Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rigoletto Tapas Lounge, Senin pekan lalu, terlihat lengang. Tak ada orang bersantai di restoran yang biasa dipadati kaum berduit Jepang itu. Restoran yang beken dengan hidangan Spanyol dan anggur ini lumpuh setelah gempa berkekuatan 8,9 skala Richter yang disusul dengan tsunami menghantam Sendai, Jepang, Jumat dua pekan lalu.
”Semuanya terasa seperti mimpi. Saya seolah berada dalam sebuah adegan film,” kata Ichiro Sakamoto, 50 tahun, warga Kota Hitachi, sekitar 129 kilometer ke arah utara dari Tokyo. Dia melihat langsung perahu nelayan terlempar ke daratan oleh kedahsyatan gelombang tsunami.
Defny S. Wewengkang, 37 tahun, warga negara Indonesia yang tengah menempuh studi di Universitas Tohoku, Sendai, Jepang, bersama suami dan dua anaknya ikut tunggang-langgang. Saat itu mereka tengah berada di bangunan berlantai sepuluh di dalam kampus. ”Guncangannya kuat sekali. Saya langsung lari keluar lewat tangga darurat,” ujar Defny, yang ketika itu berada di lantai enam.
Situasi Sendai sore itu, menurut Defny, begitu mencekam. Seusai gempa dahsyat, salju lebat langsung mengguyur. ”Sore itu memang suasana terasa berbeda. Dua hari sebelumnya juga sudah terjadi gempa,” ujarnya. Tak berapa lama, blarrr! Gelombang air setinggi 10 meter pun memporakporandakan wilayah Jepang bagian timur itu.
Kazuaki Sakai, 70 tahun, menyaksikan dari sebuah bukit saat gelombang tsunami menerjang kota. ”Pertama laut seolah menarik kembali air ke tengah dan membuat pusaran air, kemudian air dibalikkan setinggi 10 meter,” katanya. ”Semua hitam. Saya bisa melihat bagian bawah (laut) itu terus berputar hingga sepuluh kali dalam waktu satu setengah jam.”
Gempa dan tsunami telah membuat pulau utama Jepang bergeser 2,5 meter dan poros bumi berpindah 10 sentimeter. Sendai, wilayah yang paling dekat dengan pusat gempa, luluh lantak.
Bandar udara Sendai tak luput dari amukan tsunami, yang mengakibatkan sebuah pesawat terlontar di antara puing rumah. Sebuah kapal barang besar tersapu hingga ke wilayah daratan di jalanan Prefektur Miyagi.
Sendai berubah menjadi lautan air hitam penuh dengan puing. Tak ada lagi pertanian dan lahan hijau. Hanya tersisa bangunan-bangunan kampus, seperti Universitas Tohoku, yang sempat menjadi tempat pengungsian warga.
Setelah tsunami, suasana di jalanan Sendai masih mencekam. Listrik mati, akses komunikasi tersendat, dan jalan ditutup. Hanya Internet kadang masih berfungsi. ”Itu saya manfaatkan untuk update status di Facebook, memberi kabar ke keluarga di Indonesia,” kata Defny, yang sudah tinggal di Sendai tiga tahun terakhir.
Untunglah kereta bawah tanah masih beroperasi. Namun kereta ke Tokyo dan kota lain terhenti. Perjalanan ke Tokyo, yang biasanya cukup ditempuh dalam waktu dua jam, sekarang mencapai sepuluh jam mengendarai mobil. Sedangkan pasokan bahan bakar di Sendai menipis. Warga yang selamat harus bertahan di tempat pengungsian dengan kondisi mengenaskan. Tanpa penghangat badan, dengan makanan terbatas.
”Dari Jumat hingga Minggu, kami hanya makan biskuit. Pemanas mati, padahal salju sangat tebal,” ujar Henki, ayah dua anak, warga Indonesia. Pompa bensin mulai beroperasi kembali pada Selasa pekan lalu meski dengan stok terbatas.
Diperkirakan lebih dari 10 ribu orang tewas di Sendai dan 20.820 bangunan hancur atau rusak parah. Perdana Menteri Jepang Naoto Kan mengatakan negaranya menghadapi krisis terbesar sejak akhir Perang Dunia II, saat Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Presiden Palang Merah Jepang Tadateru Konoe mengatakan situasi pasca-gempa-tsunami mirip dengan keadaan wilayah Osaka dan Tokyo pasca-Perang Dunia II. ”Sepanjang karier saya di Palang Merah, ini adalah yang terburuk yang pernah saya lihat,” ujarnya. Gempa terbesar di Jepang terakhir kali terjadi pada 1995, yang menghancurkan Kobe, kota terbesar keenam di Jepang.
Meski kotanya rusak parah, tidak ada eksodus dan warga tak ketakutan. Tak ada pula penjarahan. ”Saya paling hanya satu atau dua minggu pulang ke Indonesia. Nanti akan kembali ke Sendai,” kata Defny.
Suryani Ika Sari (AP, BBC, Reuters, Washington Post, NHK)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo