Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bintang perang dan arab cemberut

A.s kembali menyelenggarakan latihan perang (bright star) 82 di mesir, somalia, oman dengan menyertakan pasukan negara setempat, sejumlah sahabatnya kawasan teluk persia meragukan ancaman soviet.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN pesawat transpor AS dengan suara gemuruh memasuki wilayah udara Mesir. Dari perut burung-burung raksasa itu, ratusan pasukan para pilihan, dan berbagai perlengkapan militer berat--sesudah menempuh jarak ribuan km dari pangkalan mereka di AS dan Eropa--diterjunkan dengan parasut. Operasi penerjunan Sabtu lalu itu merupakan bagian dari rencana latihan perang Bright Star (Binung Terang) 82. Latihan yang akan berlangsung 10 hari itu, melibatkan 6.000 pasukan para dari kesatuan Pasukan Gerak Cepat (RDF) Sejak dibentuk Presiden Jimmy Carter Maret tahun lalu, RDF yang berkekuatan 110 ribu personil militer pilihan sudah dua kali menyelenggarakan perang-perangan. Yang pertama, pertengahan tahun lalu dipusatkan di Mesir. Tapi kali ini, dalam upaya menunjukkan komitmen militer AS terhadap para sahabatnya di Timur Tengah, latihan perang juga diselenggarakan di Somalia, Sudan, dan Oman, dengan menyertakan pasukan negara setempat. Sasaran Leonid Libya yang bermusuhan dengan Mesir, tetangganya, sudah sejak awal tidak menyukai perang-perangan tadi diselenggarakan di depan hidungnya. Pemimpi Libya Kolonel Moammar Qadhafy menganggap hal itu sebagai langkah provokasi Washington yang bisa mengganggu subilitas keamanan di Timur Tengah. Sebagai tindakan protes serikat buruh minyak Libya pekan ini menganjurkan kepada seluruh negara Arab agar melancarkan embargo minyak terhadap AS. Ketimbang memperhatikan protes semacam itu, Washington, tentu, lebih senang memikirkan kepentingan atas kawasan Teluk Persia. Dari wilayah inilah, terutama dari ladang-ladang minyak di Arab Saudi, sebagian kebutuhan minyak AS dipenuhi. Suatu ancaman terhadap wilayah ini secara langsung bisa dianggap akan membahayakan kelangsungan hidup negeri super power tersebut. "Jika ada sebuah kekuatan asing mencoba menguasai kawasan Teluk Persia, itu berarti menyerang secara langsung kepentingan AS," kata Presiden Carter ketika itu memperingatkan. "Dan AS akan membalasnya dengan segala cara, termasuk menggunakan kekuatan militer." Washington memang merasa mulai was-was sejak Uni Soviet pada Naul 1979 melancarkan invasi ke Afghanistan. Rezim Teheran yang belum stabil dikhawatirkannya juga akan jatuh di bawah pengaruh Moskow. Sementara itu pula, diam-diam Soviet makin meluaskan pengaruhnya di Afrika. Di Pelabuhan Massawa, Ethiopia, yang strategis, negeri tersebut membangun pangkalan angkatan lautnya. Di Pulau Socotra, di mulut Teluk Aden, Soviet juga punya pangkalan angkaun laut sekaligus fasilitas militer yang lengkap. "Sasaran kami adalah menguasai sumber minyak Barat di Teluk Persia dan sumber mineral Barat di Afrika Tengah dan Selatan," konon kata Presiden Leonid Brezhnev, sebagai diceritakan oleh Presiden Somalia Siad Barre, bekas sekutunya. Merasa perkembangan tersebut tak menguntungkan AS berusaha meyakinkan sahabatnya di kawasan Teluk Persia bahwa "ancaman Soviet itu benar-benar nyata." Tapi di luar dugaan, para sahabatnya tidak mempercayai omongan tadi. Mereka lebih percaya bahwa justru Israel--bukan Soviet--yang akan selalu mengancam stabilitas kawasan tersebut. Pesawat tempur Israel, misalnya, sudah beberapa kali melanggar wilayah udara Saudi. "Agresi yang dilancarkan Israel tidak lebih baik dibanding agresi Soviet," ujar Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Saud al-Faisal. Dalam upaya mempertahankan kawasan Teluk Persia, AS mengajak negara-negara Arab di sekitarnya menggalang kerjasama militer. Washington menginginkan agar para sahabatnya tadi mengizinkan AS menggunakan pangkalan militer setempat. Sejauh ini hanya Mesir mempersilakan AS memanfaatkan pang kalan militer atau wilayahnya. Saudi, Oman, maupun Kuwait menolak. Bahkan nada suara mereka ccmberut. "Kehadiran pangkalan militer salah satu pihak hanya akan merangsang aktivitas militer di pihak lain," kata Pangeran Saud--meskipun Saudi baru dapat pesawat AWACS. "Saya paling benci jika orangorang itu membicarakan bagaimana upaya mereka mempertahankan diri dan menyelamatkan minyak kita," kata Menteri Luar Negeri Kuwait Sheik Sabah al-Ahmad al-Sabah. Sekalipun AS punya pangkalan militer di Pulau Diego Garcia, sikap negara-negara Teluk Persia itu jelas tak menguntungkan. Dibanding Pulau Socotra atau Pelabuhan Massawa, Diego Garcia, yang terletak di Lautah Hindia, dianggap kurang strategis. Di pulau ini, AS menempatkan 1.800 marinir dan puluhan pesawat C-5A dan C-141, yang merupakan sebagian kekuatan Pasukan Gerak Cepat. Sementara itu pula, dalam strategi global, AS dianggap masih lemah dalam menyelenggarakan suplai dan pengangkutan pasukan. Kecepatan dan daya angkut Komando Lintas Udara, yang memiliki 70 pesawat C-SA dan 234 C141, dianggap belum memadai. Untuk memindahkan perlengkapan militer 270 ton, misalnya, komando ini setidaknya membutuhkan waktu 26 hari. "Kekuatan lintas udara gabungan NATO dan AS sangat tidak memadai untuk mendukung kecepatan menggerakkan pasukan ke Asia Barat Daya (Teluk Persia) auu Eropa Barat," kata Kepala Staf Gabungan AS Jenderal David Jones. Dalam sistem persenjauan, menurut Admiral Sunsfield Turner, bekas Kepala CIA ,yang menulis di majalah The New York Times AS juga memiliki kelemahan. Tank tempur utama M-1, yang berbobot lebih dari 50 ton itu, dianggapnya terlalu berat. Pesawat transpor yang paling besar sekalipun hanya akan mampu membawa sebuah untuk ini dalam sebuah penerbangan. Karenanya, untuk mendukung kecepaun Pasukan Gerak Cepat, dia menyarankan, antara lain, agar Washington memproduksi lebih banyak tank-tank ringan dan pesawat transpor sedang. Di wilayah gurun pasir, justru tank ringanlah yang tangkas bergerak. Benarkah dengan semua kekuatan dan keunggulan teknologi itu AS akan tampil sebagai pemenang? Sulit dipastikan. Sebab selain mesin-mesin maut itu, tak kalah pentingnya adalah kawan-kawan yang setia dan kokoh. Dan di Timur Tengah, justru hal itu AS belum cukup mampu, selama dia belum mendapat jalan bagaimana makan buah simalakama Laut Merah ini: menjaga Israel dan menyenangkan negeri-negeri Arab. Dilihat dari situ bintang terang AS masih terlalu tinggi--di atas padang pasir yang sepi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus