USAINYA Perang Dingin tak cuma mendamaikan blok Sosialis dan Barat. Tapi, juga antara Sosialis dan Sosialis. Menurut rencana, Selasa pekan ini, Presiden Vietnam Le Duc Anh tiba di Beijing untuk sebuah kunjungan kenegaraan sekitar sepekan. Ini merupakan kunjungan pertama oleh seorang kepala negara sejak tahun 1959. Presiden Vietnam yang terakhir datang ke Beijing adalah Ho Chi Minh, bulan September 1959. Apa pun agendanya, kedatangan Le Duc Anh di Beijing merupakan loncatan jauh ke depan dalam sejarah hubungan kedua negara. Loncatan itu dimulai sebulan yang lalu, ketika kedua negara sepakat tak menggunakan senjata dalam masalah perbatasan kesepakatan yang dicapai setelah 19 tahun berunding. Jalan panjang mesti ditempuh sebelum tiba pada kesepakatan bulan lalu itu tak lain karena sejarah permusuhan Vietnam-Cina begitu mendalam. Sebelum jatuh di tangan Prancis, Vietnam dijajah Cina berabad-abad. Sejarah ini pula yang menyebabkan pada zaman modern ini kedua negara itu selalu mengambil posisi bermusuhan. Beijing, misalnya, memasok dana dan senjata kepada Khmer Merah di Kamboja karena Vietnam berdiri di belakang kelompok musuh Khmer Merah. Lalu, soal batas negara, di darat dan laut, serta kekuasaan atas wilayah di Teluk Tonkin, pun menjadi peka. Itu masih ditambah dengan kemelut Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan yang belakangan juga diributkan oleh Malaysia, Brunei, dan Filipina. Vietnam sendiri pada awalnya, dari tahun 1950-an sampai awal 1970-an, belum melibatkan diri berebut wilayah Spratly. Setelah Perang Vietnam, barangkali karena sudah merasa jaya berhasil mengusir tentara Amerika, pada tahun 1977, Vietnam menerbitkan peta wilayah baru. Dalam peta yang dipublikasikan melalui harian Quan Doi Nhan Dan, koran milik tentara, itu Vietnam memberi penegasan bahwa Spratly (dan Kepulauan Paracel, di dekatnya) adalah wilayahnya. Tentu saja Cina berang karena pada tahun 1958 Perdana Menteri Pham Van Dong sudah mengiyakan bahwa kedua gugusan pulau kecil itu termasuk dalam wilayah Cina. Bahkan, ia menyebut keduanya dengan nama Cina, yakni Xisha dan Nansha. Ketegangan pun meningkat mulai awal tahun 1978. Di samping krisis perbatasan tak juga kunjung terselesaikan, ada pula konflik di Kamboja dan kemarahan pemerintah di Beijing atas perlakuan Vietnam terhadap orang-orang keturunan Cina di bekas wilayah Vietnam Selatan. Akhirnya, melalui sidang pleno ketiga Komite Sentral Partai Komunis Cina Desember 1978, Cina memutuskan menyerbu Vietnam sebagai hukuman atas keberanian Vietnam melakukan provokasi. Tapi ''pelajaran'' bagi Vietnam itu tak membawa hasil seperti yang dikehendaki Cina: pasukan Vietnam cukup kuat bertahan. Lalu diadakan perundingan, yang berjalan kurang lancar karena, sementara perundingan itu dijalankan dengan setengah hati oleh kedua pihak, ada pula insiden di Teluk Tonkin. Cina telah memberikan hak kepada sebuah perusahaan minyak asing untuk melakukan eksplorasi di wilayah itu. Anjungan pengeboran minyak itu kemudian ditembaki oleh pasukan Vietnam yang berpatroli di sana. Sampai sejauh itu Cina berhasil menunjukkan superioritasnya atas Vietnam, negara yang didera kemiskinan setelah Soviet, sejak awal tahun 1991, tak lagi bisa membantu. Karena itulah Beijing, yang kemudian menawarkan minyak, pupuk, dan komoditi lain kepada Vietnam, mampu menekan tetangganya itu. Yakni, bantuan akan diteruskan bila konflik di Kamboja segera diredakan, dan Vietnam diminta bisa hidup damai dengan Khmer Merah. Akibatnya, politbiro Partai Komunis Vietnam dikecam oleh kalangan terpelajar di dalam negeri. Akhir November 1992 PM Li Peng datang ke Hanoi, sebagai bukti niat baik Cina. Perdana Menteri Cina yang datang ke sana sebelum itu adalah Zhou Enlai, 21 tahun sebelumnya. Li Peng dan PM Vo Van Kiet menandatangani kontrak kerja sama ekonomi dan investasi. Li Peng juga menjanjikan bantuan rehabilitasi atas pabrik-pabrik tua di Vietnam, tapi bantuannya tak lebih dari US$ 14 miliar. Reformasi ekonomi di RRC dan kemudian Vietnam memang telah membuat kegiatan dagang antara keduanya meningkat. Li Peng pun saat itu menegaskan, janganlah beberapa perbedaan yang terjadi (akibat masih belum terselesaikannya soal Spratly) mengganggu kegiatan ekonomi bersama. Tapi sejauh itu belum ada pemimpin Vietnam yang bersedia berkunjung ke Cina. Seolah Vietnam tetap bersiap perang dengan Cina. Dalam situasi sekarang, ketika kepentingan ekonomi di atas segalanya, dan Vietnam sedang mencoba menarik lebih banyak modal luar negeri, kunjungan Presiden Le Duc Anh ke Beijing bisa berarti banyak. Setidaknya, tak perlu ada energi terbuang untuk bermusuhan. MC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini