Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERDANA Menteri Israel Benjamin Netanyahu semakin jarang tersenyum. Kini terbukti, berkoalisi dengan para politikus ultranasionalis seperti Partai Yisrael Beiteinu mendatangkan seribu satu persoalan yang membuat dada ini sesak. Malam itu, Selasa pekan lalu, tatkala Netanyahu melawat ke Inggris, berbicara panjang-lebar dengan Perdana Menteri Kerajaan Inggris yang baru, Theresa May, koalisi Likud dengan partai kanan-garis keras-ultranasionalis menjalankan agenda yang cukup menyeramkan.
"Kami menggelar pemungutan suara malam ini, dan ini berkaitan dengan rakyat Yahudi dan tanahnya. Seluruh tanah ini milik kami. Semuanya," kata anggota parlemen Ofir Akunis, mewakili aspirasi koalisi. Malam itu, Knesset atau parlemen Israel mengesahkan undang-undang yang melegalisasi penyerobotan tanah orang-orang Palestina demi pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Dengan 60 anggota parlemen menyetujui dan 52 lainnya menolak, lahirlah undang-undang yang membelah Israel lebih jelas dan mengancam perdamaian Palestina-Israel.
Undang-undang yang berlaku surut itu menjamin kompensasi uang atau tanah di lokasi lain kepada warga Palestina yang terpaksa angkat kaki dari tanahnya. Tapi dapat dipastikan perampasan tanah yang disahkan oleh negara itu akhirnya akan membuyarkan semangat pembicaraan perdamaian, yang pada dasarnya juga membahas hal yang sama: pembagian tanah Palestina-Israel setelah Perang Enam Hari 1967.
Netanyahu tergencet di antara masyarakat internasional yang semakin kritis terhadap buruknya catatan hak asasi manusia Israel serta koalisi Likud dan partai-partai Yahudi garis keras yang berkeyakinan mutlak tanah Palestina memang diperuntukkan bagi bani Israel. Namun Netanyahu, yang belakangan mulai akhir tahun lalu diperiksa keterlibatannya dalam satu masalah korupsi, tak bisa berpaling dari partai-partai garis keras pendukungnya. Merekalah yang akan langsung membelanya jika masalah korupsi masuk ke lahan politik dan posisinya terancam.
Di bawah undang-undang baru itu, kelak para juru runding Palestina akan menyaksikan betapa tanah yang mereka pertaruhkan untuk pendirian negara Palestina yang merdeka perlahan-lahan berganti wajah menjadi rangkaian permukiman Yahudi. Saat ini 600 ribu warga Yahudi bermukim di 140 kawasan permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Dengan undang-undang baru itu, jumlah pemukim Yahudi tentu akan bertambah dan komplikasi konflik bakal semakin rumit.
Pembicaraan perdamaian tidak akan efektif jika pembangunan permukiman Yahudi jalan terus. Berdasarkan pandangan itu pula masyarakat internasional, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tak terkecuali negara-negara sekutu Israel, menyesalkan bahkan mengutuk perkembangan yang bakal memperkeruh prospek perdamaian Palestina-Israel ini.
Masa pemerintahan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang ikut mendorong kelahiran Resolusi Dewan Keamanan 2334, yang mengecam permukiman Yahudi seraya "menunjukkan pelanggaran hukum internasional dan merupakan hambatan perdamaian", berakhir sudah. Kini Amerika bagaikan seorang kakak yang melindungi adiknya yang manja, Israel, tanpa syarat—dan mereka telah memilih mengisolasi diri dari masyarakat internasional.
Sama-sama mengusung semangat de-Obamaisasi, Netanyahu tentu saja amat menyukai dukungan sang kakak. Namun, sepulang dari lawatannya di luar negeri, sakit kepalanya akan kambuh. Berkoalisi dengan partai-partai ekstrem kanan tak hanya membuat ia tertekan, tapi juga mustahil berpisah.
Idrus F. Shahab | BBC | The Economist | The New York Times
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo