Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berpacu Menguasai Westminster

Partai Konservatif dan Buruh tak mampu meraih suara mayoritas. Cameron tetap populer, tapi Miliband dinilai mampu melakukan perubahan.

11 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai jurnalis politik, James Landale, deputi redaktur bidang politik BBC News, kerap mendapat pertanyaan, "Siapa yang akan menang dalam pemilihan umum Inggris?" Reporter The Times sebelum bergabung dengan BBC pada 2003 itu mengatakan pertanyaan ini kian sering ia dapatkan sebulan terakhir dari sopir taksi yang mengantarnya. "Saya menjawab jujur: saya benar-benar tak tahu," kata pria 46 tahun itu.

Meski telah berkarier lama sebagai jurnalis, Landale mengatakan tak pernah ada yang pasti dalam politik Inggris. "Saya tidak tahu siapa yang akan membentuk pemerintah berikutnya, seperti apa pemerintahan itu, dan berapa lama akan bertahan," katanya.

Suara Landale mewakili sebagian besar jajak pendapat mengenai pemilu parlemen Inggris Raya, yang berlangsung pada Kamis pekan lalu. Ini menjadi pemilu yang paling ketat dan paling tak pasti dalam sejarah negeri itu. Rakyat Inggris memilih di 650 daerah pemilihan yang tersebar di Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.

Dari berbagai analisis dan jajak pendapat, pemilihan kali ini mengisyaratkan tak akan ada partai yang memperoleh suara mayoritas di Westminster-sebutan untuk Rumah Parlemen Inggris. Baik Partai Konservatif pimpinan perdana menteri inkumben David Cameron maupun Partai Buruh yang beroposisi pimpinan Ed Miliband bersaing ketat. Tidak satu pun dari partai itu yang akan menguasai kendali mayoritas atau 326 kursi yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintah.

Berdasarkan sistem pemilu Inggris, agar mampu memerintah dengan aman, sebuah partai harus mampu meraih 50 persen lebih dari 650 kursi di House of Commons atau Majelis Rendah di parlemen. "Tidak ada yang akan menang. Memang David Cameron dan Ed Miliband terus menyatakan mereka akan menang. Tapi itu tidak benar, dan mereka menyadari hal itu," ujar Nick Clegg, Ketua Partai Liberal Demokrat yang pada 2010 menjadi mitra junior dalam koalisi dengan Konservatif.

Jika benar, akan terjadi apa yang disebut hung parliament: tidak ada partai yang meraih suara mayoritas. Pembentukan pemerintah harus melalui koalisi. Pembentukan pemerintah koalisi seperti Konservatif-Liberal Demokrat pada 2010-koalisi pemerintahan pertama sejak 1931-sepertinya akan kembali terjadi.

Figur pemimpin partai pemenang, yang selama ini otomatis menempati posisi perdana menteri, menjadi penting. Cameron, yang menjabat perdana menteri sejak Mei 2010, tetap percaya diri akan meraih kemenangan. Pria 48 tahun ini lumayan populer di mata warga Inggris. Dalam jajak pendapat yang dilakukan Daily Mail dan ComRes, 5-6 Mei lalu, dari 1.007 responden, 52 persen menyatakan Cameron masih lebih pantas menjadi perdana menteri. Sebanyak 31 persen lainnya memilih lawannya, Miliband, dan 17 persen mengaku tidak tahu.

Cameron jauh berbeda dibanding Miliband, yang berasal dari keluarga akademikus. Pemimpin Partai Konservatif ini anak pialang saham, lahir di lingkungan kelas atas di Wantage, Oxfordshire, dan bersekolah di institusi pendidikan ternama, Eton. Kuliah di Universitas Oxford, Cameron mengambil jurusan politik, filosofi, dan ekonomi. Namun, di segala keteraturannya, ia juga anggota Bullingdon Club, perkumpulan yang memiliki reputasi suka merusak dan mabuk-mabukan.

Setelah lulus, Cameron bekerja sebagai peneliti untuk Partai Konservatif dan kariernya meningkat tajam. Pada 2001, karier politiknya mengkilap setelah ia dipilih sebagai anggota parlemen dan terpilih sebagai Ketua Partai Konservatif empat tahun kemudian. Saat itu Partai Konservatif kalah dalam pemilu Inggris tiga kali berturut-turut oleh Partai Buruh pimpinan Tony Blair.

Banyak yang mengatakan Blair dan Cameron sangat mirip. Keduanya masih dalam usia muda saat terpilih sebagai perdana menteri dan dianggap sebagai sosok modernisator, pragmatis, serta memiliki kepintaran emosional. Karena semua itu, Cameron dianggap "ahli waris" Blair.

Hanya, sikap pragmatis Cameron membuat publik menudingnya tidak memiliki pendirian. "Ia seorang manajer. Ia tidak sukses menjadi seorang visioner," kata John Curtice, profesor politik di University of Strathclyde. "Kelemahan terbesar Cameron adalah ia belum pernah meyakinkan orang mengenai pendiriannya."

Pesaingnya, Ed Samuel Miliband, sebelumnya dianggap tidak pantas menghuni Downing Street 10-kantor Perdana Menteri Inggris. Ketidakjelasan arah kebijakan Inggris, bersamaan dengan menurunnya kekuatan media yang mempengaruhi pemilu, membuat figur Miliband cemerlang. Ia berani berbicara tentang ketimpangan ekonomi. Pasar bursa mulai terpengaruh oleh pria 45 tahun ini.

Lahir di Camden, London, Miliband duduk di parlemen sebagai anggota dari konstituensi Doncaster Utara sejak 2005. Lulusan Corpus Christi College di?Universitas Oxford?dan?London School of Economics ini awalnya menjadi jurnalis televisi sebelum menjadi periset di Partai Buruh.

Namanya mencuat ketika Gordon Brown menjadi perdana menteri pada 2007-2010. Miliband ditunjuk menjadi Menteri Urusan Kantor Kabinet dan Kanselir Keadipatian Lancaster. Ia kemudian dipromosikan menjadi Menteri Energi dan Perubahan Iklim pada 2008-2010. Puncaknya, pada September 2010, ia menjadi keturunan Yahudi pertama yang menjadi pemimpin Partai Buruh.

Penasihat mantan perdana menteri Tony Blair, David Clark, mengatakan Miliband memiliki potensi sebagai figur yang melakukan perubahan. Clark menganggap adik politikus senior David Miliband itu memiliki perlawanan terhadap kalangan berduit di Negeri Ratu Elizabeth. "Dia adalah figur terbaik untuk mengubah politik di Inggris, sejak Margaret Thatcher menjadi perdana menteri," ujar Clark, seperti dikutip The Guardian. "Dia memiliki potensi sebagai figur yang melakukan perubahan."

Siapa pun pemenangnya, Joe Twyman, Kepala Divisi Penelitian Politik dan Sosial di YouGov, menyamakan ketatnya pemilu kali ini dengan laga petinju Amerika Serikat, Floyd Mayweather Jr, melawan petinju Filipina, Manny Pacquiao, yang memperebutkan gelar juara dunia kelas welter pada 2 Mei lalu. "Keduanya tetap berdiri hingga akhir pertandingan yang berlangsung ketat. Tidak ada yang bisa melepaskan pukulan mematikan sehingga pemenang ditentukan keputusan juri," katanya.

Raju Febrian (cnn, Bbc, The Guardian, The Telegraph)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus