DAERAH"segitiga emas" selain identik dengan lahan duit, tapi juga sering rawan hukum. Di Jakarta, daerah segitiga emas yang ramai digunjingkan adalah kawasan yang diapit Jalan Rasuna Said-Gatot Subroto-Thamrin-Sudirman. Di kawasan itu yang rawan adalah soal pemilikan tanah. Keruwetan di daerah segitiga emas di jantung Ibu Kota ini merupakan bagian penting laporan Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional), Soni Harsono, kepada Presiden Soeharto. Pekan lalu. Usai menyimak laporan, Presiden mengimbau agar masyarakat berhati-hati manakala hendak membeli tanah di kawasan itu. Daerah yang ruwet kepemilikan tanahnya itu kini merupakan kawasan paling bergengsi di Jakarta. Karena gedung-gedung perkantoran yang megah banyak mangkal di situ. Namun, kawasan itu sekaligus juga merupakan belantara hukum dalam praktek jual beli tanah. "Di situ banyak calo atau spekulan yang membentuk sindikat seperti mafia," ujar Soni Harsono. Kepala BPN itu enggan menyebut siapa-siapa yang menjadi "godfather" di kawasan segitiga emas tersebut. Kabarnya, para calo dan spekulan itu berlindung di balik nama-nama tokoh terkenal yang punya status tinggi. Tapi yang menarik untuk diamati, menurut Soni, adalah pola permainan yang dikembangkan. Ada yang bermain dengan dokumen kedaluwarsa, menawarkan tanah tanpa setahu pemiliknya yang sah, ada pula yang memainkan Surat Izin Peruntukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT). "Ruwet sekali daerah itu," keluh Soni. Keruwetan di kawasan segitiga emas itu makin bertambah seiring dengan meroketnya harga tanah di situ. Keadaan ini, diakui Soni, diperburuk oleh administrasi pertanahan yang kurang tertib di masa lalu. Menurut Soni, ada 10 kasus di daerah segitiga emas yang diadukan masyarakat langsung ke Presiden. Sementara itu, permainan kepemilikan sampai jual beli di daerah itu cenderung pula kian nekat. Bayangkan, ada pihak yang mengklaim pemilikan tanah berdasarkan dokumen uzur -- berupa hak eigendom terbitan 1827. Tentu saja klaim itu ditolak. "Kami katakan nggak bisa," cerita Soni. Mengapa dokumen tua itu tak bisa dipercaya untuk bukti pemilikan? Peta situasinya sudah berubah sehingga sulit digambarkan batas-batasnya. "Lagi pula, patoknya pun tak bisa lagi ditemukan," kata Soni. Lebih jauh lagi, selama hampir dua abad ini, sudah berkali-kali terjadi proses pindah pemilikan dan pergantian peraturan. Ada pula spekulan yang mencoba bermain dengan dokumen lebih baru, katakan terbitan tahun 1930 atau 1940-an. Hak eigendom keluaran zaman itu memang memungkinkan seseorang menguasai tanah partikelir dalam skala yang luas. Tapi setelah muncul UU No. 1 tahun 1958, pemilikannya pun dipangkas hingga paling banyak 3 hektare. Toh spekulan tanah tanpa ragu-ragu membeli tanah berdasarkan kepemilikan dokumen tua itu meski mereka tahu ada pemilik lain (dengan dokumen yang lebih sahih) menguasai tanah tersebut. Ternyata, risiko berbenturan pemilikan orang lain sudah mereka perhitungkan. Toh mereka masih punya peluang dapat untung. Kiatnya? "Dengan cara menjualnya lagi ke spekulan lain," ujar Soni. Anehnya, ada saja spekulan lain yang mau membeli. "Mereka terbujuk oleh penjual, dan dijanjikan soal itu bisa diurus di BPN. Nah, kami yang jadi kelabakan," kata Soni. Kalau ternyata mentok, tanah tak bisa disertifikatkan barulah mereka ribut. "Kalau kasus ini menyangkut orang penting, segala cara pun ditempuh," tambahnya. Kepala BPN itu enggan menyebut persis tentang tindakan yang "segala cara" tersebut. Tapi biasanya, orang penting yang terkecoh dengan harga murah itu kemudian menuntut bagian tanah sesuai uang yang dibayarkan -- kendati tak seluas yang diklaim semula. "Ini yang merepotkan saya," tutur Soni. Kalau sudah begitu, Soni meminta agar kasus itu digelar di pengadilan. "Ini kan penipuan," ujarnya. Tapi mereka tak puas. Lantas mereka menuding: "Jadi, apa fungsi BPN." Soni mengaku bisa cuek dalam kasus semacam itu. "Bukan urusan saya untuk menangani kasus pidana," ujarnya kalem. Permainan spekulan ternyata tak sekadar itu. Ada yang memainkan Surat Izin Peruntukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT). Katakanlah SIPPT itu menyangkut tanah satu hektare dan hendak dipakai untuk membangun perkantoran. Mestinya, SIPPT itu keluar setelah calon investor membebaskan 75% tanah yang ada, dan mengantungi izin prinsip. Tapi prosedur itu, menurut Soni, sering tak jalan. "Ada yang hanya modal surat izin prinsip, lalu pinjam uang di bank untuk pembebasan tanah," tuturnya. Jaminannya? "Tanah itu sendiri. Yang memberikan kredit bank pemerintah lagi," ujarnya. Kenekatan aksi spekulan di kawasan segitiga emas itu agaknya banyak dirangsang oleh harga tanah yang meroket. Enggartiasto Lukita, Ketua Organisasi Pembangunan Daerah Real Estate Indonesia, menaksir harga tanah di situ antara US$ 2.500-3.5000/m2. "Permintaan membubung sementara penawaran menciut," ujar Lukita. Tapi harga pasti sulit ditetapkan, lantaran jual beli secara terbuka tidak terjadi. "Itu harga tanpa transaksi, lantaran barangnya sendiri tidak ada," ujarnya. Bagaimana memerangi para spekulan tanah itu? Ada yang menyebutkan agar harga tanah dipatok sampai tingkat tertentu. Tapi Gubernur DKI Wijogo Atmodarminto tidak sependapat. Wijogo setuju saja orang menjual tanahnya dengan mendapat laba. "Apa kita punya hak untuk melarang?" ujarnya kepada Linda Djalil dari TEMPO. Namun, Soni melihat bahwa tanah bukan komiditi yang pantas dijualbelikan secara bebas. Membeli tanah, menelantarkan, dan kemudian menjual setelah harga tinggi, menurut Soni, adalah tindakan tidak terpuji. "Kalau rakyat yang menikmati keuntungan, itu bagus," ujarnya. Sri Pudyastuti R dan Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini