MESIN ekonomi Cina segera dipermak. Sidang pleno Komite Sentral Partai Komunis Cina pekan ini akan mengesahkan perubahan besar kebijakan ekonomi dalam negeri. Antara lain adalah soal pajak. Berdasarkan sistem pajak baru, pemerintah provinsi diwajibkan memberikan setoran lebih banyak ke pemerintah pusat. Selama ini, seiring dengan reformasi ekonomi, pemerintah provinsi diberi wewenang menentukan kegiatan investasi, perdagangan, dan jumlah pajak yang disetorkan ke pusat. Jauh hari sebelum beleid baru ini diumumkan, para pejabat dari Bejing, termasuk bahkan Perdana Menteri Li Peng, sudah mendatangi bawahannya di daerah, terutama di provinsi-provinsi yang ekonominya tumbuh dengan pesat. Tujuan mereka adalah untuk menyatukan barisan agar pemerintah provinsi mendukung pelaksanaan regulasi perpajakan baru ini. Secara ekonomis, melalui sistem pajak baru yang mulai berlaku 1 Januari 1994 ini, pemerintah pusat akan memperoleh tambahan pendapatan. Jika masih mengandalkan sistem kompromi, ketika para kepala daerah boleh tawar-menawar jumlah setoran pajaknya ke pusat seperti selama ini, pemerintah hanya akan memperoleh pendapatan sekitar 11% dari GNP (pendapatan nasional) pada tahun 2000 nanti. Jumlah itu sama saja dengan sepertiga dari GNP tahun 1978, ketika reformasi belum berjalan. Singkat kata, mulai Januari tahun depan provinsi-provinsi yang kaya (kebanyakan di Cina selatan) akan dijadikan sapi perahan bagi kelanjutan kekuasaan pemerintah dan untuk memberikan subsidi bagi wilayah yang masih kurang di pedalaman. Seiring dengan itu, pemerintah juga mengharapkan tambahan pendapatan dari pajak investasi dari luar negeri dan orang asing yang juga sudah diperbarui dan berlaku per Januari. Deng Xiaoping dikabarkan sudah menyetujui pola baru pengawasan fiskal ini. Tampaknya Deng, yang sudah terbaring di tempat tidur dan dikhawatirkan tidak lama lagi akan meninggal, melihat perlunya ikatan daerah dan pusat diperketat lagi. Soalnya, beberapa provinsi yang sudah sejak awal menjadi wilayah perintis reformasi, seperti Guandong, beberapa tahun belakangan lebih banyak bergerak di luar aturan pusat. Bahkan desentralisasi tak cuma mendatangkan kelonggaran mengatur diri sendiri, tapi juga mengatur hubungan dengan provinsi lain. Dan lebih dari itu, desentralisasi menimbulkan kesombongan untuk menolak segala sesuatu yang datang dari pusat. Ini jelas berbahaya. Pada zaman sejarah kuno Cina, konflik seperti ini mudah memancing perang. Dan sebenarnya saja, konflik senjata hampir saja terjadi antara Provinsi Guangdong dan Hunan. Ceritanya, Guangdong, yang tidak lagi bersemangat menggiatkan pertanian karena industrinya lebih banyak mendatangkan dana kontan, pada tahun 1990 hendak mengimpor beras dari Provinsi Hunan, tetangganya. Para pejabat Hunan menyambut baik permintaan itu dan memasang angka komisi, yang di mata para pejabat Guangdong terlalu besar. Maka, memanfaatkan desentralisasi, orang-orang Guangdong langsung menghubungi produsen berasnya. Tentu saja harga tanpa perantara itu lebih murah, sedangkan para petani memperoleh lebih besar daripada mereka menjual lewat pejabat Hunan. Tapi pejabat Hunan tersinggung dan marah. Lalu mereka pun menyiagakan tentara di perbatasan, mencegat pengiriman beras ke Guangdong. Tak mau kalah gertak, Guangdong pun memobilisasi pasukannya. Untunglah, kompromi bisa dicapai: komisi tetap diberikan ke pejabat Hunan, tapi tak sebesar yang diminta. Wibawa pusat masih punya dampak, terutama ketika disebut-sebut nama Deng Xiaoping. Kemudian, dalam pelbagai kasus, para pejabat Guangdong bahkan berani menghadapi tekanan dari Beijing. Pada tahun 1992, misalnya, mereka menolak pasokan minyak dari pusat yang harganya kelewat mahal. Ketika diancam pasokan itu akan dihentikan sehingga bisa mematikan industrinya, para pemimpin lokal itu tak ambil peduli. Mereka lantas menyewa sebuah tanker dari Kuwait untuk menimpor minyak mentah langsung dari pasar internasional. Keberanian itu bukan tanpa dasar. ''Apa, sih, yang diinvestasikan para pemimpin dari Beijing itu di sini?'' kata Zeng Guangcan, Wakil Direktur Komisi Reformasi Ekonomi Privinsi Guangdong. ''Jalan bebas hambatan, rel kereta api, dan stasiun pembangkit listrik semua kami ongkosi sendiri,'' ujarnya lagi. Modal yang ditanam di Guangdong untuk perkembangan ekonominya memang 80% berasal dari investasi asing (terutama Hong Kong), sedangkan pemerintah pusat hanya mengisi 3%. Memang, Guangdong menjadi contoh bagaimana desentralisasi menumbuhkan kemampuan mandiri yang besar. Tapi, dalam beberapa hal, bagi pemerintah pusat ini adalah penyakit. Dan penyakit itu ternyata telah menular ke beberapa wilayah lain di Cina selatan: Fujian, Yunan, bahkan Sichuan, daerah kelahiran Deng Xiaoping. Para petani Sichuan sudah berani melawan pejabat yang korup, yang menekan rakyat melalui pajak. Kasus pemukulan para penarik pajak dari pusat oleh petani di daerah sering terdengar. Bahkan sebuah kisah yang diceritakan oleh New York Times Magazine, seorang pejabat pajak dimasukkan ke dalam kandang babi. Sebenarnya bukan sekali ini pemerintah pusat hendak melaksanakan aturan baru yang sentralistis di bidang perpajakan. September 1990 Li Peng mengumumkan rencana pengontrolan fiskal provinsi oleh pusat. Tapi, dalam pertemuan itu Gubernur Guandong langsung berdiri dan menolaknya, dan ia mendapat dukungan dari gubernur yang lain. Tapi kali ini Komite Sentral tampaknya akan berkeras supaya sistem perpajakan yang sebenarnya bertentangan dengan semangat reformasi itu bisa mulus terlaksana. Di samping diadakan lobi ke daerah, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Ekonomi Zhu Rongji beberapa pekan terakhir juga telah mengendurkan pengetatan kredit, demi memperoleh sokongan daerah di sidang pleno PKC sekarang. Motivasi diterapkannya sentralisasi pajak kali ini lebih kuat. Bila desentralisasi kini tak bisa dikendalikan, bagaimana nanti setelah Deng Xiaoping meninggal? Itulah karena belum ada pemimpin yang wibawanya menyamai Deng. Tanpa seorang pemimpin seperti Deng, konflik antardaerah atau antara daerah dan pusat bisa berkembang lebih parah, dan lebih jauh lagi, terjadi perpecahan seperti di Uni Soviet. Ketakutan para pemimpin Cina itu tercermin dari digalakkannya kampanye persatuan beberapa bulan terakhir ini. Media massa yang dikontrol pemerintah hampir tidak pernah melewatkan berita perang antarsuku bangsa di Yugoslavia, di bekas Uni Soviet, atau di Irlandia. Tentu saja berita-berita itu dibumbui dengan komentar betapa sengsaranya rakyat yang negaranya terpecah-pecah. Jadi, tak ada pilihan lain bagi Cina kecuali waspada terhadap bahaya perpecahan dan mempererat persatuan. Tak jelas, seberapa jauh imbauan macam ini setelah Cina menjalankan reformasi masuk ke kepala lebih dari semiliar orang Cina itu. Tapi tampaknya, sejauh pusat tetap toleran terhadap inisiatif daerah, mungkin sentralisasi pajak hanya akan menimbulkan masalah di awalnya. Cuma pertanyaannya, sampai kapan pusat bisa menyatukan semua provinsi, terutama setelah Deng Xiaoping tiada. Analisa beberapa pengamat Cina bahwa negeri besar ini sebaiknya menjadi sebuah federasi untuk menghindarkan konflik boleh jadi realistis.Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini