DUA orang diplomat Australia di Teheran tiba-tiba diperintahkan meninggalkan Iran, Senin pekan lalu. David Poulter dan John Gurran, masing-masing pejabat senior administrasi dan pejabat senior perdagangan di Kedubes Australia diminta angkat kaki dari sara, dalam waktu 72 jam. Pengusiran itu dilakukan pemerintah Iran, gara-gara sebuah komedi yang sangat menyinggung perasaan pemimpinnya, Ayatullah Ruhollah Khomeini. Dalam acara yang disiarkan televisi Australian Broadcasting Corporation (ABC) itu, digambarkan seorang wanita yang wajahnya tertutup cadar sedang mewawancarai pemimpinnya. Di situ lalu ditampilkan sang Ayatullah, yang dengan gampang memerintahkan orang ditusuk matanya, karena kedapatan membaca sebuah media Barat. Kemudian Khomeini memerintahkan hukuman potong lengan terhadap seseorang yang ketahuan memakai deodoran. Komedi itu kontan membuat Ahmad Attri, dubes Iran di Australia, naik pitam. Selesai menonton acara yang dinamai "The Dingo Principle", (dingo adalah sejenisanjing liar Australia yang pernah memakan anak manusia) dua pekan lalu itu, ia segera menelepon ke Teheran. "Saya bisa menikmati lelucon, tapi mengolok-olok agama dan harga diri suatu bangsa adalah perbuatan tak terhormat," ujarnya. Pihak ABC menolak permintaan itu. Alasannya, mereka mempertahankan kebebasan dalam memilih topik. "Kami tak pernah minta maaf kepada Paus dan tokoh masyarakat lain yang menjadi sasaran kami. Mengapa kami harus minta maaf kepada Iran," komentar produsernya. Menghadapi ketegaran ABC, tampaknya tidak mudah bagi Canberra untuk memperbaiki hubungan yang telanjur rusak. Meskipun ABC adalah jaringan televisi milik pemerintah, "kami tak dapat berbuat apa-apa, karena media di Australia menganut prinsip pers bebas," demikian sumber TEMPO di Deparlu Australia. Iran tentu tidak peduli dan tidak mau mengerti. Maka, dua diplomat Australia akhirnya diusir dari Teheran. Apakah Canberra akan membalas? Menlu Australia Bill Hayden menjawab, "tak bisa berbuat banyak." Seorang juru bicara Deplu Australia bahkan menjelaskan bahwa pemerintahnya tak berniat menyampaikan protes ke Iran, atau memanggil dubes Iran, Ahmad Attri. Sikap ini bukan tanpa dasar. Australia tampaknya tak mau kehilangan Iran yang mengimpor 10 persen dari total ekspor gandumnya. Seperti dikatakan Bill Hayden, "Nilai ekspor kami ke negara itu US$ 200 juta. Sebagian besar di antaranya adalah gandum. Ini masalah sensitif." Akan halnya media Australia, Bill Hayden mengharapkan, "Media massa Australia supaya bisa lebih mawas diri, meski tidak dikontrol." Peristiwa kali ini merupakan kasus ketiga dari sejumlah konflik antara Iran dan "humor" ala Barat. Peristiwa pertama terjadi November tahun silam. Kala itu, tiga diplomat Italia diusir dari Teheran, dan Pusat Kebudayaan Italia di Teheran ditutup, garagara sebuah program televisi Italia yang dinilai merugikan nama baik Iran. Insiden serupa juga terjadi di Jerman Barat dan Negeri Belanda, Februari lalu. Ada acara komedi berjudul "Tagensshow" yang disiarkan televisi Jer-Bar. Dalam siaran sekitar 14 detik itu diperlihatkan seorang wanita yang seolah melemparkan pakaian dalamnya di hadapan Ayatullah Khomeini yang sedang duduk termangu. Akibatnya, dubes Jer-Bar di Teheran dipaksa meminta maaf. Namun, pemerintah Jer-Bar menolak. Akhirnya, dua diplomat Jer-Bar pun diusir dan Goethe Institut di Teheran tutup. Acara komedi Jer-Bar itu, ternyata, menarik perhatian jaringan televisi Belanda "Vara" yang berhaluan sosialis, untuk disiarkan dalam program "Achter Hetniewus". Mendengar hal ini, kontan Menlu Belanda Hans van den Broek menelepon Paul Witteman, penanggung jawab siaran, agar membatalkannya saja. "Risikonya terlalu besar bagi keselamatan 71 warga Belanda di Teheran, terutama bila kemarahan rakyat Iran tak terbendung lagi," kata Van den Broek dalam pembicaraan telepon yang disiarkan satu menit sebelum program dimulai. Rekaman pun batal disiarkan. 80 penelepon malam itu merasa kecewa, media massa dan parlemen Belanda ikut meramaikan gagalnya siaran itu. Banyak yang mengecam gejala ini sebagai preseden yang buruk. James Kliphaus dari Radio Nederland berkata, Nederland Omroeb Stichting (NOS), organisasi siaran televisi dan radio Belanda, tetap menyiarkan "matinya seorang putri di Arab, walaupun Arab Saudi merasa tersinggung. Henk van Gelder dalam NRC Handelblast mempertanyakan, "Apakah Paus Johannes Paulus II dapat diperlakukan begitu saja, sementara Khomeini tak dapat diganggu gugat?" Tampaknya memang demikian. Ayatullah Ruhollah Khomeini, 85, masih dipuja di Iran. Walau baru sembuh dari kanker prostat dan serangan jantung, "Khomeini masih melangkah tegap dan kelihatan segar," tulis George A. Nader, editor The Middle East, yang meliput audiensi pemimpin itu di utara Teheran Februari lalu. "Dengan pandangan mata yang tajam, Khomeini tnengobarkan semangat untuk terus berperang melawan Irak. Setelah 30 menit ia pun menghilang, masih dengan langkah tegap," tulisnya lagi. Didi Prambadi, Laporan Dewi A. (Australia) & Hendrix M. (Belanda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini