Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Selain peluru, kelaparan membunuh.

Rakyat kamboja terancam punah. konflik indocina mungkin menyeret muangthai. tuntutan asean tetap tak diindahkan hanoi. keadaan ekonomi vietnam juga gawat. (ln)

3 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALANAN sepi, bangunan tak hanya hancur tapi juga rontok perlahan-lahan batu demi batu. Phnom Penh sungguh seperti kota mati. Sukar untuk bertemu dengan orang yang berkaca-mata. Maklum, ketika Pol Pot masih berkuasa hampir semua orang membuang kaca matanya -- khawatir kalau dituduh intelektual. Rejim Pol Pot menganggap kaum intelektual itu musuh dan 'sah' untuk dibunuh. Tidaklah mengherankan kalau gedung perpustakaan nasional sekarang pun masih seperti kandang babi, berantakan. Suatu gambaran yang suram memang. Sementara semua penduduk diharuskan menjadi petani untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas. Banyak mesin dihancurkan karena Pol Pot ingin membangun suatu masyarakat baru yang lepas dari ketergantungan pada negara lain. Dengan eksperimen ini Pol Pot menggugah perhatian dunia. Sekitar 3 juta penduduk Kambodia mati sejak dia berhasil menggulingkan rejim Lon Nol yang didukung Amerika Serikat, sampai dia sendiri digulingkan oleh Heng Samrin dengan bantuan Vietnam. Kambodia yang pada tahun 1970 berpenduduk 7 juta sekarang tinggal 4 juta. Itu pun sebagian besar hidup dalam ancaman bahaya kelaparan. Tapi kepunahan sebagian bangsa Kambodia ini, menurut sebagian orang, bukan melulu hasil 'pembunuhan' yang dilakukan rejim Pol Pot. Pemboman dahsyat yang dilakukan Amerika Serikat ke wilayah Kambodia pada masa perang Vietnam juga ikut membantai penduduk negeri itu. Waktu itu -- 1970 s/d 1975 -- sebagian wilayah Kambodia merupakan tempat pelarian gerilya Viet Cong, yang berjuang membebaskan Vietnam Selatan dari rejim Nguyen Van Thieu. Selain itu, tentara Vietnam Utara juga ketika itu memasuki wilayah Kambodia, yang dikenal dengan Ho Chi Minh trail untuk merembes ke Vietnam Selatan. Pihak Amerika telah terpaksa membomnya secara besar-besaran dan, tentu saja, membabi-buta yang akhirnya banyak timbul korban di kalangan penduduk. Kemudian terjadi program 're-edukasi' yang dilancarkan Pol Pot dan kawannya, Menlu leng Sary, dengan memaksa penduduk keluar dari Phnom Penh untuk bekerja di pedesaan. Hampir disepakati bahwa pemaksaan tadi adalah penyebab utama berkurangnya secara besar-besaran bangsa itu. Tidak sedikit kalangan terpelajar, bahkan juga dokter, terpaksa bekerja dengan tangan di persawahan, yang secara perlahan-lahan membunuh mereka karena perbedaan lingkungan. Tapi dalam suatu wawancaranya dengan Der Spiegel, Mei 1977, leng Sary mengatakan bahwa 800.000 penduduk Kambodia mati selama perang menghadapi rejim Lon Nol yang didukung AS. HAMPIR sulit untuk dipercaya bahwa Kambodia, yang 10 tahun lalu hijau dengan tumbuh-tumbuhan dan penuh damai, harus mengalami nasib seperti sekarang ini. Di tengah konflik militer yang berlangsung di negara tetangganya, Vietnam Selatan waktu itu, Kambodia masih sanggup mengekspor beras. Sekarang, foto hasil pemotretan satelit mengungkapkan hanya 10% tanah di wilayah itu ditanami padi. Dan itu terletak di bagian barat Kambodia yang dari dulu terkenal dengan kesuburannya. Di sebuah kamp, 7 km dari Phnom I'enh, berdiam puluhan ribu orang yang tak memiliki tempat tinggal. Sebagian besar di antara mereka mengidap penyakit dan kelaparan. Tak ada yang mereka kerjakan kecuali menunggu saat bisa kembali lagi ke Phnom Penh. Kalau akhirnya bisa kembali ke kota, mereka mungkin akan menambah kesulitan karena langkanya air minum dan listrik. Jalan menuju Phnom Penh ramai belakangan ini dengan orang yang membawa buntelan barang. Mereka tampaknya sudah tak kuat lagi hidup di desa. Wartawan Australia, John Pilger yang berkunJung ke Phnom Penh September lalu melaporkan bahwa penduduk desa mendapat jatah beras hanya 3 kg per bulan. Sebagian besar penduduk menderita busung lapar. Untuk mengatasi kekurangan makanan ini mereka memakan daun pisang. Seorang wakil organisasi pemberi bantuan yang juga berkunjung ke sana mengatakan, "kelihatannya tak ada jalan yang mungkin buat mereka bisa bertahan dalam beberapa bulan lagi, kecuali apa yang tersedia sekarang ini." Di Bukit Takong Krao, suatu daerah yang masih dikuasai gerilya Pol Pot dan tak begitu jauh dari perbatasan Kambodia-Muangthai, ribuan penduduk menggigil. Lapar dan malaria menyerang mereka sekaligus. Ada rumah sakit darurat khusus untuk tentara wanita di Takong Krao. Kaum wartawan dari Bangkok yang berkunjung ke daerah itu melaporkan bahwa rumah sakit itu penuh dengan gadis yang sedang menderita penyakit malaria. Sekitar 2 atau 3 orang di situ meninggal setiap hari karena penyakit tersebut. Makanan boleh dikata tak ada Schari-harinya pasien hanya makan se dikit sayuran dan sup encer. Walaupun keadaan begitu buruk, hampir tak ada pcnduduk ataupun gerilyawan yang berani melarikan diri. Karcna bila ketahuan, hukuman bagi mereka cukup berat. Yaitu dipukulin sampai mati. "Untuk menghemat peluru," kata seorang penduduk. Umumnya wartawan yang pernah berkunjung ke daerah itu mengatakan bahwa para gerilyawan Khmer Merah itu memiliki disiplin baja. Atau mungkin karena tak ada pilihan lain. Kehidupan mereka jelas -- dalam pengertian jatah makanan -- jauh lebih baik dari rakyat biasa. Hal yang sama juga dijumpai di Desa Phnom Malai, 35 km dari perbatasan Muangthai. Sebagian besar penduduk di situ kelihatan pucat dan lesu akibat penyakit malaria. Cuma ketika didatangi wartawan, mereka mencoba tersenyum untuk menunjukkan bahwa mereka cukup makan. Gadis-gadis dengan senjata buatan AS atau Soviet berkeliaran di Phnom Malai dengan wajah yang dingin sama sekali. Sementara anak-anak kelihatannya tidak begitu banyak. Juga suara binatang peliharaan hampir tak pernah kedengaran, sesuatu yang asing bila dibanding dengan daerah pedesaan lainnya di Asia Tenggara, tulis seorang wartawan Barat sekembalinya dari Phnom Malai. Taluang, seorang anak berusia 14 ta hun kelihatan tak sepantar dengan umurnya. Dia lahir dan dibesarkan di dae rah itu. Orang tuanya sejak dulu sudah ikut dengan gerilya Khmer Merah. Sementara ayahnya berada di hutan melawan rejim Heng Samrin, Taluang bekerja merawat para gerilya yang diantar pulang ke Phnom Malai. Seperti Taluang, nasib ratusan ribu orang Kambodia lainnya di dekat perbatasan Muangthai sekarang menunggu jalan keluar kalau perang berkecamuk lagi waktu selesai musim hujan Nopember ini. Nasib mereka sama saja -- menempati gubuk darurat, menderita kelaparan sementara anak-anak dalam keadaan kekurangan gii yang luar biasa. Dan malaria menjangkiti mereka. "Dalam seminggu sebagian besar dari kami akan mati," kata Pangeran Norodom Soriyavong (lihat box). Dia bersama pengikut yang berjumlah 20 ribu orang berdiam di Sisophon, desa di bagian utara perbatasan Muangthai. Selama ini mereka mendapat bahan makanan dari penyelundupan yang dilakukan pedagang Muangthai dengan harga yang cukup tinggi, blasanya berlangsung secara barter. Pedagang itu mempertaruhkan nyawa kalau memasuki wilayah tersebut. Segera setelah jual-beli selesai, mereka lari ke wilayah Muangthai kembali. Masih ada lagi yang cukup menderita tapi berada di luar Kambodia. Yaitu mereka yang sekarang jadi pengungsi di wilayah Muangthai -- sekitar 200 ribu orang. Seorang pejabat PBB, yang barusan melawat ke sepanjang daerah perbatasan, mengatakan 80% di antara anak-anak pengungsi itu mengalami kekurangan gizi yang luar biasa. Dengan kata lain, kalau tak cepat mendapat pertolongan, mereka akan segera mati. "Selama 17 tahun saya bekerja di PBB belum pernah melihat keadaan seburuk ini. Mereka butuhkan sangat pertolongan," kata pejabat PBB itu. Itulah masalahnya. Bantuan datang tak sebagaimana yang dijanjikan. "Setiap hari ada saja pernyataan yang menJanJikan bantuan baik negara atau lembaga," kata Joseph Curtain dari Pelayanan Bantuan Katholik di Bangkok. Tapi sering terjadi bantuan itu -- yang dikirim dengan truk ke kamp pengungsi-sebagian hilang di tengah jalan. Supir truk yang bekerjasama dengan orang tertentu seringkali menyelewengkannya. Pemerintah Heng Samrin yang berkuasa di Phnom Penh tak bisa menerima kalau bantuan ini diberikan kepada kaum gerilya dan penduduk yang berdiam di wilayah yang masih dikuasai Pol Pot. Namun sebagian dari bantuan itu ternyata sampai juga ke tangan mereka. Seperti yang ditemui wartawan di Phnom Malai, bantuan itu masuk melalui Muangthai. Joan Baez, penyanyi folk-song terkenal dari AS, baru-baru ini meninjau beberapa kamp pengungsi di Asia Tenggara. Banyak orang Amerika tidak mengetahui tentang arus pengungsi ke Muangthai sebagai akibat konflik di Kambodia, katanya. Dia yang juga aktivis hak asasi manusia itu berkata: "Memang sulit menyentuhkan penderitaan umat manusia kepada mereka yang hidupnya sudah okay." Tak pedulikah rakyat Amerika? Kemungkinan tambahan bantuan international untuk orang Kambodia sudah terdengar juga dari Washington. Presiden Jimmy Carter pekan lalu menjanjikan bantuan sebesar $ 69 juta termasuk 9 juta untuk pengungsi Kambodia di Muangthai. Carter menyamakan keadaan kelaparan di Kambodia ini dengan penghancuran umat manusia pada perang Dunia II. "Kita mesti bertindak secepatnya," kata Carter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus