Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warih Kurniawan tak berpikir panjang ketika diminta berangkat ke Fukushima, Ahad dua pekan lalu. Dia ditugasi menjemput warga Indonesia yang melapor ke Kedutaan Besar Indonesia di Tokyo dan minta dievakuasi. Padahal, sehari sebelumnya, terjadi ledakan di reaktor nuklir di daerah itu. ”Pokoknya langsung saya iyakan saja,” katanya saat dihubungi pekan lalu.
Warga Indonesia yang bekerja di Tokyo, Jepang, ini membawa mobil yang cukup menampung 10 penumpang. ”Sasaran kami enam orang,” katanya. Sekitar pukul 3 sore, dia dan Yan Surono, yang sehari-hari menjadi guru di sekolah Indonesia di Tokyo, berangkat menuju Fukushima.
”Jalannya susah…,” ia mengisahkan. Sejak gempa berkekuatan 8,9 skala Richter mengguncang Jepang pada Jumat sebelumnya, banyak jalan yang rusak. Apalagi, di tengah perjalanannya, hari sudah mulai malam. Dalam gelap- gulita, Warih harus lebih awas pasang mata karena banyak bagian jalan yang hancur, ambles, atau malah patah. ”Ada yang ambles separuh,” katanya.
Jalan tol yang mereka lewati pun sunyi senyap. ”Kami sendirian.” Jalan tol memang ditutup. Hanya mobil aparat dan mereka yang membawa surat khusus yang bisa melintas.
Situasi mencekam itu tak menciutkan nyali Warih. Sekitar pukul 10 malam, dia tiba di kawasan Iwaki, sekitar 45 kilometer dari lokasi instalasi nuklir di Fukushima Daiichi. Satu per satu warga Indonesia dia datangi. ”Mereka takut,” kata pria 30 tahun ini. ”Mereka ingin segera meninggalkan Fukushima.”
Setelah beres menjemput saudara-saudara setanah air itu, mobil yang disopiri Warih langsung kembali menuju Tokyo. Tentu bukan tanpa rasa cemas. Bahaya radiasi nuklir membayangi. Warih dan rombongan harus kembali berhati-hati memilih jalan, agar jauh dari kawasan bahaya yang telah ditetapkan pemerintah. ”Kami jalan sambil lihat GPS,” kata Warih.
Begitu sampai di Tokyo, semua langsung ke rumah sakit untuk dicek. ”Hasilnya semua nol.” Tidak ada yang terpapar radiasi. Lega.
Kekhawatiran Warih dan warga Indonesia di Fukushima bukan tanpa alasan. Senin itu juga, ledakan kembali terjadi di reaktor 3. Sehari kemudian, letusan terdengar dari reaktor 2 dan 4. Rabu pekan lalu masih ada insiden kebakaran.
Di kota yang berjarak sekitar 20 kilometer dari instalasi nuklir Fukushima Daiichi, yakni Minamisoma, warga telah diminta menyingkir, sesuai dengan seruan Perdana Menteri Naoto Kan. Warga yang harus mengungsi ini sebanyak 50 ribu orang.
Warga bagian lain kota yang jaraknya 20-30 kilometer dari reaktor diminta tetap di dalam rumah. ”Tolong tetap di dalam rumah. Tutup jendela, dan buat rumah Anda kedap udara,” Kepala Sekretaris Kabinet Yukio Edano mengingatkan. Jumlah warga di kawasan ini sekitar 140 ribu orang.
Kendati berada di zona yang aman pun, banyak warga yang meninggalkan rumahnya. ”Di sebelah saya, ada satu keluarga yang meninggalkan Fukushima,” kata Warih, yang Rabu pekan lalu naik kereta dari Tokyo menuju Osaka untuk menemui anak dan istrinya. ”Mereka takut dengan ledakan di instalasi nuklir itu.” Tragedi Chernobyl di Ukraina pada 1986 terbayang di pelupuk mata.
Tak hanya ketakutan yang mencekam batin warga. Warga dan pejabat Fukushima mulai marah. ”Kegelisahan dan kemarahan yang dirasakan warga Fukushima telah mencapai titik didih,” kata Gubernur Fukushima Yuhei Sato. Di tempat pusat krisis dan tempat penampungan pengungsi tak ada cukup makanan panas, yang sangat dibutuhkan. Bahkan-bahan kebutuhan dasar lain pun sangat terbatas. Dia juga mengkritik persiapan evakuasi seandainya keadaan memburuk.
Kedutaan Besar Indonesia di Tokyo kembali bergerak Rabu pekan lalu. Tim penjemput kembali dikirim ke Fukushima. ”Hingga jarak 50 kilometer dari Fukushima, tak ada lagi warga Indonesia,” kata Duta Besar Indonesia untuk Jepang, M. Lutfi. ”Kecuali memang ada yang tidak mau dievakuasi.”
Warga Indonesia di Fukushima yang terdaftar ada 82 orang, tapi yang mengungsi ke Tokyo 32 orang. Menurut Lutfi, memang ada yang tidak mau dievakuasi karena dijamin oleh perusahaan tempatnya bekerja.
Belakangan, tak hanya warga Fukushima yang merasa ketakutan. Di Ibaraki, arah selatan dari Fukushima, warga juga sangat khawatir. Tingkat radiasi di daerah ini pada pertengahan pekan lalu mencapai 300 kali dari tingkat radiasi normal. Radiasi dalam tingkat rendah juga terdeteksi di Tokyo, yang berjarak sekitar 220 kilometer. Di ibu kota ini, tingkat radiasi 10 kali dari tingkat radiasi normal.
Kendati pemerintah menyatakan radiasi itu tak berbahaya bagi manusia, banyak warga mulai meninggalkan kota. ”Di kereta yang saya tumpangi menuju Osaka, banyak orang yang meninggalkan Tokyo,” kata Warih. Beberapa temannya sudah membeli tiket untuk meninggalkan Tokyo.
Sejumlah perusahaan penerbangan dari Asia dan Eropa pun membatalkan penerbangan ke Tokyo. Air China membatalkan penerbangan dari Beijing dan Shanghai. Lufthansa mengubah rute penerbangan hariannya ke Tokyo menjadi ke Osaka dan Nagoya. Demikian juga EVA Air Taiwan, British Airways, dan Virgin Atlantic. Pekan lalu tercatat ada penumpang pesawat tujuan Korea Selatan dan Taiwan yang terpapar radiasi dalam tingkat yang cukup tinggi.
Beberapa negara telah meningkatkan pula kewaspadaan atas barang impor dari Jepang, terutama makanan dan minuman, karena ditengarai terkontaminasi radiasi yang membahayakan kesehatan.
Sementara itu, banyak perusahaan multinasional memindahkan karyawannya. Bahkan kedutaan beberapa negara juga telah menyarankan warganya agar meninggalkan Tokyo. Cina mengevakuasi warganya. Inggris menyewa pesawat untuk mengeluarkan warganya dari Tokyo. Demikian pula Prancis, Amerika, dan Australia.
Indonesia, menurut Lutfi, sementara ini memutuskan tidak mengevakuasi warganya dari Tokyo. Ia mengaku mendapat masukan dari 11 ahli nuklir Indonesia yang sedang di Jepang. ”Menurut mereka tidak apa-apa,” katanya.
Mereka yang memilih tinggal harus menghadapi masalah lain, terutama mengenai bahan kebutuhan pokok, yaitu makanan. Di supermarket atau toko-toko di Tokyo banyak terlihat antrean orang membeli bahan makanan untuk stok. Di kawasan tempat tinggal Warih, yaitu di Ibsugi di pinggiran Tokyo, warga harus antre sekitar 100 meter untuk membeli bahan makanan di supermarket. ”Antrean sampai ke luar toko,” Warih menggambarkan. Listrik yang hanya mengalir secara bergiliran membuat toko dan supermarket buka bergantian dan tak penuh hari.
Di instalasi Fukushima Daiichi, ”Fukushima 50” tengah menyabung nyawa untuk mengendalikan reaktor agar tak lebih membahayakan. Hingga pekan lalu, 700 karyawan telah dievakuasi, dan hanya meninggalkan sekitar 50 orang. Mereka inilah yang disebut ”Fukushima 50” atau seperti pasukan kamikaze pada masa perang dunia dulu.
”Saya tidak tahu bagaimana menyebutnya, tapi ini seperti pasukan bunuh diri dalam pertempuran,” kata Keiichi Nakagawa dari Departemen Radiologi University of Tokyo Hospital. ”Kami belum tahu kerusakannya,” kata Minoru Ohgada, juru bicara Badan Keselamatan Nuklir Jepang. ”Bisa jadi melebur, atau mungkin ada lubang.”
Memang ada ahli yang mengatakan situasi sudah tak berbahaya. Tapi sebagian pengamat menyatakan tingkat kecelakaan di Fukushima ini masuk kategori berbahaya. Dalam level bahaya standar internasional (1-7), Fukushima berada di level enam. Tingkat tujuh untuk insiden Chernobyl, dan level lima untuk insiden reaktor nuklir Three Mile Island di Pennsylvania pada 1979.
Menghadapi ancaman bahaya itu, harapan sekarang bergantung sepenuhnya pada pasukan ”Fukushima 50”.
Purwani Diyah Prabandari (BBC, NHK, MSNBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo