PERUNDINGAN Mesir-Israel mengenai otonomi Palestina mulai
dibayangi awan gelap. Bahkan seusainya perundingan tingkat
menteri yang berakhir Kamis pekan lalu, Israel mulai meragukan
sikap Mesir. Apalagi perundingan itu berakhir tanpa ada
keputusan. Sumber di Jerusalem mengemukakan bahwa Israel sampai
saat berakhirnya perundingan "tidak dapat menangkap" apa
sebenarnya yang menjadi keinginan Mesir dalam menyelesaikan
masalah otonomi Palestina.
Sejak terbunuhnya Presiden Anwar Sadat, para pemimpin Mesir
berulang kali memang mengatakan bahwa perdamaian Mesir-Israel
tak bisa digoyahkan dan perjanjian Camp David adalah jalan
satu-satunya. "Namun" kata pejabat Israel itu, "yang ingin kami
ketahui adalah bagaimana sikap Mesir menerjemahkannya dalam
praktek perundingan.
Memang, di saat mendekatnya batas waktu penyerahan wilayah Sinai
kepada Mesir--yang menurut rencana 25 April 1982 -- Israel
semakin cemas. Apalagi sikap Mesir sulit diperkirakan. Beberapa
pejabat Israel sudah mulai mengutarakan kekhawatirannya. Ada
yang menduga Mesir sengaja membiarkan pembicaraan masalah
otonomi itu terus berlangsung tanpa ada kesimpulan sampai 25
April mendatang. Tujuannya, agar ia tidak dituduh telah
mengadakan perdamaian secara terpisah dengan Israel hanya untuk
mengembalikan wilayah Sinai.
Mungkin cara ini digunakan Mesir untuk mengadakan pendekatan
kembali dengan negara Arab yang selama ini mengucilkannya. Bagi
Israel, ini akan merupakan pukulan berat. Apalagi belakangan Ini
usul perdamaian yang diajukan Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran
Fahd, semakin bergema.
Reagan
Usul Fahd yang dikumandangkannya Agustus lalu itu memang sempat
mengagetkan: di dalamnya terkesan pengakuan terhadap Israel.
Presiden Ronald Reagan pun memuji usul itu dan menyebutnya
sebagai 'pembuka jalan bagi perundingan'.
Tentu saja komentar Reagan ini menjengkelkan Israel . Berbagai
protes dilayangkan ke arah Washington. Perdana Menteri Israel
Menachem Bein sebelumnya sudah menyerang usul Fahd itu sebagai
rencana "perdamaian kuburan". Reagan nampaknya tak begitu peduli
apalagi dia harus meyakinkan orang Amerika bahwa Arab Saudi bisa
diajak berunding, setelah mendapat hak membeli pesawat AWACS.
Alasan Reagan untuk terus menunjukkan harapan bagi usul Fahd,
selama ini yang jadi 'penyumbat' bagi perdamaian ialah tak
adanya pengakuan negara Arab terhadap Israel. "Terlepas dari
anda setuju atau tidak, rencana itu suah menunjukkan suatu
keinginan untuk berunding," kata Reagan, dalam jumpa pers Selasa
pekan lalu.
Yang lebih antusias dari Reagan ialah Menlu Inggris, Lord
Carrington.Tokoh yang tak dianggap kawan oleh Israel ini
mengomentari usul itu sebagai sesuatu yang "positif" dan
merupakan dasar yang kuat bagi langkah selanjutnya.
Tak hanya sampai di situ, Carrington juga menyindir perjanjian
Camp David. Dalam pernyataannya sebelum meninggalkan London
menuju Arab Saudi, dua pekan lalu, Carrington mengatakan bahwa
perdamaian hanya mungkin tercapai bila ada keadilan bagi semua
pihak. "Termasuk keadilan bagi bangsa Palestina, yang tidak
hanya sekedar fisik dan kemanusiaan, tapi juga di bidang
politik," kata Lord Carrington.
Pernyataan Carrington ini tentu saja mengundang protes. Apalagi
ia, yang juga Ketua Dewan Menteri MEE, bisa dianggap menyuarakan
pendapat negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Protes keras
pertama tentu saja dari Israel. Begin memperingatkan bahwa
Israel mungkin tak akan mengizinkan Inggris, Prancis, Italia dan
Belanda ikut serta sebagai anggota pasukan perdamaian di Sinai
yang disponsori AS. Kalau mereka tak menunjukkan dukungan bagi
Camp David.
Sebelumnya keempat negara itu sudah menunjukkan kesediaannya
untuk mengirimkan pasukan ke Sinai untuk memonitor perdamaian
setelah Israel menarik mundur tntaranya dari wilayah itu.
Gema reaksi Israel seperti biasa timbul di AS. Duta Besar
Inggris di Washington Sir Nicholas Henderson, dipanggil Menlu
Alexander Haig. Haig meminta kepada Lord Carrington agar ikut
mendinginkan masalah ini. Artinya, kurang lebih, jangan terlalu
berapi-api membela usul Fahd.
Apa pun sikap Lord Carrington, yang pasti ia tak sejalan dengan
Libya. Libya akan berusaha merintangi usul Fahd bila dibicarakan
dalarn perternuan puncak negara Arab di Maroko, 25 November
mendatang. Mayor Abdel Salam Jalloud, penasihat utama Muammar
Qadhafi, dalam pernyataannya mengatakan, "Rencana yang diajukan
Arab Saudi itu pada pokoknya adalah bagian dari kerangka rencana
AS." Maka itu pula, ia meminta agar rencana ini jangan diajukan
dalam pertemuan puncak. Dikhawatirkan ia bisa menimbulkan
perpecahan di kalangan negara Arab.
Tapi tanpa dukungan negara Arab lain, usul Fahd bisa mengalami
nasib seperti Sadat: dikucilkan sendirian. Fahd agaknya tak
seberani, atau senekat Sadat. Karena itu ia melancarkan
pengaruhnya lebih dulu. Negara Arab yang tergabung dalam Dewan
Kerjasama Negara Teluk (GCC) telah digarap untuk sepakat membawa
usul Fahd ke pertemuan di Fez, Maroko. Persetujuan itu
terumuskan dalam pertemuan puncak GCC yang diadakan di Riyadh,
pekan lalu, di mana hadir kepala-kepala negara dari Bahrain,
Qatar, Oman dan Persatuan Emirat Arab. Langkah Saudi yang lain
ialah mengesankan, bahwa tuduhan Jalloud - tak benar. Mungkin
itulah sebabnya Saudi, yang baru dapat AWACS, tetap mengambil
jarak dari Washington.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini