Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upacara penghormatan terakhir itu berlangsung di Markas Besar Kepolisian Nasional Filipina di Kota Quezon. Di Camp Crame, tempat Kepala Kepolisian Jenderal Dela Rosa berkantor, upacara itu tidak ditujukan untuk almarhum pejabat militer. Tidak pula untuk birokrat negeri itu. Upacara itu untuk seorang pengusaha asal Korea Selatan, Jee Ick-joo.
Isak tangis keluarga Jee, teman-temannya, karyawan, dan sejumlah anggota komunitas Korea Selatan di Filipina mewarnai upacara di gedung serbaguna Camp Crame, Senin sore pekan lalu itu. "Mereka, terutama saya, sangat kecewa terhadap polisi. Mereka kecewa karena saudara senegaranya dibunuh di sini," kata Dela Rosa kepada wartawan.
Upacara kematian di markas polisi itu atas permintaan istri Jee Ick-joo, Choi Kyung-jin. Kepada Roel Bolivar, Komandan Satuan Tugas Antinarkotik, yang mengawasi penyelidikan kasus kematian Jee, Choi pernah berujar beberapa pekan lalu. "Apa kesalahan suami saya sehingga dia harus mati dengan cara seperti ini?" kata Bolivar, menirukan perkataan Choi. "Saya tidak bisa memberi dia jawaban," Bolivar menambahkan.
Insiden Jee terjadi pada 18 Oktober tahun lalu. Pagi itu, sekitar pukul 09.00, dua pria bersenjata, yang mengaku dari satuan polisi antinarkotik, mendatangi rumah Jee di Angeles City, Pampanga. Dengan dalih menggelar razia obat terlarang, mereka menciduk Jee, 53 tahun, dan pembantunya, Marissa Dawis-Morquicho. Mengendarai mobil SUV hitam, dua pelaku itu lantas membawa Jee dan Dawis ke sebuah gedung di Camp Crame.
Di markas polisi itu, Jee tewas mengenaskan. Salah seorang pelaku, diketahui bernama Perwira Senior Polisi Ricky Sta. Isabel, dilaporkan mencekik Jee hingga tak bernyawa. Jee dihabisi setelah beberapa jam disiksa. Mayat Jee lalu dikremasi di rumah duka, dan abu jenazahnya dibuang ke toilet di Camp Crame. Para penculik lantas memeras Choi dengan meminta tebusan 5 juta peso (sekitar Rp 1,3 miliar) tanpa memberi tahu bahwa Jee telah tiada.
Kasus tewasnya Jee Ick-joo menyengat Istana Malacanang. Presiden Rodrigo Duterte pun menyetop operasi antinarkotik, yang terus menyulut kontroversi dan kecaman dari komunitas internasional sejak dilancarkan enam bulan lalu. "Saya memerintahkan polisi menghentikan seluruh operasi," kata Duterte dalam pidatonya pada akhir Januari lalu. "Semua polisi di negara ini dilarang memproses hukum kasus narkotik apa pun."
Perlu hampir tiga bulan bagi Duterte untuk berubah pikiran. Semula pria 71 tahun itu berkukuh kematian Jee tidak berhubungan dengan operasi pemberantasan obat terlarang. Belakangan, Duterte meralat sikapnya tatkala Senat ikut terjun mengusut insiden kematian Jee. "Kepolisian menuai kritik dalam pelaksanaan Proyek Tokhang. Ada polisi yang memanfaatkannya untuk menculik dan memeras," kata Senator Panfilo Lacson.
Lacson, 68 tahun, Ketua Komite Ketertiban Umum dan Obat Terlarang di Senat, memimpin penyelidikan sejak medio Januari lalu. Bekas kepala kepolisian Filipina ini meyakini kampanye antinarkotik Duterte telah ditunggangi polisi "nakal". Mereka, kata Lacson, mengambil keuntungan dari upaya pemerintah menindak bandar, pengedar, dan pemakai obat terlarang. "Kasus ini harus segera tuntas agar kepolisian kembali dipercaya," ujarnya.
Jenderal Ronald Dela Rosa turut mengiyakan Lacson. "Sekarang tidak ada operasi anti-obat terlarang," kata pria plontos bertubuh gempal yang akrab disapa "Bato" itu. Dia membenarkan bahwa sejumlah polisi berupaya menyabotase Proyek Tokhang, program unggulan polisi dalam pemberantasan narkotik. "Ada polisi yang mengusung agenda sendiri. Kami akan menghancurkannya," kata Dela Rosa.
Duterte menyetop operasi antinarkotik hingga akhir Februari. Dalam kurun itu, dia menugasi Dela Rosa untuk membersihkan kepolisian—korps berisi 165 ribu anggota—dari polisi-polisi korup. "Anda, polisi, adalah yang paling korup. Anda korup hingga ke akar-akarnya. Ini ada di dalam sistem Anda," kata Duterte. Menurut dia, sekitar 40 persen polisi Filipina pernah berbuat rasuah dan bahkan ada yang membekingi bandar narkotik.
Dela Rosa membekukan Satuan Tugas Antinarkotik, unit berisi 1.800 personel yang selama ini menjadi ujung tombak operasi antinarkotik. Dia juga memutasi sederet pejabat polisi. Badan Investigasi Nasional (NBI), lembaga di bawah Departemen Kehakiman, turut dicoret dari perang melawan narkotik. Ini menyusul terseretnya nama petugas NBI, Jerry Omlang, dalam kasus pembunuhan Jee. "Kami akan membersihkan barisan kami," kata Dela Rosa.
Dela Rosa, misalnya, memindahkan sedikitnya 300 polisi, dengan beragam catatan pelanggaran, ke Basilan, Sulu, dan Tawi-Tawi di Mindanao. Wilayah di Filipina selatan itu dikenal sebagai sarang kelompok teroris Abu Sayyaf. "Mereka punya dua pilihan: memerangi Abu Sayyaf atau mundur," ucap Duterte. Mutasi selama dua tahun itu salah satu bentuk hukuman terhadap polisi nakal. "Mereka pantas dipermalukan," kata Lacson.
Tanpa polisi dan NBI, Duterte menugasi Badan Antinarkotik untuk memerangi peredaran obat terlarang. Dia bahkan berencana menggandeng Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) untuk menumpas "polisi-bandit". "Saya akan menjadikan isu narkotik sebagai ancaman keamanan nasional," ujar Duterte, yang disambut hangat oleh tentara. "Kami tidak akan mengecewakan Presiden," kata juru bicara AFP, Kolonel Marinir Edgard Arevalo.
Kepala Staf AFP Jenderal Eduardo Año mengatakan tentara, yang tidak cakap dalam penegakan hukum, hanya terjun bila diperlukan untuk menghadapi sindikat narkotik bersenjata. "Kami tidak terlibat dalam setiap operasi," kata Ano, seperti dikutip GMA Network. Bagi Badan Antinarkotik, keterlibatan tentara cukup melegakan. Sebab, tanpa polisi, "Kami bisa kewalahan," ujar juru bicara Badan Antinarkotik, Derrick Carreon.
Namun rencana Duterte merangkul AFP menuai kecaman. Senator Leila De Lima, pengkritik utama Duterte di parlemen, menilai militer tidak tepat untuk kampanye antinarkotik. "Pembunuhan di luar hukum harus dihentikan. Bukan malah meminta AFP untuk meneruskannya," ujarnya. Kecaman senada meluncur dari lembaga pegiat hak asasi manusia, Human Rights Watch. "Tentara memiliki catatan buruk tentang pembunuhan di luar hukum, khususnya dalam konflik dengan kelompok pemberontak komunis."
Pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing kental mewarnai kampanye antinarkotik Duterte. Lembaga Amnesty International mencatat lebih dari 7.000 orang menjadi korban aksi penembakan di gang-gang, jalanan, hingga rumah penduduk. Kepolisian Filipina membantah angka itu dan menyatakan aksi "tembak di tempat" mereka hanya menewaskan 2.551 orang. Sedangkan sisanya dilakukan oleh penduduk, yang memang diberi kebebasan oleh Duterte untuk mengeksekusi tersangka pengedar obat terlarang.
Menurut Amnesty, polisi bahkan mendapat imbalan dalam menjalankan aksinya. "Polisi dibayar 15 ribu peso (sekitar Rp 3,9 juta) untuk tiap tersangka yang mereka bunuh," begitu menurut hasil penyelidikan Amnesty. Temuan ini dibenarkan seorang polisi berpangkat senior police officer 1 (SPO1)—setara dengan perwira militer, satu tingkat di atas sersan—yang diduga menjadi bagian dari unit antinarkotik di Kepolisian Metro Manila. "Insentif hanya diberikan jika target tewas," kata pria yang enggan dikutip identitasnya itu.
Kematian Jee Ick-joo menguak praktek kotor polisi Filipina. Namun Senator Panfilo Lacson menyatakan ada sederet kejadian lain yang menggambarkan ulah korup polisi. Lacson pernah menyinggung insiden yang menimpa temannya, pengusaha Cina-Filipina, pada Agustus 2016. "Dia diciduk dari gudang pabriknya di Bulacan dengan tuduhan 'memproduksi obat terlarang'," ujarnya dalam sesi sidang penyelidikan kasus Jee di Senat.
Kasus penculikan menimpa tiga turis Korea pada Desember tahun lalu. Tujuh pria bersenjata yang mengaku polisi menangkap Min Hoon-park, Lee Kin-hun, dan Lee Jun-hyung. Mereka diculik dari tempat mereka menginap di Apo Street, Angeles City, dan dituding terlibat jual-beli narkotik, "Mereka dibawa ke kantor polisi dan dipukuli. Pelaku meminta 300 ribu peso (sekitar Rp 79,9 juta) untuk tebusan," tutur juru bicara kepolisian, Inspektur Senior Dionardo Carlos.
Praktek serupa rupanya dijumpai dalam kasus Jee. Unit Anti-Penculikan Kepolisian Luzon, yang mendapat keterangan dari pembantu Jee, Marissa Dawis-Morquicho, menyimpulkan dua polisi menciduk Jee berbekal surat perintah penangkapan palsu. "Mereka menuding orang asing itu (Jee) terlibat jaringan narkotik," kata seorang petugas Unit Anti-Penculikan. Para pelaku melepaskan Dawis lewat tengah malam pada hari penculikan Jee.
Ronald Dela Rosa enggan disalahkan sepenuhnya. Menurut dia, kematian Jee tak bisa dilepaskan dari keberadaan geng narkotik Korea, yang konon beroperasi di kota selatan, Cebu. Rodrigo Duterte bahkan mengklaim mafia obat terlarang Korea itu juga terlibat dalam aksi perdagangan manusia, prostitusi, dan penculikan. Namun tudingan itu dibantah keras Kim Jae-shin, Duta Besar Korea Selatan untuk Filipina. "Dia (Jee) dikenal sebagai orang baik," ujarnya.
Bersama istrinya, Choi Kyung-jin, dan seorang putri mereka, Jee menetap di Filipina sejak 2008. Dia memasok karyawan asal Korea dan Filipina untuk kasino di Pampanga. Jee juga mengoperasikan perusahaan layanan tenaga kerja. Sebelum memulai bisnis sendiri, dia pernah menjadi direktur di Hanjin, perusahaan galangan kapal Korea. "Kami hanya ingin seterusnya di sini, sampai tua tinggal di Filipina," kata Choi sembari berurai air mata.
Mahardika Satria Hadi | CNN, Philstar | The Economist | Manila Times | Reuters | Inquirer)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo