DAFTAR mereka yang menikmati bebas exit permit (izin berangkat ke luar negeri) bertambah lagi. Ketentuan yang berlaku mulai 1 Mei lalu meliputi pegawai bank pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), Bulog, pimpinan dan anggota DPRD, serta mereka yang mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah. Keputusan bebas exit permit yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Imigrasi itu bertolak dari Surat Keputusan Menteri Kehakiman tertanggal 10 April tentang penyempurnaan peningkatan pelayanan keimigrasian bagi warga negara Indonesia (WNI) yang akan bepergian ke luar negeri. Menteri Kehakiman Ismail Saleh, yang menyangsikan dasar hukum exit permit itu, sejak empat tahun lalu memang berusaha melakukan deregulasi di bidang imigrasi. Tapi upaya itu baru terlaksana pada 1989 dengan pembebasan exit permit bagi pejabat negara, pimpinan dan anggota DPR, MPR, DPA, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, pegawai negeri, dan anggota ABRI. Ketentuan tersebut juga berlaku untuk pensiunan instansi bersangkutan sampai pun para istri maupun suami dan anak-anak mereka yang belum dewasa. Dari pemantauan Pemerintah -- yang dilakukan oleh Bais, Bakin, Deplu, dan Depdagri -- ternyata penghapusan exit permit tersebut tidak menimbulkan ekses negatif. "Semua beres. Bahkan bebas exit permit bisa diperluas lagi," kata Direktur Jenderal Imigrasi, Roni Sikap Sinuraya. Mengapa dulu dibutuhkan exit permit? Ketentuan minta izin berangkat ke luar negeri itu semula dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk mencegah para pejuang kemerdekaan RI lari ke luar negeri guna menghindari penangkapan. Peraturan tersebut kemudian diteruskan oleh Pemerintah RI, dengan alasan masih ada pergolakan dalam negeri, seperti RMS, DI, PRRI, G30S-PKI, dan upaya subversi lainnya. Kini Pemerintah, setelah melihat situasi keamanan memungkinkan, menganggap pemberian exit permit tak perlu diberlakukan lagi seketat dulu. Sementara itu, dari segi ekonomi, kemampuan orang Indonesia untuk pergi ke luar negeri juga kian meningkat. Tahun 1987, menurut catatan petugas Imigrasi Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta, tercatat 315.404 orang pemegang paspor RI berangkat ke luar negeri untuk berbagai kepentingan. Tahun berikutnya angka itu naik 6,79%. Menurut Roni, pembebasan exit permit ini nantinya akan meliputi masyarakat umum -- kecuali mereka yang masuk daftar hitam Pemerintah -- asalkan proses bebas exit permit tahap kedua ini berlangsung aman seperti tahap pertama. Deregulasi di bidang keimigrasian yang dilakukan Pemerintah ini ternyata dipertanyakan oleh Ketua Komisi III DPR, Soesanto Bangoen Nagoro, karena pejabat negara, pegawai negeri, ABRI, yang akan ke luar negeri, seperti peraturan sebelumnya, tetap harus mendapatkan izin berangkat dari atasan masing-masing. Bagi pensiunan, persetujuan itu diminta dari kepala desa atau camat. "Kemudahan itu jadi tidak realistis jika seorang harus memperoleh izin dari atasannya," kata anggota FKP itu. Bagi masyarakat umum, kata Soesanto lebih lanjut, ada atau tidak ketentuan bebas exit permit itu tak berarti banyak. Terbukti, hingga kini belum terdengar keluhan orang mengurus exit permit. Yang dirasa berat oleh masyarakat justru biaya fiskal sebanyak Rp 250.000 per orang untuk sekali ke luar negeri. Soesanto berharap Pemerintah memberikan keringanan biaya fiskal itu, misalnya 5%. "Ini baru bisa disebut kejutan," ujarnya. Kalau cuma keringanan 5% mungkin juga bukan kejutan -- kecuali biaya fiskal dikembalikan semurah dulu yang sekitar Rp 25.000 seorang. Bagaimanapun biaya fiskal yang sekarang toh bisa diperhitungkan sebagai pemotongan pajak penghasilan setiap tahun, bukan? Ahmadie Thaha dan Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini