurut polisi, bubuk itu sabu-sabu. Belakangan, polisi menyatakan sabu-sabu itu beratnya 0,2 gram.
Tak ada saksi mata yang melihat "penggerebekan" itu. Susi, yang terakhir menggunakan toilet, saat itu juga dibiarkan pergi oleh polisi. "Tak ada yang dilibatkan sebagai saksi, begitu juga Pak RT," kata Yudi, petugas keamanan di Jalan Rungkut Asri.
Malam itu juga Rudy diangkut ke kantor polisi. Selama pemeriksaan, tak ada kuasa hukum yang mendampinginya. Padahal tuduhannya serius. Ia diancam hukuman lima tahun penjara. Sejak malam itu, dia menjadi tahanan polisi sekaligus menyandang status tersangka. Menurut Budi, selama pemeriksaan dan ditahan, kliennya kerap disiksa.
Pada 1 Maret 2012, Pengadilan Negeri Surabaya memvonis Rudy empat tahun penjara. Dia juga diwajibkan membayar denda Rp 800 juta. Di tingkat pengadilan selanjutnya, pada 22 Mei 2012, Pengadilan Tinggi Surabaya memperkuat putusan pengadilan negeri. Sejak itu pula ia mendekam di Rumah Tahanan Medaeng, Surabaya. Tak merasa bersalah, Rudy melawan. Dia mengajukan permohonan kasasi.
Hakim kasasi rupanya melihat keganjilan rangkaian kasus Rudy. Pada 22 Oktober 2012, majelis hakim kasasi yang diketuai Mayor Jenderal Timur Manurung dengan anggota Salman Luthan dan Andi Samsan Nganro membebaskan Rudy. Putusan pembebasan Rudy itu dijatuhkan bulat. Menurut majelis hakim, kasus tersebut rekayasa polisi. "Rudy dijebak atas kepemilikan 0,2 gram sabu," demikian bunyi petikan majelis kasasi.
Budi Sampurna bertemu tak sengaja dengan Rudy di Rumah Tahanan Medaeng. Ketika itu, pengacara Surabaya ini tengah mengunjungi kliennya yang mendekam di sana. Kepada Tempo, Budi bercerita, di sela-sela kunjungannya itulah dia kerap berbincang-bincang dengan Rudy. "Sejak awal dia menyatakan dijebak polisi," ujar Budi.
Budi tak segera menawarkan bantuan. Dia menunggu proses banding yang sedang diajukan Rudy. Sesudah mempeÂlajari kronologinya dan mengenal Rudy, Budi yakin Rudy tak bersalah. "Setelah putusan di tingkat banding kalah, saya pun membantu dia di tingkat kasasi," ujarnya. Budi membantu membuatkan memori kasasi.
Akhirnya putusan kasasi pun membuahkan hasil seperti yang mereka harapkan. Para hakim mempertimbangkan soal Susi yang tak dijadikan saksi atau tersangka. "Ada kejanggalan yang sangat menarik dalam perkara ini dan sangat logis apabila terdakwa merasa dijebak oleh pihak kepolisian," kata majelis hakim.
Hakim Mahkamah juga mempertanyakan hakim pengadilan negeri dan tinggi yang tak mengungkap kebenaran material dengan membiarkan Susi tak dihadirkan dalam persidangan. Padahal keberadaan Susi diperoleh dari keterangan para saksi, baik yang dari kepolisian maupun dua saksi di lokasi dan keterangan Rudy. Majelis juga mempertanyakan masuknya polisi setelah Susi menggunakan toilet dan menyiramnya. "Apakah penyiraman kloset tersebut merupakan bagian dari tanda untuk penjebakan polisi, agar segera masuk ke kamar terdakwa, dan Susi langsung keluar?" demikian bagian lain dari bunyi putusan kasasi itu.
Tidak adanya saksi di luar kepolisian saat terjadi penggeledahan dan penggerebekan ini dinilai cacat hukum oleh para hakim agung itu. Padahal keberadaan saksi di luar kepolisian penting untuk mendapatkan keterangan yang netral dan obyektif. Saksi itu, misalnya, ketua RT dan ketua RW.
Majelis hakim juga menyoroti hak terdakwa yang terabaikan karena tak didampingi kuasa hukum. Juga tak adanya pemeriksaan urine. Padahal, menurut para hakim, hasil tes ini dapat membantu polisi menyimpulkan Rudy sebagai pemakai atau pengedar. "Dengan tidak disertakannya tes urine dalam perkara terdakwa, sangat kental aroma penjebakan oleh aparat," demikian kesimpulan para hakim. Atas dasar itulah majelis lantas membebaskan Rudy.
Bebasnya Rudy membuat Kepolisian Daerah Surabaya kini mesti membolak-balik berkas Rudy lagi, menelisik siapa saja penyidik yang menanganinya.
Menurut juru bicara Kepolisian Daerah Jawa Timur, Ajun Komisaris Besar R. Bambang T.B., pihaknya akan memeriksa para penyidik yang menangani kasus Rudy. "Kalau terbukti melakukan kesalahan merekayasa kasus, akan diambil tindakan," kata Bambang, Kamis pekan lalu.
Tapi Bambang tak percaya jika penyidik melakukan rekayasa. Sebab, ujar dia, jika ada rekayasa, jaksa bisa melihat dan menyatakan berkas tak lengkap. Soal tidak adanya pemeriksaan urine, kata Bambang, itu karena berkasnya sudah cukup. Karena penyidik menemukan bukti Rudy memiliki narkoba, menurut dia, tes urine tak diperlukan. "Rudy memang sebelumnya tidak pernah terjerat kasus kriminal, tapi dia berkali-kali memesan dan membeli narkoba," tutur Bambang.
Pengacara yang juga penggiat antinarkoba Henry Yosodiningrat menilai penjebakan oleh polisi seperti dalam kasus Rudy memang sangat memungkinkan bisa terjadi. Apalagi selama ini aparat hanya memperhitungkan target operasi. "Ukurannya dilihat dari banyaknya keberhasilan menangkap pemakai narkoba. Lantas bagaimana dengan daerah yang sepi? Nah, di sini rekayasa bisa terjadi," kata Henry.
Henry, yang juga Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat), meminta polisi tak memprioritaskan proses hukum kepada pengguna narkoba. "Dahulukan rehabilitasinya," katanya.
Yuliawati, Sudjatmiko (Tuban), Moh Syarraf (Surabaya)
Dijebak di Jalanan, Dibebaskan di Mahkamah
Beberapa kali Mahkamah Agung membebaskan tersangka kasus narkoba yang sebelumnya ditangkap polisi dan dijatuhi hukuman pengadilan. Semuanya ternyata hanya rekayasa polisi.
Kasus Ferry Franata
Peristiwa:
Pada 19 Maret 2012, sekitar pukul 22.00, di loket masuk tempat parkir Diskotek Kantor di Jalan Semut, Surabaya, Ferry Franata, 22 tahun,bersama temannya, Afid Satya Pardana, ditangkap polisi. Saat itu keduanya hendak menghadiri pesta ulang tahun kekasih Afid. Polisi menemukan ekstasi 3,3 gram di dalam dompet di saku celana panjangAfid. Keduanya diajukan ke pengadilan.
Mahkamah Agung:
Keputusan MA pada 22 Mei 2013 dengan ketua majelis Artidjo Alkostar serta dua hakim anggota Suryadjaya dan Sri Murwahyuni membebaskan dan menganulir vonis empat tahun yang dijatuhkan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi kepada Ferry dan Afid.
Majelis menilai Ferry dijebak dan dipaksa. Sebelum membuat berita acara, Ferry dibawa ke hotel. Di sana dia dipukuli dan dipaksa mengakui ekstasi itu miliknya. Selama proses pengadilan, jaksa tak menghadirkan saksi di luar pihak polisi dan Afid, yang kepada polisi menyatakan ekstasi itu milik bersama. Hakim MA menilai itu cacat hukum. Selain itu, tak dapat dibuktikan adanya aliran uang dari Ferry untuk membeli ekstasi tersebut.
Kasus Ken Sat alias Cong Ket Khiong
Peristiwa:
Pada 20 Juni 2009, dua polisi menghentikan Ket San, 26 tahun, yang mengendarai sepeda motor, dan memintanya menepi di dekat ruko di Jalan Raya Parit Baru, Sambas, Kalimantan Barat. Saat menggeledah, polisi menemukan dua pil ekstasi di plastik yang tergeletak di lantai parkir ruko. Pengadilan Negeri Sambas dan Pengadilan Tinggi Pontianak memvonis Ket San empat tahun penjara. Sejak di Pengadilan Negeri, Ket San mengaku diperas polisi Rp 100 juta.
Putusan Mahkamah Agung:
Permohonan kasasi yang diajukan Ket San dikabulkan pada 27 Juli 2010 oleh majelis yang diketuai Imron Anwari dengan anggota hakim Surya Jaya dan Achmad Yamanie. Majelis menyoroti saksi yang hanya berasal dari kepolisian dan pemerasan yang dialami Ket San. Ket San menggugat balik polisi pada 26 Oktober 2010 tapi Mahkamah Agung menolak gugatannya.
Kasus Andika Tri Oktaviani
Peristiwa:
Pada Selasa, 5 Oktober 2010, sekitar pukul 03.00, Andika, 22 tahun, saat berkendaraan dengan temannya bernama Seno di Jalan Jenderal Sudirman Bawah, Kemang, Prabumulih, dicegat polisi. Saat diperiksa, tiba-tiba dompet Andika jatuh dari tangan polisi. Polisi meminta Andika memungutnya, tapi dia menolak. Kedua polisi, Wendy Kurniawan dan Robil Asbar, menemukan sabu-sabu 0,11 gram di dalam dompet itu. Mereka diproses hukum.
Mahkamah Agung:
Pengadilan Negeri Prabumulih dan Mahkamah Agung membebaskan Andika dari dakwaan kepemilikan sabu 0,11 gram.
Dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada 13 Juli 2011 yang diketuai hakim agung Rehngena Purba dengan anggota Soltoni Mohdally dan Zaharuddin Utama, majelis mempertanyakan Seno yang tak pernah dijadikan saksi dan tak jelas keberadaannya.
Kasus Benny dan Iwan
Peristiwa:
Benny, 31 tahun, dan Iwan, 33 tahun, ditangkap dua polisi di tempat parkir Hotel Pesona, Banjarmasin, pada 25 Oktober 2010. Polisi menyatakan menemukan bungkus rokok berisi 0,31 gram sabu di pelataran parkir. Di kantor polisi, keduanya dipukuli dan dipaksa mengakui memiliki sabu tersebut.
Versi polisi: Iwan menerima panggilan telepon dari orang yang tidak dikenal yang hendak memesan sabu pada 25 Oktober 2010. Iwan menyanggupi dengan membeli sabu di Gang Jamaah, Banjarmasin. Sabu diantar ke Hotel Pesona. Di sinilah mereka digerebek polisi. Pengadilan Negeri Banjarmasin dan Pengadilan Tinggi menghukum keduanya lima tahun penjara.
Mahkamah Agung:
Majelis hakim yang diketuai Imron Anwari dengan anggota hakim Surya Jaya dan Nyak Pha menyoroti proses penggerebekan yang tidak disaksikan pihak yang netral di luar kepolisian. Keduanya dibebaskan.
Yuliawati/berbagai sumber
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo