KEMERDEKAAN mungkin bagaikan kanker: lebih mudah menjalar daripada menyerah dibasmi. Maka, tak peduli sanksi Moskow terhadap Lithuania, sebuah lagi republik Baltik mengumumkan kemerdekaannya, Jumat 4 Mei pekan lalu. Janis Kinna, Ketua Front Populer -- organisasi yang menjadi motor gerakan kemerdekaan -- mengatakan, "Kita telah menunggu-nunggu saat yang penting ini sampai 50 tahun lamanya. Dan reaksi Moskow sungguh cepat. Senin awal pekan ini, sebelum parlemen Republik Latvia membuka sidang guna membentuk pemerintahan baru, di jam-jam sibuk ketika orang berangkat kerja, tank-tank dan kendaraan lapis baja menderu di jalan-jalan di Riga, ibu kota Latvia. Kata Moskow, itu persiapan buat perayaan ke-45 jatuhnya Nazi Jerman. Tapi kata orang Latvia, itulah cara Mikhail Gorbachev menggertak republik yang memisahkan diri dari Uni Soviet. Sebenarnya Latvia, yang berkaca pada krisis yang sedang dihadapi Lithuania, cukup hati-hati. Parlemen menyatakan, pengumuman 4 Mei bukan suatu proklamasi kemerdekaan, melainkan mengaktifkan kembali kedaulatan Republik Latvia yang sebenarnya, tak pernah berhenti secara de jure". Latvia pernah menjadi suatu republik berdaulat pada 1920 sampai 1940. Mungkin juga untuk menetralisasi kemungkinan timbulnya kemarahan tuan-tuan di Moskow, parlemen juga mencanangkan adanya "masa transisi" yang akan berlangsung sampai tiga tahun lamanya sebelum Latvia mengumumkan kemerdekaan sesungguhnya dan menyatakan dirinya keluar dari lingkungan Uni Soviet. Dikatakan, selama masa transisi tersebut, konstitusi (Uni Soviet) yang sekarang berlaku akan tetap menjadi rujukan. Akan tetapi, ada tiga pasal dari konstitusi lama yang berlaku ketika Latvia masih bebas, menurut istilah mereka "diaktifkan kembali". Ketiga pasal itu, pertama, Latvia adalah republik yang demokratis dan independen, terdiri dari empat provinsi, yakni Vidzeme, Zemgale, Latgale, dan Kurzeme. Kedua, keanggotaan parlemen dipilih atas dasar sistem perwakilan yang proporsional. Dan ketiga, negara adalah milik rakyat. Pasal terakhir yang dihidupkan kembali itu memberikan indikasi bahwa seorang presiden dipilih langsung oleh rakyat. Juga dikatakan, sebutan Republik Sosialis Latvia akan diganti dengan nama Republik Latvia saja. Mungkin juga demi menjaga terjadinya hubungan buruk dengan Moskow, Latvia segera saja menyatakan kesediaannya untuk berunding dengan Gorbachev. Kantor berita resmi Uni Soviet Tass mengatakan, pemimpin Soviet itu telah menerima pesan dari parlemen Republik yang berpenduduk 2,7 juta itu untuk mendiskusikan proses pemisahan. "Manifesto kemerdekaan 4 Mei hanyalah suatu pernyataan dimulainya periode transisi," kata presiden terpilih sementara Latvia, Anatolys Gorbunovs. Gorbunovs, yang dulu fungsionaris partai komunis yang mengutuk golongan separatis sebagai "para pengkhianat", cukup taktis dengan mengatakan, "Di hadapan kita masih terbentang suatu masa kerja sama erat dan kontak-kontak luas di bidang ekonomi, politik, kebudayaan, dan kemanusiaan. Adalah suatu tindakan yang gegabah kalau kita memutuskan hubungan-hubungan yang begitu bersejarah itu." Sebenarnya reaksi resmi dari Kremlin belum ada sampai awal pekan ini. Tapi Tass mengabarkan, Gorbachev menuduh tindakan Latvia sebagai "penyelewengan dari konstitusi Uni Soviet". Ia menolak ajakan diskusi dari Riga tanpa Latvia menerima kedaulatan negara Soviet dan berlakunya konstitusi Uni Soviet sepenuhnya di republik Baltik itu. Surat kabar resmi partai itu juga memberitakan pernyataan Alfreds Rubiks di layar televisi Riga pada Sabtu malam. Pemuka komunis Latvia pro-Moskow itu mengulangi tuduhan Gorbachev bahwa Latvia melanggar konstitusi. Bahkan Rubiks lebih bersuara galak daripada bosnya. Kata dia, "Apabila republik ini sama sekali mengabaikan konstitusi Soviet, maka presiden memiliki kekuasaan untuk mengambil langkah-langkah balasan ekonomi, politik, dan administratif." Perkembangan terakhir di ketiga negara Baltik itu (Latvia, Estonia, Lithuania) menunjukkan bahwa Gorbachev makin kehilangan kendali atas keutuhan Uni Soviet sebagai sebuah negara yang terdiri dari 15 republik. Dorongan dari dalam untuk memisahkan diri makin meluas saja di republik-republik non-Rusia. Yang sekarang terjadi adalah devolusi (pemindahan kekuasaan) yang mengarah ke disintegrasi. Gorbachev, misalnya, ternyata tak bisa berbuat banyak terhadap Lithuania. Padahal, dengan mengenakan sanksi ekonomi, administratif, dan sedikit tekanan militer, ia berharap agar republik itu mau mempertimbangkan kembali keputusannya. Ternyata tekanan itu malah memperbulat tekad Lithuania yang menyatakan dirinya merdeka di bulan Maret lalu. Sekarang cita-cita untuk merdeka itu malah menular ke dua negara Baltik lainnya. Sekarang, tampaknya satu-satunya alternatif yang tersedia bagi Gorbachev -- untuk menekan republiknya yang melepaskan diri -- tak lain dari tindakan militer. Apakah ia siap untuk menempuh risiko itu? Kalau itu dilakukannya, berarti ia melanggar janjinya sendiri untuk menjauhkan diri dari langkah-langkah militer. Namun, andai kata Gorbachev ragu, ia sekali lagi akan menjadi bulan-bulanan golongan konservatif di dalam Partai Komunis Uni Soviet. Kaum kolot yang cenderung Stalinis ini sudah lama kesal dengan sikap Gorbachev yang dianggapnya kompromistis terhadap oposisi. Presiden Bush dan para pemimpin Eropa Barat lainnya takut, apabila Gorby tersingkir dan seorang konservatif naik, dunia akan berputar kembali ke situasi pra-Gorbachev. Kalau itu terjadi, Eropa mungkin kembali ke suasana konfrontasi, peredaan ketegangan Timur-Barat akan mentah lagi, dan suasana perang dingin mungkin berulang. Walaupun intensitasnya mungkin tak akan setinggi masa praperestroika dan pra-glastnost. Pokoknya, Gorbachev sedang berada di ujung tanduk, sedangkan perdana menteri Latvia yang baru, Ivar Godmanis, seorang ekonom, bertekad membentuk pemerintahan Latvia merdeka Selasa pekan ini. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini