Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=brown>TERORISME</font><br />Teroris Muda dari Buntalan

Seorang remaja di Klaten didakwa melakukan aksi terorisme. Karena usianya di bawah umur, sidang dilakukan tertutup.

21 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah pengawasan dua guru, dua petugas kejaksaan, dan dua petugas penjara, ia mengerjakan 40 soal ujian akhir sekolahnya. Sesekali Aria, demikian saja kita sebut namanya, mengerutkan kening. ”Apa maksud arsiran ini?” tanyanya menunjuk kertas ujiannya. Seorang guru menjelaskan, lalu ia dengan cepat mengerjakan soal itu. Tak lebih dari dua jam, Aria menyelesaikan ujian itu.

Kendati memakai seragam sekolah, baju putih dan celana abu-abu, Aria memang tak mengerjakan ujian itu di sekolahnya, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri II Klaten, Jawa Tengah. Remaja 17 tahun jurusan mesin ini mengerjakan ujian di aula Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Klaten. Demikian pula saat ia mesti melakukan ujian praktek yang dilakukan hari itu.

Diawasi guru, staf kejaksaan, serta sipir, ia membuat alat mesin pres dari bahan aluminium di aula penjara. ”Mestinya bahan bakunya besi dan waktunya sehari. Tapi kami ganti aluminium agar lebih mudah dibentuk karena waktu yang disediakan terbatas,” ujar Purwoko, salah satu guru yang mengawasi ujian itu. Ketika Aria mengerjakan ujian, seorang petugas kepolisian bersenjata berjaga-jaga di pintu gerbang penjara.

Ujian akhir sekolah mestinya diikuti Aria pada 28 Februari dan 1 Maret lalu. Tapi saat itu Aria tengah menjalani pemeriksaan dan mendekam di penjara. Remaja asal Desa Buntalan, Klaten, ini tersangkut masalah gawat. Dia dituduh terlibat aksi dan jaringan terorisme.

Sebenarnya pihak sekolah minta ujian untuk Aria dilakukan di sekolah saja. Pertimbangannya, perlengkapan ujian, terutama untuk praktek, sudah tersedia lengkap. Tapi, lantaran berlikunya prosedur perizinan, pihak sekolah menyerah: ujian dilakukan di dalam penjara. Maka, Selasa pekan lalu itu, sekitar pukul 07.00 Aria digiring ke aula. Semua perlengkapan, termasuk perangkat membuat mesin pres, hari itu juga dikirim dari bengkel sekolahnya ke penjara. Sekitar pukul 15.00, setelah semua ujian itu selesai, Aria kembali digiring masuk selnya.

l l l

ARIA ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror pada 25 Januari lalu di rumahnya, Desa Buntalan, Klaten. Sulung dari tiga bersaudara yang dikenal santun di sekolahnya itu ditangkap bersama dengan sejumlah tersangka teroris lainnya di kota yang terletak di antara Yogya dan Solo ini. Selain menangkap Aria, saat itu Densus membekuk enam orang yang dituduh melakukan serangkaian aksi teror­isme.

Mereka, antara lain, berasal dari Desa Merbung, Mutihan, Jombarang, dan Desa Karangpakel. Semuanya di Klaten. Dari semua yang ditangkap itu, yang termuda Aria. Menurut Densus, bersamaan dengan penangkapan tersangka teroris yang berumur 17 hingga 21 tahun itu, ditemukan pula sekitar 60 jenis barang bukti yang diduga berhubungan dengan aksi teror mereka.

Lantaran masih di bawah umur, sidang Aria digelar dalam ruang tertutup. Yang hadir hanya hakim, jaksa, pengacaranya, dua petugas penjara, serta kedua orang tuanya, Partono dan Mastuti. Hakim, jaksa, dan pengacaranya, sesuai dengan aturan, memakai baju biasa, bukan toga. ”Ini agar terdakwa yang di bawah umur itu tidak ter­intimidasi,” kata Muji Murtopo, jaksa penuntut umum kasus Aria.

Kendati di bawah umur, penjagaan untuk Aria tak kalah ketatnya dibanding penjagaan terdakwa terorime seperti Abu Bakar Ba’asyir sekalipun. Selasa dua pekan lalu, saat sidang pertamanya digelar, misalnya, Aria dibawa ke pengadilan dengan kendaraan ”antiteror” Barakuda kepolisian, yang terbilang langka bagi warga Klaten.

Sekitar 200 anggota Brigade Mobil dari Kepolisian Resor Klaten dan Surakarta dikerahkan menjaga persidangan Aria. Bersenjata lengkap, pasukan itu berada di titik-titik penting di sekitar pengadilan. Semua pengunjung yang masuk pengadilan diperiksa ketat. Demikian pula dalam sidang pada Kamis pekan lalu. Sekitar 200 aparat keamanan terus dikerahkan berjaga-jaga di sekitar gedung pengadilan.

Dakwaan terhadap Aria yang dibacakan di depan majelis yang diketuai Ahmad Setyo Pudjoharsoyo dan beranggotakan Marliyus dan Slamet Setyo Untoro memang menyeramkan. Menurut jaksa, Aria terlibat dalam perakitan dan pemasangan bom di pos polisi Delanggu, Klaten. Selain itu, ia terlibat perencanaan peledakan bom di alun-alun utara Surakarta, ritual sebar apem di Kecamatan Jatinom, Klaten, serta Masjid As-Syifa di dekat Rumah Sakit Islam Klaten, pada 1 Desember 2010 hingga 21 Januari 2011. Aksi teror kelompok Aria itu tersebar dalam tiga wilayah: Solo, Klaten, dan Yogyakarta. Jaksa menyiapkan 42 saksi untuk membuktikan dakwaan ini.

Dua undang-undang dibidikkan untuk Aria, yakni Undang-Undang Pemberantasan Terorisme dan Undang-Undang Darurat tentang kepemilikan senjata api, mesiu, dan bahan peledak. Ancaman hukuman undang-undang ini sangat berat, yaitu hukuman mati atau 20 tahun penjara. Tapi, menurut Muji Murtopo, lantaran usia Aria masuk kategori anak-anak, yakni di bawah 18 tahun, sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, hukuman maksimalnya hanya separuhnya, yaitu 10 tahun.

Sidang Aria digelar tiap Selasa dan Kamis. Menurut juru bicara pengadilan, Lukas Prakosa, sidang sepekan dua kali itu dimaksudkan agar persidangan cepat selesai. ”Kami berusaha menggelar sidang secepat mungkin, supaya terdakwa tidak terbebani.”

l l l

HINGGA kini tak ada seorang pun guru SMK Negeri II Klaten yang percaya Aria terlibat jaringan terorisme. Dikenal sebagai murid berotak cukup encer, sehari-hari Aria bergaul layaknya murid lain. ”Saya tidak melihat ada yang aneh tingkah lakunya selama ini,” kata Anton Usmanto, ketua program permesinan sekolah itu, kepada Tempo.

Penangkapan Aria tak pelak membuat sekolah ini memang jadi buah bibir dan menjadi sorotan banyak pihak. Bisa jadi, karena itulah siswa sekolah itu terkesan tertutup dan tak mau menjawab jika ditanya perihal Aria. ”Saya tidak kenal, beda kelas,” ujar seorang murid satu angkatan Aria ketika ditanya tentang temannya itu.

Partono dan Mastuti juga enggan berbicara tentang anaknya. Ditemui di pengadilan, kedukaan terlihat jelas di wajah orang desa ini. Mereka hanya menggelengkan kepala, mengisyaratkan tak mau ditanya-tanya. Menurut pengacara Aria, Nurlan, kedua orang tua Aria tak percaya anak mereka terlibat jaringan teroris. ”Mereka ingin mencari kebenaran lewat persidangan ini.”

Kini, bersama timnya dari Tim Pembela Muslim, Nurlan bertekad membuktikan Aria tak bersalah dan tak terlibat aksi teror seperti dituduhkan Densus 88 dan jaksa penuntut.

LR Baskoro, Ukky Primartantyo (Klaten)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus