Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
USAHA Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) membawa pulang warga Palestina yang diusir pasukan Israel sejak 1967, ke Haifa, ternyata tak mudah. Pengumpulan "orang-orang usiran" dengan tujuan untuk membangkitkan semangat rakyat Palestina, yang telah lebih dari dua bulan melakukan aksi melawan tentara pendudukan di Jalur Gaza dan Tepi Barat, tercium agen-agen Mossad, dinas rahasla ' Israel, dan mereka bertekad menggagalkannya. Aksi penggagalan dilakukan agen-agen Mossad, dengan jalan meledakkan bom di kapal yang dicarter PLO untuk membawa pulang 106 warga Palestina tersebut. Terpaksa keinginan "orang-orang usiran" itu untuk kembali menjejakkan kaki di tanah kelahirannya - menurut rencana akan diliput oleh ratusan wartawan dan puluhan jaringan televisi Barat - dimulai lagi dari awal. Mula pertama langkah yang ditempuh Israel untuk menggagalkan rencana PLO itu adalah meminta pemerintah Yunani - menurut jadwal, kapal carteran yang dijuluki Al-Awda (kapal untuk pulang) tersebut akan lepas sauh dari Athena - agar tak memberikan izin pelayaran. Tapi permintaan itu ditolak pemerintah Yunani. Gagal dengan usaha itu, agen-agen Mossad di Athena lalu mengancam para pemilik kapal di Yunani agar tidak menyewakan kapal mereka kepada PLO. Usaha orang-orang Israel ini ternyata cukup berhasil. Warga Palestina yang semula siap dipulangkan PLO, Selasa pertama februari, karena kesulitan memperoleh kapal sewaan terpaksa menangguhkan pelayaran mereka. Karena pengusaha-pengusaha kapal tak mampu melawan tekanan yang dilancarkan Mossad, PLO terpaksa melancarkan "operasi pemburuan kapal" secara rahasia. Usaha PLO ini berhasil, tapi pelabuhan pemberangkatan juga harus diubah. Pilihan orang-orang Palestina jatuh pada pelabuhan Limassol di Siprus. Tapi rencana rahasia PLO itu akhirnya tercium juga oleh agen-agen Mossad. Mereka lalu meledakkan kapal carteran PLO itu, Sol Phryne, dengan memasang bom di lambung kapal dari dalam air. Selasa pekan lalu, Ketua PLO Yasser Arafat secara resmi menuduh Israel bertanggung jawab terhadap peledakan kapal carteran itu. Di samping itu, Arafat juga menuding pemerintah Tel Aviv sebagai otak pembantaian tiga pejabat PLO - Kolonel Marwan Ibrahim, Letkol. Mohamad Basim Al Tamimi, dan Hassan Bulhais - dengan meledakkan mobil yang mereka kendarai. Peristiwa ini terjadi 24 jam sebelum peledakan kapal Sol Phryne, dan juga dilakukan di Limassol. Ibrahim, salah seorang pejabat teras komando militer Fatah di Libanon, dan kedua rekannya dibunuh, karena dianggap bertanggung jawab dalam mengurus penyewaan Sol Phryne. Sehari setelah peledakan kapal carteran yang dijuluki Al-Awda itu, Arafat mengatakan bahwa PLO akan membalas tindakan Israel tersebut. "Mossad berpikir, mereka dapat menghabisi nyawa siapa saja dan menggagalkan apa saja. Tangan kami pun panjang, dan kami pun dapat menjangkau kepentingan mereka di mana dan kapan saja," ujar Arafat. Tentang rencana pemulangan orang-orang Palestina ke Haifa, orang kuat PLO itu menambahkan bahwa usaha akan tetap dilaksanakan, "Tak peduli rencana pelayaran itu bakal memakan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun." Sementara itu, Perdana Menteri Israel Shamir, juga menyatakan tekad tak akan membiarkan "pelayaran pulang" itu berlangsung. "Kami tak akan memperbolehkan setiap kapal yang mengangkut orang-orang Palestina itu memasuki perairan Israel. Mereka yang mau mencoba-coba akan mendapat tindakan seperti Sol Phryne," kata Menteri Perhubungan Israel, Chaim Corfu. Para pengamat politik menilai, kegagalan "pelayaran simbolis" itu bisa berakibat buruk bagi PLO, dan berulangnya aksi kekerasan sebagai cara perjuangan untuk kembali ke Palestina. 'Kalau pelayaran pulang ini gagal, pamor Arafat akan jatuh di mata rakyat wilayah-wilayah pendudukan Israel," kata seorang anggota parlemen Eropa yang berniat ikut bergabung di kapal Sol Phtyne. Ia menambahkan, kini saat yang tepat bagi Arafat untuk menunjukkan kualitas kepemimpinannya pada generasi muda yang melancarkan huru-hara di Gaza dan Tepi Barat, yang telah minta korban 59 nyawa orang Palestina itu. Ketika Arafat menyinggung rencana aksi pembalasan PLO atas peristiwa Limassol sejumlah orang mengkhawatirkan hal itu akan menjadi bumerang bagi PLO. "Israel sesungguhnya menginginkan PLO melakukan aksi militer dan kekerasan, agar opini dunia yang kini memusuhi Israel berbalik menuding PLO sebagai organisasi teror semata," begitu komentar seorang analis politik Barat. Ia mungkin benar. Farida Sendjaja & kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo