PULUHAN pesawat transpor AS dengan suara gemuruh memasuki
wilayah udara Mesir. Dari perut burung-burung raksasa itu,
ratusan pasukan para pilihan, dan berbagai perlengkapan militer
berat--sesudah menempuh jarak ribuan km dari pangkalan mereka di
AS dan Eropa--diterjunkan dengan parasut. Operasi penerjunan
Sabtu lalu itu merupakan bagian dari rencana latihan perang
Bright Star (Binung Terang) 82.
Latihan yang akan berlangsung 10 hari itu, melibatkan 6.000
pasukan para dari kesatuan Pasukan Gerak Cepat (RDF) Sejak
dibentuk Presiden Jimmy Carter Maret tahun lalu, RDF yang
berkekuatan 110 ribu personil militer pilihan sudah dua kali
menyelenggarakan perang-perangan. Yang pertama, pertengahan
tahun lalu dipusatkan di Mesir. Tapi kali ini, dalam upaya
menunjukkan komitmen militer AS terhadap para sahabatnya di
Timur Tengah, latihan perang juga diselenggarakan di Somalia,
Sudan, dan Oman, dengan menyertakan pasukan negara setempat.
Sasaran Leonid
Libya yang bermusuhan dengan Mesir, tetangganya, sudah sejak
awal tidak menyukai perang-perangan tadi diselenggarakan di
depan hidungnya. Pemimpi Libya Kolonel Moammar Qadhafy
menganggap hal itu sebagai langkah provokasi Washington yang
bisa mengganggu subilitas keamanan di Timur Tengah. Sebagai
tindakan protes serikat buruh minyak Libya pekan ini
menganjurkan kepada seluruh negara Arab agar melancarkan embargo
minyak terhadap AS.
Ketimbang memperhatikan protes semacam itu, Washington, tentu,
lebih senang memikirkan kepentingan atas kawasan Teluk Persia.
Dari wilayah inilah, terutama dari ladang-ladang minyak di Arab
Saudi, sebagian kebutuhan minyak AS dipenuhi. Suatu ancaman
terhadap wilayah ini secara langsung bisa dianggap akan
membahayakan kelangsungan hidup negeri super power tersebut.
"Jika ada sebuah kekuatan asing mencoba menguasai kawasan Teluk
Persia, itu berarti menyerang secara langsung kepentingan AS,"
kata Presiden Carter ketika itu memperingatkan. "Dan AS akan
membalasnya dengan segala cara, termasuk menggunakan kekuatan
militer."
Washington memang merasa mulai was-was sejak Uni Soviet pada
Naul 1979 melancarkan invasi ke Afghanistan. Rezim Teheran yang
belum stabil dikhawatirkannya juga akan jatuh di bawah pengaruh
Moskow.
Sementara itu pula, diam-diam Soviet makin meluaskan pengaruhnya
di Afrika. Di Pelabuhan Massawa, Ethiopia, yang strategis,
negeri tersebut membangun pangkalan angkatan lautnya. Di Pulau
Socotra, di mulut Teluk Aden, Soviet juga punya pangkalan
angkaun laut sekaligus fasilitas militer yang lengkap. "Sasaran
kami adalah menguasai sumber minyak Barat di Teluk Persia dan
sumber mineral Barat di Afrika Tengah dan Selatan," konon kata
Presiden Leonid Brezhnev, sebagai diceritakan oleh Presiden
Somalia Siad Barre, bekas sekutunya.
Merasa perkembangan tersebut tak menguntungkan AS berusaha
meyakinkan sahabatnya di kawasan Teluk Persia bahwa "ancaman
Soviet itu benar-benar nyata." Tapi di luar dugaan, para
sahabatnya tidak mempercayai omongan tadi. Mereka lebih percaya
bahwa justru Israel--bukan Soviet--yang akan selalu mengancam
stabilitas kawasan tersebut. Pesawat tempur Israel, misalnya,
sudah beberapa kali melanggar wilayah udara Saudi. "Agresi yang
dilancarkan Israel tidak lebih baik dibanding agresi Soviet,"
ujar Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Saud al-Faisal.
Dalam upaya mempertahankan kawasan Teluk Persia, AS mengajak
negara-negara Arab di sekitarnya menggalang kerjasama militer.
Washington menginginkan agar para sahabatnya tadi mengizinkan AS
menggunakan pangkalan militer setempat. Sejauh ini hanya Mesir
mempersilakan AS memanfaatkan pang kalan militer atau
wilayahnya.
Saudi, Oman, maupun Kuwait menolak. Bahkan nada suara mereka
ccmberut. "Kehadiran pangkalan militer salah satu pihak hanya
akan merangsang aktivitas militer di pihak lain," kata Pangeran
Saud--meskipun Saudi baru dapat pesawat AWACS. "Saya paling
benci jika orangorang itu membicarakan bagaimana upaya mereka
mempertahankan diri dan menyelamatkan minyak kita," kata Menteri
Luar Negeri Kuwait Sheik Sabah al-Ahmad al-Sabah.
Sekalipun AS punya pangkalan militer di Pulau Diego Garcia,
sikap negara-negara Teluk Persia itu jelas tak menguntungkan.
Dibanding Pulau Socotra atau Pelabuhan Massawa, Diego Garcia,
yang terletak di Lautah Hindia, dianggap kurang strategis. Di
pulau ini, AS menempatkan 1.800 marinir dan puluhan pesawat C-5A
dan C-141, yang merupakan sebagian kekuatan Pasukan Gerak Cepat.
Sementara itu pula, dalam strategi global, AS dianggap masih
lemah dalam menyelenggarakan suplai dan pengangkutan pasukan.
Kecepatan dan daya angkut Komando Lintas Udara, yang memiliki 70
pesawat C-SA dan 234 C141, dianggap belum memadai. Untuk
memindahkan perlengkapan militer 270 ton, misalnya, komando ini
setidaknya membutuhkan waktu 26 hari. "Kekuatan lintas udara
gabungan NATO dan AS sangat tidak memadai untuk mendukung
kecepatan menggerakkan pasukan ke Asia Barat Daya (Teluk Persia)
auu Eropa Barat," kata Kepala Staf Gabungan AS Jenderal David
Jones.
Dalam sistem persenjauan, menurut Admiral Sunsfield Turner,
bekas Kepala CIA ,yang menulis di majalah The New York Times AS
juga memiliki kelemahan. Tank tempur utama M-1, yang berbobot
lebih dari 50 ton itu, dianggapnya terlalu berat. Pesawat
transpor yang paling besar sekalipun hanya akan mampu membawa
sebuah untuk ini dalam sebuah penerbangan. Karenanya, untuk
mendukung kecepaun Pasukan Gerak Cepat, dia menyarankan, antara
lain, agar Washington memproduksi lebih banyak tank-tank ringan
dan pesawat transpor sedang. Di wilayah gurun pasir, justru tank
ringanlah yang tangkas bergerak.
Benarkah dengan semua kekuatan dan keunggulan teknologi itu AS
akan tampil sebagai pemenang? Sulit dipastikan. Sebab selain
mesin-mesin maut itu, tak kalah pentingnya adalah kawan-kawan
yang setia dan kokoh.
Dan di Timur Tengah, justru hal itu AS belum cukup mampu, selama
dia belum mendapat jalan bagaimana makan buah simalakama Laut
Merah ini: menjaga Israel dan menyenangkan negeri-negeri Arab.
Dilihat dari situ bintang terang AS masih terlalu tinggi--di
atas padang pasir yang sepi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini