MEMASUKI musim kemarau Nopember ini, perang di kawasan
Indocina diduga akan makin seru. Pemerintahan Heng Samrin yang
berkuasa di Phnom Penh rupanya ingin menghajar habis gerilya Pol
Pot sekali ini, tentu saja, dengan bantuan Vietnam. Tapi operasi
militernya dikhawatirkan akan bisa melimpah ke negara
tetangganya, Muangthai.
Selama ini Muangthai selalu menyatakan akan bersikap netral
dalam konflik Pol Pot dengan Heng Samrin. Namun tuduhan Vietnam
terhadap keterlibatan Muangthai dalam membantu gerilya Pol Pot
bukan lagi sekedar perang kata. Tembakan mortir Kambodia sudah
menimpa kamp pengungsi di Thap Prik, 200 km sebelah timur
Bangkok (TEMPO, 27 Oktober). Dan pekan lalu terjadi pula
bentrokan bersenjata antara marinir Muangthai dan 'pasukan
asing'. Seorang marinir dan 12 lainnya luka-luka. Mungkin
insiden itu pertanda awal akan pecahnya konflik militer terbuka
di kawasan itu.
Meskipun berita insiden bersenjata itu akhirnya diralat oleh
jurubicara Komando Tertinggi Angkatan Bersenjata Muangthai pada
keesokan harinya, PM Kriangsak Chomanan sempat membatalkan
kunjungannya ke Jakarta pekan lalu. Karena terserang flu,
demikian alasannya. Tapi situasi di perbatasan Muangthai
mencemaskannya. Bahkan dia telah menghimbau PBB untuk mengirim
komisi fact finding guna memonitor perkembangan yang terjadi di
perbatasan itu. "Sehingga tahu siapa yang salah dan yang benar,"
kata Jenderal Kriangsak.
Himbauan Kriangsak ini menunjukkan bahwa Muangthai mulai
merasakan ancaman serius. Sekutunya dalam ASEAN mungkin akan
membelanya dengan berbagai cara. Tapi adalah Muangthai yang
secara langsung menghadapi akibat konflik di kawasan itu.
Mungkin sebab itu pula Muangthai kelihatan lebih berhati-hati
dalam memberi reaksi terhadap aksi Vietnam yang mendukung rejim
Heng Samrin. Terutama bila dihanding dengan suara dari Singapura
yang sesama anggota ASEAN.
Ketika Konperensi Menlu ASEAN ke-12 berlangsung di Bali Juli
lalu, misalnya, Menlu Singapura Sinathamby Rajaratnam langsung
berbicara keras begitu dia mendarat di lapangan terbang Ngurah
Rai. "Vietnam telah melakukan intervensi militernya di Kambodia.
ASEAN memang merasakan adanya ancaman Vietnam dan ASEAN harus
siap mengambil langkah apapun menghadapi perang ini," kata
Rajaratnam (TEMPO, 7 Juli). Pernyataannya itu sempat membikin
jengkel rekannya di ASEAN.
Bahkan seorang pejabat Muangthai sempat melontarkan kecaman ke
arah Singapura September lalu. "Pernyataan yang keras tak akan
membantu penyelesaian masalah," kata pejabat itu. Begitu juga
ketika di KTT Havana, seorang pejabat tinggi Indonesia
mengatakan, "termasuk dalam bab kesibukan kita adalah untuk
mengerem Singapura supaya jangan berapi-api."
Kenapa sikap Singapura agak berlebih-lebihan "Cara Singapura
menyerang Vietnam dan Soviet dalam konteks Kambodia akan membawa
amanat besar bagi masa depan perdagangannya dengan Cina," kata
seorang pengamat. Walaupun Singapura belum punya hubungan
diplomatik dengan RRC.
Tragedi yang menimpa bangsa Kambodia ini memang cukup
mengerikan. Bangsa yang dulunya dikenal cinta damai itu sekarang
harus mengalami penderitaan yang luar biasa hanya karena
memenuhi ambisi para pemimpinnya yang dipengaruhi kepentingan
negara asing. Melibatkan pengaruh Cina dan Uni Soviet, konflik
Kambodia ini kelihatan akan berlarut-larut.
Tuntutan ASEAN supaya Vietnam menarik mundur pasukannya dari
Kambodia tampaknya tidak akan terkabul. Hanoi menjawab, "jika
Kambodia kami tinggalkan, maka Pol Pot atau antek Cina lainnya
akan didudukkan di Phnom Penh."
Memang masalahnya seperti makan buah simalakama. Terutama bila
dihubungkan dengan kesan bahwa negara yang menuntut penarikan
mundur tentara Vietnam berarti menyetujui rejim Pol Pot yang
didukung Cina dan terkenal kejam itu.
Tapi suatu langkah yang lebih tegas muncul di Inggeris pekan
]alu. Partai Buruh telah mendesak pemerintah Inggeris untuk
mencabut pengakuannya terhadap rejim Pol Pot. Juru bicara partai
oposisi itu, Peter Shore, mengatakan bahwa rejim Pol Pot hanya
menguasai 10% dari wilayah Kambodia. "Dan sangat dibenci,"
tambahnya.
Jika mencabut pengakuannya terhadap rejim Pol Pot, Inggeris
mungkin bisa membantu memperlancar suplai pangan dan obat-obatan
bagi rakyat Kambodia. Kini Phnom Penh menolak setiap bantuan
yang dicurigainya akan jatuh ke tangan gerilyawan Pol Pot.
Namun kembali menghadapi musim kemarau di sana, kalangan ASEAN
sangat cemas memang kalau perang akhirnya melibatkan Muangthai,
entah karena provokasi' atau apapun namanya. Walaupun ada
jaminan dari AS untuk membantu, kekuatan militer Muangthai agak
diragukan dibanding dengan Vietnam. Apalagi, begitu TIME edisi
19 Pebruari, angkatan bersenjata Muangthai dipimpin oleh
jenderaljenderal yang umumnya lebih berkepentingan dengan
politik dan cari duit dari pada perang. Yang jelas Muangthai
untuk tahun 1979 meningkatkan pembelian senjata dari AS sebesar
$ 50 juta. ketimbang rencana sebelumnya yang hanya $ 30 juta.
Bahwa harus siaga penuh, Muangthai sudah mengumumkannya. "Siap
untuk bertempur sampai titik akhir bila Vietnam melanggar
wilayah Muangthai," kata Letjen Som Kathapan, jurubicara Komando
Tertinggi di Bangkok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini