DUNIA tengah berdebar menunggu pecahnya perang dagang Jepang-Amerika. Sementara itu, ada letupan emosional dalam hubungan ASEAN-Jepang. Bermula 23 April silam, ketika kementerian luar negeri Singapura melayangkan sebuah nota protes ke Tokyo. Pasalnya, keterlibatan sebuah perusahaan Jepang dalam kerja sama ekonomi dengan Vietnam. Nota yang mengatasnamakan ASEAN dan dibuat atas perintah Menlu Suppiah Dhanabalan itu menyuarakan kecemasan. Tindakan Jepang di nilai mengkhawatirkan, lantaran "merusakkan usaha masyarakat internasional untuk memencilkan Vietnam baik secara politis maupun ekonomis." Maka, enam duta besar ASEAN di Tokyo datang menemui Kimio Fujita, Dirjen Asia pada deplu Jepang. Dijelaskan di situ kerja sama Jepang-Vietnam bisa menghambat penyelesaian damai bagi konflik Kamboja. Tentang ini, seorang pejabat deplu Jepang yang tidak mau disebut namanya mengatakan kepada Seiichi Okawa dari TEMPO bahwa pemerintahnya juga telah menerima protes bernada sama dari AS dan RRC. Menurut pejabat itu, Dirjen Fujita telah pula menuraikan sikap resmi Jepang. "Pemerintah Jepang tetap mendukung ASEAN dan akan terus membekukan bantuan ekonominya kepada Vietnam," demikian Fujita. "Tapi pemerintah Jepang tak bisa campur tangan dalam bisnis yang dilakukan oleh sektor swasta." Adapun kegiatan Jepang yang diprotes ASEAN terpusat pada perusahaan Nisshc Iwai, shogo sosha (badan perdagangan) nomor enam di Negeri Sakura. Awal Maret lalu rombongan perusahaan itu datang ke Hano dan mengesahkan sebuah memorandum dengan judul "Kerja Sama Ekonomi". Perjanjian yang ditandatangani bersama dengar Wakil PM dan Menlu Vietnam Nguyen Co Thach itu, konon, menyangkut kerja sama untuk mengembangkan pertanian, perikanan, eksploatasi sumber minyak, dan pembangunan prasarana sosial. Perjanjian inilah yang menurut juru bicara Nissho Iwai, Toyotaru Fujiwara, disalahartikan oleh ASEAN. "Perusahaan kami hanya kebagian sekitar 9%, atau senilai empat milyar yen saja." Dan Fujiwara heran mengapa media massa ASEAN menganggap Nissho Iwai sebagai satu-satunya yang melebarkan sayap ke Hanoi. "Itu keliru," katanya lagi. "Mungkin karena pernah mengirim misi dagang ke sana, kami dianggap simbol aktivitas bisnis Jepang di Vietnam," ujarnya. "Kami jadi kambing hitam," tambahnya. Apa yang dikatakan Fujiwara sebagai "kambing hitam" itu mungkin ada benarnya juga. Dua pekan lalu siaran radio Hanoi memberitakan ekspor minyak Vietnam yang pertama ke Jepang sebanyak 77 ribu ton. Sebenarnya, pengiriman dilakukan oleh dua perusahaan, tapi Hanoi hanya menyebut Nissho Iwai saja. Padahal, menurut Fujiwara, perusahaannya hanya membeli 27 ribu ton. Dan sisanya yang 50 ribu ton dibeli oleh C. Itoh, shogo sosha nomor tiga. Terus terang dikatakan oleh Fujiwara bahwa kekhawatiran ASEAN tidak beralasan. Lagi pula, kegiatan yang dirintis Nissho Iwai terbatas pada perdagangan saja. Sebagai perbandingan dia menampilkan JVTA aapan Vietnam Trade Association) yang telah menandatangani sebuah proyek konstruksi berupa proyek patungan pertama dengan Vietnam. Ke dalam JVTA bergabung 88 perusahaan Jepang, tidak terkecuali Nissho Iwai dan Itoh. Karena sudah "main proyek", tampaknya soal kerja sama Jepang-Vietnam ini makin sulit "dicerna" oleh ASEAN. Apalagi kalau mengingat bahwa di Jepang pemerintah dan swasta - terutama shogo sosha - punya hubungan erat yang saling menjalin. Bertolak dari sini, bagaimana bisa diterima kalau Nissho Iwai, Itoh, dan lain-lain bisa terjun ke Vietnam tanpa semacam "restu" dari pemerintah. Apa pun yang terjadi, nota protes ASEAN itu tidak berdiri sendiri. Perusahaan Jepang sedang kelabakan mencari pasar baru, sementara di Vietnam kini diusahakan ekonomi pintu terbuka. Upaya ini tidak terlepas dari kgawatan ekonomi Vietnam, yang salah satu penyebabnya adalah invasi ke Kamboja yang kini sudah memasuki tahun ke-9 itu. Di samping itu, sanksi ekonomi dan politik 'yang dilancarkan oleh negara-negara Barat dan ASEAN tentu ikut menentukan. Nissho Iwai, Itoh, ataupun JVTA hanya memanfatkan peluang terbuka di tengah sanksi dan ancaman tersebut. Dukungan pertama untuk ASEAN datang dari Menlu Australia Bill Hayden, yang awal pekan ini berkunjung dua hari ke Jakarta. Dalam keterangan persnya, ia menyokong sikap ASEAN dengan mengatakan situasi di Indocina juga sangat penting untuk Australia, walaupun la tak secara langsung menyentuh nota protes itu. Buat ASEAN sendiri pelebaran sayap swasta Jepang ke Vietnam tak dapat dianggap sepi. Di sampmg kekecewaan lantaran menurunnya investasi Jepang di sebagian negara ASEAN, masalah Kamboja juga masih merupakan prioritas utama dalam agenda mereka, mungkin sampai beberapa tahun mendatang. A. Dahana, Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini