Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para koleganya menggambarkan Stephen K. Bannon sebagai kutu buku. "Orang paling baik bacaannya di Washington," kata seorang di antaranya. Banyak dari mereka yang pernah bekerja dengan Bannon mengakui bahwa penasihat politik utama Presiden Amerika Serikat Donald Trump itu tak segan-segan merekomendasikan buku untuk dibaca kepada kolega dan temannya. Kata salah seorang di antaranya pula, Bannon menyukai tema sejarah dan teori politik. "Dia bagaikan penggila (topik) nasionalisme."
Di setiap perjalanan, buku tak pernah lepas dari Bannon. Marc Tracy, wartawan The New York Times yang biasa meliput peristiwa olahraga, menuliskan pengalamannya memergoki Bannon di Bandar Udara Internasional Hartsfield-Jackson, Atlanta, pada masa peralihan pemerintahan, Desember tahun lalu. Ketika itu Bannon menenteng The Best and the Brightest karya David Halberstam tentang sejarah kesalahan strategi dan kelemahan manusia yang melahirkan bencana keterlibatan Amerika Serikat di Perang Vietnam.
"Ini bagus," kata Bannon, tentang buku itu, menjawab pertanyaan Tracy, "untuk melihat bagaimana kesalahan kecil di awal bisa membawa kesalahan yang besar di kemudian hari."
Bannon juga mengaku mengajak semua orang yang terlibat dalam proses peralihan untuk membaca buku itu. Yang dia maksud semua orang kemudian dia perjelas sebagai "beberapa orang".
Menurut sumber yang dikutip Politico, memang begitulah Bannon, dalam topik atau hal tertentu, "hanya akan berbagi dengan orang-orang yang sangat dekat dengan dia atau dia percayai".
Bagaimanapun persisnya penggambaran orang-orang itu, satu hal jelas, bacaan Bannon cenderung punya satu kesamaan: pandangan bahwa teknokrat telah "berdosa" menempatkan peradaban Barat ke lintasan yang menurun dan hanya guncangan dalam sistemlah yang bisa membalikkan arah geraknya.
Bukan itu saja, buku-buku bacaan pria 63 tahun yang lahir di Norfolk, Virginia, ini juga cenderung mengandung nujum muram bahwa dunia sedang menuju kehancuran—sesuatu yang tak jarang muncul dalam pernyataan terbuka Bannon selama ini. Dengan pengetahuan dan keyakinan itulah dia melambung ikut masuk ke Gedung Putih, menjadi perancang strategi dari apa yang disebut sebagai orang paling berkuasa di dunia.
Dengan posisinya, jika ada pertanyaan siapa yang paling berperan di balik kebijakan-kebijakan Trump di awal pemerintahannya, jawabannya semakin jelas: Bannon. Bahkan, sebelum diserahi posisi di Dewan Keamanan Nasional, pendiri Breitbart News—sebuah media ultrakanan—ini juga sudah bertindak seakan-akan menjadi pengambil keputusannya. Menurut seorang pejabat intelijen yang tak mau disebut identitasnya, Bannon bahkan tak merasa perlu meminta masukan staf Dewan.
Pejabat itu mengatakan Bannon mengorganisasi semacam kelompok rahasia, "hampir seperti Dewan Keamanan Nasional bayangan". Dia menggambarkan sebuah lingkungan yang menutup peluang adanya beda pendapat, tanpa jejak dokumen untuk apa pun yang dibahas dan disetujui dalam rapat, dan nihil petunjuk atau dorongan dari atas tentang bagaimana staf Dewan harus diorganisasi.
"Mereka menjalankan keputusan Presiden di luar konstruksi normal," kata pejabat itu kepada Foreign Policy. Dia merujuk pada keputusan yang ditandatangani Trump tentang berbagai hal, dari soal imigrasi hingga dihidupkannya lagi proyek-proyek gelap CIA, dinas intelijen Amerika.
Perihal bagaimana Bannon memainkan kewenangannya, keputusan tentang larangan sementara bagi imigran dari tujuh negara masuk Amerika bisa jadi contoh. Menurut laporan The New York Times dua pekan lalu, Bannon tak hanya mengawasi penyusunan keputusan itu, tapi dialah yang memikirkannya sejak awal, lebih dari setahun lalu. Trump ketika itu baru berstatus salah satu kandidat presiden dari Partai Republik. Bannon berinisiatif merespons janji Trump, yang merupakan reaksi terhadap serangan teroris di San Bernardino, California, untuk "total dan sepenuhnya melarang muslim masuk Amerika Serikat".
Percaya pada kebijakan imigrasi yang ketat dan yakin bahwa larangan terhadap pengungsi bisa mendongkrak posisi politik Trump, Bannon bertekad mewujudkan janji kampanye itu. Dibantu beberapa penasihat terdekat Trump, pada saat proses peralihan berlangsung, dia mulai menyusun draf keputusan tentang imigran dan pengungsi itu supaya bisa langsung ditandatangani Trump begitu resmi berkantor di Gedung Putih.
James J. Carafano, anggota tim transisi Trump yang merupakan Wakil Presiden Heritage Foundation—sebuah yayasan konservatif—mengungkapkan hanya sedikit dari materi draf keputusan itu yang diberitahukan kepada para pejabat karier di Departemen Keamanan Nasional dan lembaga pemerintah lain. Dia menggambarkan adanya "dinding pengaman antara pemerintah lama dan yang akan datang".
Menurut Carafano, salah satu alasannya adalah untuk menghindari kebocoran informasi. Kebocoran biasa terjadi manakala tim transisi Trump mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan kebijakan baru, pertanyaan itu dengan serta-merta diteruskan ke wartawan, yang lalu jadi bahan pemberitaan negatif.
Para pejabat lembaga terkait yang bertugas di masa Presiden Barack Obama mengakui minimnya komunikasi dengan tim transisi Trump. Dalam komunikasi yang ada, kata R. Gil Kerlikowske—Komisioner Bea-Cukai dan Perlindungan Perbatasan—sama sekali tak disebut soal larangan untuk warga dari negara-negara tertentu, padahal inilah yang oleh pemerintah belakangan diklaim telah dilakukan.
Ketertutupan itu, dan fakta bahwa semua proses tersebut tak tercatat dalam dokumen tertulis, menimbulkan kekhawatiran diabaikannya prinsip manajemen yang bisa dipertanggungjawabkan. Tapi yang dinilai tak kalah pentingnya, terutama dalam isu yang berkaitan dengan keamanan, adalah pengabaian terhadap kelaziman bahwa staf Dewan Keamanan Nasional yang semestinya mencatat semua hal yang dibahas dalam setiap rapat.
Jika dokumen itu dibuat oleh staf urusan politik, kata Loren DeJonge Schulman—bekas anggota staf ahli Susan Rice, Penasihat Keamanan Nasional di masa Presiden Obama—seluruh proses jadi cacat. Itulah yang bisa memusatkan kekuasaan pada Bannon, yang pada gilirannya "bisa mendikte hasilnya".
Yang juga dikenal dari Bannon adalah keyakinannya pada teori bahwa sejarah bergulir dalam siklus 80-100 tahun. Menurut teori yang dikemukakan dalam buku The Fourth Turning karya William Strauss dan Neil Howe ini, di akhir siklus, tata sosial lama bakal musnah dan digantikan dengan yang baru.
Dalam pandangan Bannon, siklus berikutnya datang dipicu oleh krisis keuangan, dan inilah yang menyebabkan Trump terpilih dalam pemilihan umum presiden tahun lalu. Teori siklus sejarah itulah yang jadi dasar film dokumenter berjudul Generation Zero yang dia sutradarai.
Bannon, yang berlatar belakang keluarga pekerja pro-Kennedy dan Partai Demokrat, pernah berkarier di Goldman Sachs. Sebelum lulus dari Harvard Business School, dia pernah empat tahun bergabung dengan angkatan laut. Dia meninggalkan posisi sebagai wakil presiden di Goldman Sachs pada 1990. Dia lalu mendirikan perusahaan yang berfokus membiayai media. Perusahaan ini ikut berinvestasi di beberapa serial televisi, termasuk Seinfeld.
Ketika masuk ke kegiatan produksi film dan pembuatan film dokumenter politik, Bannon berkenalan dengan Andrew Breitbart, pengusaha media konservatif. Ketika itu Breitbart sedang ingin membuat situs untuk membendung apa yang dilihatnya sebagai dominasi kaum liberal di media-media besar. Berdirilah Breitbart News pada 2007. Ketika Breitbart meninggal pada 2012, dia menggantikannya. Menurut laporan Time pada pertengahan November tahun lalu, di bawah arahannya, Breibart News berhasil "menginjeksikan materi-materi bersifat rasis, seksis, xenofobis, dan anti-Semit ke dalam urat nadi kaum ultrakanan".
Bannon diyakini punya koneksi luas dengan kalangan penganjur supremasi kulit putih. "Baru beberapa tahun lalu ada perjanjian antara tokoh supremasi kulit putih James O'Keefe di Project Veritas dan Breitbart," kata Lacy MacAuley, aktivis dan anggota Koalisi Antifasis Washington, DC, kepada The Independent.
O'Keefe, menurut MacAuley, dikenal sebagai tokoh yang biasa menyerang dan menjatuhkan lembaga dan organisasi melalui penyebaran berita palsu. MacAuley yakin Bannon, si kutu buku, adalah penganjur nasionalisme kulit putih di Gedung Putih, melalui semua hal yang dikerjakannya.
Purwanto Setiadi |BBC | Foreign Policy | The New York Times | Politico | Time
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo