Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hidup Dialu Nial berubah untuk selamanya ketika sekelompok penculik membawanya pergi ke sebuah hutan dan salah satu dari mereka mengacungkan kapak ke arah leher. "Dia bertanya apakah saya memilih kehilangan nyawa, kaki, atau tangan," kata Nial, mengenang peristiwa yang terjadi beberapa bulan lalu kepada BBC, awal Juli lalu.
Semua itu bermula pada awal Desember tahun lalu. Nial dan temannya, Nilamber, ditawari pekerjaan sebagai pembuat batu bata oleh seorang perantara bernama Bimal. Mereka dijanjikan mendapat upah 10 ribu rupee (sekitar Rp 1,9 juta) dari pekerjaan itu dan akan dibayar di muka. Tanpa pikir panjang, mereka menerimanya.
Tak lama kemudian, Nial, Nilamber, Bimal, dan sepuluh orang lain berkumpul untuk dibawa ke seorang kontraktor, pemilik pabrik batu bata. Begitu mereka tiba, sang kontraktor memperlihatkan sejumlah uang, tapi memasukkannya kembali. Janji untuk membayar upah di muka tak ditepati. Perantara dan kontraktor mengaku akan membayar beberapa hari ke depan.
Hari berikutnya mereka dibawa ke stasiun kereta api di Raipur, ibu kota Negara Bagian Chhattisgargh. Bukannya dikirim ke tempat pembuatan batu bata seperti yang dijanjikan, tujuan mereka justru melenceng 800 kilometer, menuju Hyderabad, kota yang menjadi pilar keberhasilan ekonomi India. Beberapa pemuda dalam rombongan itu menyadari pernah mendengar cerita tentang adanya kerja paksa di kota itu. Tak mau jadi korban kerja paksa, mereka berencana kabur.
Ketika kereta berhenti di stasiun, semua berhasil melarikan diri. Nial dan Nilamber apes. Mereka tertangkap saat berusaha mencoba kabur dan dibawa kembali ke Raipur. "Orang kepercayaan mereka sudah menunggu kami di sana. Mereka lalu menahan kami dan membekap mulut kami agar tidak berteriak," kata Nial.
Sampai di sini, Bimal—sang perantara— pergi. Nial dan Nilamber dibawa kembali ke rumah kontraktor dan disekap. Rupanya, kontraktor itu menghubungi keluarga Nial dan Nilamber untuk meminta uang tebusan 20 ribu rupee bagi pembebasan keduanya. Keluarga Nial dan Nilamber tak sanggup memenuhinya, hingga keduanya kembali disekap selama lima hari penuh penyiksaan. Siang hari mereka dipaksa bekerja di pertanian milik kontraktor dan malam harinya mereka dipukuli.
Siksaan terberat yang mengubah masa depan Nial dan Nilamber terjadi pada hari keenam. Saat itu para penculik sedang mabuk berat. Kontraktor dan lima anak buahnya membawa mereka ke hutan terpencil. Pertama-tama mereka dipukuli, lalu dipaksa berlutut. Di bawah ancaman kapak, mereka hanya diberi pertanyaan memilih kehilangan nyawa, kaki, atau tangan.
Nial dan Nilamber memilih kehilangan tangan. "Mereka meletakkan tangan dia di atas batu. Satu orang memegang lehernya dan dua lainnya menahan tangan Nilamber. Lalu ada yang membawa kapak dan memotong tangannya seperti memotong leher ayam. Setelah itu, mereka juga memotong tangan kanan saya," kata Nial. "Rasa sakitnya mengerikan. Saya mengira akan mati saat itu," ujarnya.
Setelah itu, mereka dibebaskan begitu saja. Naluri untuk bertahan hidup membuat mereka bersusah payah menahan sakit sambil mengikuti aliran sungai menuju sebuah desa. Akhirnya mereka tiba di desa dan menumpang bus ke kota terdekat untuk mencari pertolongan di rumah sakit.
Kini Nial sudah bebas dan pulih dari rasa sakit, kembali ke rumahnya di kawasan pedesaan Orissa. Di daerah tanpa aliran listrik dan sanitasi itu, mayoritas penduduknya buta huruf. "Saya tak bersekolah. Saat masih kecil, saya beternak dan memanen padi," kata Nial sambil duduk santai di halaman rumahnya yang sederhana.
Cerita Nial adalah salah satu dari masalah yang menimpa warga India di daerah pinggiran kota. Mereka terpaksa masuk lingkaran perbudakan di era modern. Para perantara sengaja mencari orang seperti Nial. Kepada mereka dijanjikan pekerjaan dan gaji yang cukup, tapi kenyataannya mereka hanya diberi upah rendah selama bertahun-tahun, bahkan seumur hidup. Pekerja juga kerap mengalami kekerasan.
Para aktivis dan akademikus memperkirakan ada 10 juta buruh yang bekerja di industri utama India, yang secara tak langsung berkontribusi terhadap pendapatan negara dan keuntungan perusahaan multinasional yang beroperasi di negara itu. Para buruh itu pun turut menjadikan India sebagai salah satu kekuatan utama ekonomi dunia.
Dalam rilis terakhirnya, Bank Dunia menempatkan India pada peringkat ke-10 perekonomian terbesar di dunia berdasarkan nilai produk domestik brutonya dan peringkat ketiga terbesar dunia berdasarkan paritas daya beli. Atas pencapaian ini, India tergabung dalam kelompok G-20, yang merupakan negara-negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia. India juga anggota dari negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Korea Selatan).
Industri utama andalan India adalah tekstil, kimia, pengolahan makanan, baja, peralatan transportasi, semen, pertambangan, minyak, mesin, perangkat lunak, dan farmasi.
Inilah yang menjadikan India negara eksportir terbesar ke-19 dan importir terbesar ke-10 untuk berbagai jenis barang perdagangan.
Dengan semua keberhasilan itu, tantangan yang dihadapi pemerintah India juga tergolong sangat besar. Negara dengan populasi lebih dari 1,2 miliar ini menunjukkan secara kasatmata berlakunya aneka bentuk perbudakan modern, dari eksploitasi pekerja, rekrutmen pekerja anak, eksploitasi seksual komersial, hingga kawin paksa.
Laporan globalslaveryindex.org secara konsisten mencatat tantangan paling signifikan India adalah tingginya jumlah warga India yang menjadi korban perbudakan modern di daerah-daerah perbatasan. Warga yang bermigrasi untuk bekerja justru terperosok ke dalam perbudakan modern. Kegiatan ini kerap melibatkan perantara perekrutan dan jeratan utang.
Kalangan aktivis berpendapat pemerintah India telah gagal melindungi warganya dari perbudakan, penculikan, dan kejahatan lain akibat penyalahgunaan hak warga negara. "Ada permasalahan besar yang mengakar dalam pelanggaran hak asasi manusia terkait bisnis di India," kata Peter Frankental, Direktur Program Bidang Hubungan Ekonomi di Amnesty International Inggris.
Hyderabad adalah sebuah kota di pinggiran India selatan yang terkenal sebagai pusat industri batu bata. India adalah negara penghasil batu bata terbanyak di dunia setelah Cina. Di sana ada lebih dari 150 ribu unit produksi batu bata. Tapi buruh batu bata di India masih mengalami sistem perbudakan.
Andrew Brady, aktivis dari Union Solidarity International, lembaga swadaya masyarakat di Inggris, memandang ada penyimpangan yang dilakukan pihak industri dan perusahaan terhadap buruh batu bata di negara itu. "Semua buruh, yang terdiri atas pria, wanita, dan anak-anak, dibayar murah. Padahal mereka bekerja 16 jam sehari dalam kondisi yang menyedihkan," ujar Brady, seperti dilansir dari The Guardian.
Banyak juga kejadian menyedihkan yang dialami buruh batu bata di Negara Bagian Andhra Pradesh, yang mempekerjakan anak-anak berusia empat tahun. Banyak buruh anak-anak mengalami masalah pernapasan akut karena dipaksa menghasilkan 1.500 keping batu bata setiap hari. "Kondisi ini seharusnya dikutuk oleh semua negara di dunia. Namun yang melakukannya justru sebagian besar perusahaan multinasional," kata Vamsi Vakulabharanam, pengamat dari Universitas Hyderabad.
Kuota produksi batu bata yang ditetapkan perusahaan dinilai terlalu tinggi, sehingga seorang pekerja sampai harus melibatkan anggota keluarganya untuk membantu memenuhi target. Sistem seperti ini dikenal di India dengan istilah bonded labour. Padahal Konfederasi Industri India (CII) memerintahkan perusahaan mengikuti hukum India dan melarang sistem bonded labour sejak 1976.
Pengalaman Nial menunjukkan sistem itu masih dipraktekkan. Dia beruntung bisa lepas dari jeratan. Kini dia sedang menjalani program rehabilitasi yang dikelola sebuah badan amal International Justice Mission (IJM), yang membantu memulihkan penderitaan korban perbudakan. Ia bergabung dalam kelompok yang berisi lebih dari 150 orang di sebuah sesi konseling di Desa Orissa. Dalam program itu, satu tahun pertama diisi dengan pembimbingan belajar mengekspresikan kembali emosi dasar manusia.
"Mereka memiliki pengalaman diperdagangkan sebagai properti. Mereka tidak bisa mengekspresikan emosi, bahkan mereka tidak bisa tersenyum atau cemberut untuk mengungkapkan kesedihan," kata Rosean Rajan, konselor IJM.
Nial hanya ingin menata masa depan. Keinginan terpendamnya adalah menikah dan memiliki keluarga sendiri. Namun tiba-tiba wajahnya berubah jadi suram. Dia melirik ke bawah dan memandang tangannya yang buntung. Dia menggeleng sedih. "Tentu saja saya tidak akan pernah bisa memaafkan mereka."
Rosalina (BBC, The Guardian, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo