Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dua bulan terakhir, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah tiga kali mengirim tim Satuan Tugas Anti-Illegal Fishing ke Distrik Ilwayab, Papua. Ketika mengirim tim Satgas pada pertengahan April lalu, Menteri Susi kembali meminta mereka menghimpun bukti apa pun yang bisa menjadi petunjuk adanya pencurian ikan (illegal fishing) di sana. "Bukti baru kami cari. Yang sudah di tangan, kami verifikasi lagi," kata Wakil Ketua Satgas Anti-Illegal Fishing Yunus Husein, Senin dua pekan lalu.
Di Distrik Ilwayab, kapal motor MV Hai Fa ditangkap pada Desember tahun lalu. Kapal pengangkut (tramper) milik PT Antarticha Segara Lines tersebut berlayar dari Pelabuhan Avona, Kaimana, tanpa surat laik operasi. Sewaktu ditangkap, kapal raksasa berbobot 4.306 gross ton itu memuat sekitar 900 ton ikan dan udang, termasuk 15 ton hiu martil yang terlarang diperdagangkan.
Pengadilan Perikanan Kota Ambon telah menyidangkan kasus MV Hai Fa pada akhir Maret lalu. Pengadilan menghukum nakhoda kapal, Zhu Nian Lee, membayar denda Rp 200 juta. Putusan ringan itu membuat Menteri Susi berang. Soalnya, dia hakulyakin kapal berbendera Panama itu bagian dari komplotan pencuri ikan di laut Indonesia. Menteri Susi pun meminta gerak-gerik semua perusahaan ikan di Ilwayab diawasi.
Jauh terpencil menghadap perairan Aru, sekitar 18 jam perjalanan laut dari Merauke, Distrik Ilwayab selama ini menjadi markas bagi kapal-kapal penangkap ikan. Padahal, dalam siklus tahunan, hanya pada Januari-Maret perairan Aru bisa dibilang bersahabat. Selebihnya, laut di sana dikenal dengan keganasan ombaknya.
Pertengahan April lalu, ketika Tempo menelusuri perairan Aru dengan KM Macan Dua milik Kementerian Kelautan, ombak setinggi tiga meteran menghantam kapal tanpa henti nyaris selama 18 jam. "Jalur ini jarang dilewati kapal pengawas karena ombaknya ganas," ujar Yunus Husein.
Di Ilwayab, selain PT Antarticha Segara Lines, bermarkas PT Aru Samudera Lestari dan PT Dwikarya Reksa Abadi. Menempati satu kantor, Dwikarya lebih dikenal penduduk setempat ketimbang dua perusahaan lain.
Menurut Sutarno Sugondo, salah seorang direktur dan pemilik saham Dwikarya, ketiga perusahaan itu memang masih satu grup. Di Jakarta, ketiga perusahaan itu tercatat beralamat di APL Tower Central Park Lantai 32, satu gedung dengan PT Avona Mina Lestari, perusahaan ikan lain yang berpusat di Kaimana.
Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan, grup Dwikarya memiliki hampir 200 kapal penangkap ikan. Di perairan Aru, PT Dwikarya Reksa Abadi mengoperasikan 67 kapal, PT Aru Samudera Lestari sebanyak 44 kapal, dan PT Avona Mina Lestari sebanyak 66 kapal. Adapun PT Antarticha Segara Lines memiliki lima kapal pengangkut ikan. Salah satunya kapal MV Hai Fa.
Menurut perhitungan Kementerian Kelautan, dengan puluhan kapal berukuran rata-rata 423 gross ton, PT Dwikarya, misalnya, seharusnya bisa menangkap hingga 65.360 ton per tahun. Faktanya, selama 2013, Dwikarya hanya melaporkan ekspor ikan sebanyak 36.139 ton. "Kami curiga ada praktek illegal fishing karena yang dilaporkan kecil sekali," kata Yunus.
Berbekal kejanggalan laporan itu, setelah menempuh perjalanan laut yang memabukkan, Yunus beserta timnya dua hari blusukan di Kampung Woegekel, Ilwayab. Sejumlah warga dan bekas anak buah kapal yang dimintai keterangan mengukuhkan kecurigaan Yunus dan kawan-kawan.
Seorang bekas anak buah kapal Dwikarya-sebut saja namanya Andri-misalnya menuturkan bahwa kapal-kapal penangkap ikan Dwikarya kerap melakukan bongkar-muat ikan (transshipment) di tengah laut Arafura. Setelah itu, kapal-kapal pengangkut ikan bergerak menuju wilayah Papua Nugini sebelum berlayar jauh ke Cina. "Transshipment yang terlarang lazim dilakukan perusahaan untuk mengakali laporan tangkapan dan ekspor ikan mereka," ucap Yunus.
Satgas Anti-Illegal Fishing juga mengendus praktek "penggandaan" izin kapal. Modusnya, satu izin dipakai untuk banyak kapal. Cara itu, menurut Yunus, juga lazim dipakai perusahaan kapal untuk mengakali laporan volume tangkapan ikan mereka.
Dengan izin yang "beranak-pinak", Yunus menduga jumlah kapal milik grup Dwikarya lebih banyak daripada yang tercatat di Kementerian. "Kami masih memverifikasi semua dokumen kapal mereka," ujarnya.
Sejumlah nelayan di Ilwayab bercerita, di samping mengoperasikan kapal besar, grup Dwikarya menyewakan kapal kecil ukuran 10-130 gross ton. Nelayan menyewa kapal kecil itu seharga Rp 1-5 juta per bulan.
Menurut Tagor Hasibuan, nelayan Woegekel, biaya tersebut belum termasuk biaya bahan bakar, es batu, dan ongkos perbaikan kapal. Untuk biaya tambahan itu, Tagor dan nelayan lain biasanya meminjam uang kepada Dwikarya. Jaminannya: hasil tangkapan ikan mereka harus dijual ke perusahaan itu. "Mereka yang menentukan harga," kata Tagor, yang terbelit utang hampir Rp 200 juta dari Dwikarya.
Khusein Tomo, pejabat perwakilan Dwikarya di Ilwayab, membantah semua tudingan miring yang mengarah ke perusahaannya. "Kami sudah taat aturan," ujar Khusein, membela diri.
Menteri Susi tak begitu saja mempercayai klaim dan pembelaan perusahaan. Apalagi ia berkeyakinan kasus illegal fishing di Papua bukan sekadar pencurian ikan. "Biasanya dibarengi penyelundupan, bahkan perdagangan manusia," ucapnya.
Syailendra Persada (ilwayab), Devy Ernis (jakarta)
Amunisi Baru Bu Menteri
Sepasang tanduk rusa plus tengkoraknya itu menjadi kejutan kecil bagi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Sang Menteri pun menganggap tanduk sepanjang satu meteran dari Ilwayab itu sebagai oleh-oleh istimewa. "Ini bukti ada transaksi ilegal di sana," katanya Senin dua pekan lalu.
DI Ilwayab, Satgas Anti-Illegal Fishing memang mencium "bisnis gelap" lain. Sembari mengekspor ikan, sejumlah perusahaan diduga terlibat perdagangan ilegal tanduk rusa dan berbagai jenis satwa endemis (khas) Papua. "Banyak saksi yang menceritakan keterlibatan perusahaan," ujar Wakil Ketua Satgas Anti-Illegal Fishing Yunus Husein.
Seorang pengepul tanduk rusa bernama Jacob menuturkan, perdagangan tanduk marak di Ilwayab sejak 2008. Lelaki 62 tahun ini membeli tanduk rusa dari pemburu seharga Rp 80-200 ribu per kilogram. Dalam sebulan, ia bisa mengumpulkan sampai satu ton lebih tanduk. Di Kampung Woegekel, ada lima pengepul tanduk selain Jacob.
Selama ini Jacob dan kawan-kawan menjual lagi tanduk kepada dua lelaki yang mereka kenal sebagai pegawai Dwikarya. Harganya Rp 150-300 ribu per kilogram. Selanjutnya, tanduk rusa diekspor ke Cina. Pengiriman tanduk ke Negeri Tirai Bambu itu paling tidak sebulan sekali ketika kapal pengangkut ikan, seperti MV Hai Fa, tiba di Ilwayab. "Sekali kirim bisa puluhan ton," ucap Jacob.
Bila permintaan tanduk tinggi, Jacob dan kawan-kawan sampai "menjemput bola" ke kampung-kampung di sekitar Distrik Ilwayab. Untuk menjamin kelancaran usaha, "orang-orang" Dwikarya tadi pun kerap memodali Jacob dan kawan-kawan.
Menurut Kepala Kampung Woegekel, Yunus Kaise, bukan hanya tanduk rusa yang dicari penadah untuk dijual kepada orang-orang Dwikarya. Satwa lain khas Papua yang laris manis adalah burung kakatua raja dan kakatua jambul kuning. "Tiap bulan ratusan ekor burung diangkut," kata Kaise.
Hendori, penadah burung dari pemburu, mengatakan harga seekor burung kakatua bisa mencapai Rp 2 juta. Dia pun mengaku sudah menjual ratusan ekor kakatua kepada orang-orang Dwikarya. Selain menjual burung endemis Papua, Hendori menjual buaya yang masih hidup atau kulitnya saja.
Perwakilan Dwikarya di Ilwayab, Khusein Tomo, membantah kabar bahwa perusahaan mereka terlibat perdagangan satwa ilegal. "Kalaupun ada, mungkin hanya perorangan," ucapnya. Toh, bagi Menteri Susi, sepasang tanduk rusa dari Ilwayab ibarat amunisi tambahan untuk "menembak" perusahaan yang terlibat.
Syailendra Persada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo