Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bukan Sekadar Kudeta Gagal

Saling tuding pemerintah dan oposisi kian runcing setelah aksi penembakan Presiden Ramos Horta. Fretilin dituduh mengail keuntungan politik.

18 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemakaman itu berjalan gundah. Sejumlah pemuda mengarak peti mati sang pemberontak, Mayor Alfreido Reinado Alves, ke liang lahat pada Kamis pekan lalu di Dili. Arak-arakan bergerak pelan. Peti mati diselubungi bendera Timor Leste: merah, hitam, dan kuning. Pada satu spanduk, ada wajah garang sang Mayor: memakai baret, garis mukanya tegas. Dia dielu-elukan bak seorang revolusioner, atau seorang pahlawan seperti halnya Xanana Gusmao pernah dirayakan dulu.

Di Timor Leste, pahlawan rupanya cepat berganti. Di depan rumah bapak angkat Reinado, Victor Alves, ada spanduk terbentang dalam bahasa Tetum: ”Adeuis heroi, O nia isin bele lakon, O nia espiritu moris para sempre!” (Selamat jalan pahlawan, tubuhmu terkubur, tetapi jiwamu akan terus hidup). Para pelayat berteriak dan meratap. Ada nada geram, atau mungkin juga putus asa. Nyaris sembilan tahun lepas dari Indonesia, Timor Leste masih melingkar dalam krisis.

Insiden penembakan Presiden Ramos Horta tampaknya merupakan pucuk krisis politik di bumi Lorosae. Awalnya adalah serangan pagi buta. Dua mobil sarat pasukan bersenjata masuk menerobos rumah Horta, Senin pekan lalu. Lalu rentetan tembakan, baik dari mereka yang menyerbu maupun yang bertahan. Horta tersungkur dengan luka di dada dan perut. Dia segera diangkut ke Australia dan dirawat di Royal Darwin Hospital. Dari kubu penyerbu, dua tewas, yakni Alfreido Reinado dan rekannya, Leopoldino da Costa (lihat ”Ketika Presiden Lari Pagi”).

Kontroversi tentang aksi penyerangan pun muncul. Xanana menyebutnya kudeta gagal. Dia memutuskan negara dalam keadaan darurat, setidaknya sampai pekan depan. Dia meminta penambahan 800 personel lagi pada pasukan keamanan internasional yang dipimpin Australia dan 1.600 polisi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Xanana menunjuk Vicente Guterres sebagai pejabat presiden. Sisa para pemberontak yang melarikan diri diburu dengan bantuan pasukan internasional.

Akar krisis ini mulai merambat setahun lalu. Awal 2006, sekitar 404 prajurit Timor Leste menentang kebijakan tak adil pemerintah, yang mereka pandang terlalu menganakemaskan tentara asal daerah timur. Tuntutan itu tak digubris pemerintah Mari Alkatiri. Yang mogok pun bertambah 177 lagi. Akhirnya, Forcas Defensa Timor Lorosae (FDTL), badan militer negara itu, yang total berkekuatan 1.500 orang, jadi kurang darah.

Pemerintah sempat mengimbau agar para desertir kembali berdinas. Mereka menolak. Akhirnya, Alkatiri memecat 600 orang itu. Langkah ini melahirkan persoalan lain, yaitu munculnya sekelompok penganggur yang cakap secara militer di tengah kaum sipil. Padahal, Timor Leste belum lagi pulih ekonominya. Harga-harga kebutuhan hidup tak terkendali. Dari sinilah, apa yang dicemaskan meledak. Sebagian kaum desertir lalu ikut unjuk rasa menuntut perbaikan ekonomi. Ujungnya, mereka bentrok dengan FDTL. Lima tewas, puluhan luka-luka. Ratusan bangunan hancur dan 20 ribu warga Dili terpaksa mengungsi.

Baru sekitar Mei, Reinado bergabung dengan kelompok pembangkang. Pangkatnya waktu itu mayor. Bersama pemimpin pemberontak Gastao Salsinha, mereka menuntut Presiden Xanana Gusmao memecat Mari Alkatiri serta membubarkan FDTL. Reinado akhirnya menjadi pentolan, lalu memimpin kelompok ini membangun markas mereka di Alieu, di bukit sebelah barat daya Dili. Bentrokan militer pun tak terelakkan. Alkatiri menuding kelompok itu mau melakukan kudeta terhadap demokrasi.

Dalam situasi buruk itulah pemilu berlangsung tahun lalu. Horta memenangkan 70 persen suara mengalahkan calon Fretilin. Koalisi bentukan Xanana menyabet 51 persen. Hasil pemilu mendaulat Horta menjadi presiden dan Xanana sebagai perdana menteri. Alkatiri menuduh pemilu tidak sah dan tak sudi menerima kekalahan. Jalan keluar dengan kelompok Reinado pun masih buntu.

Rumor beredar bahwa saat itu kelompok Reinado mulai pecah. Kelompoknya kian kecil dan tampaknya gelisah mencari jalan keluar. Dalam wawancaranya yang direkam di kepingan CD dan dijual bebas di pasar, Reinado malah balik gagang. Dia menyerang Xanana dan menuduh bekas presiden itu sebagai biang kerok rekayasa kudeta. Jualan itu rupanya tak begitu laku. Mungkin pamor Reinado tak lagi kuat setelah pemilu. Untuk menghindari kekerasan berlanjut, Xanana dan Horta tetap mau bernegosiasi dengan dia.

Ihwal keping cakram itu sempat memicu ketegangan di sidang Parlemen Nasional Timor Leste sebulan lalu. Fretilin dituduh memetik manfaat dari peredaran keping CD itu. Tujuannya untuk menggulingkan pemerintahan Aliansi Mayoritas Parlemen (AMP) pimpinan Xanana Gusmao. Horta juga sempat mengarahkan telunjuknya kepada barisan sakit hati. ”Mereka memanfaatkan Reinado sebagai senjata menyebarkan rasa iri atas kepemimpinan Xanana,” kata Presiden Horta ketika berkunjung ke Distrik Maliana dua hari sebelum dia ditembak.

Lalu, mengapa pula Reinado ingin membunuh Horta dan Xanana? Isu itu lalu menjadi rumit karena Reinado pernah mendesak Horta memulangkan pasukan PBB. Usul itu memang ditolak. Sebagian pendukung Reinado percaya, dengan latar ini sebetulnya Reinado bukan mau melakukan kudeta, tapi justru menculik Horta dan menyanderanya untuk mendesak pasukan PBB pulang.

Rupanya Horta diam-diam juga kerap bertemu Reinado di pegunungan Distrik Ermera. ”Kami sering bertemu Reinado di hutan,” ujar seorang pengawal Horta. Menurut sang pengawal, tak ada niat saling membunuh antara kedua pihak. Bahkan, kata dia, pemimpin pemberontak ini mendukung Horta menyelesaikan masalah.

Kartu Reinado juga sempat hidup lagi. Misalnya, sebagian anggota parlemen non-Fretilin pernah bertemu dia di sarang persembunyian pada Sabtu dua pekan lalu. Itu persis tiga hari sebelum aksi penembakan. Mereka adalah Adriano Nacimento (Partai Demokrat), Fernando Gusmao (PSD), dan Fransico de Araujo (ASDT). Pertemuan itu jelas tak diketahui Fretilin, yang lalu menggugat agar ada pengusutan terhadap anggota parlemen yang bertemu Reinado. ”Kami mencari solusi, bukan merencanakan penyerangan,” ujar Nacimento. Menurut dia, Reinado mengatakan ingin berdialog dengan pemerintah AMP, tetapi juga meminta pasukan internasional pulang dan misi PBB diakhiri.

Tudingan ke arah Fretilin juga kian kencang pekan lalu. Dari pantauan Tempo, di tengah warga Dili beredar selebaran gelap, yang makin hari penyebarannya makin luas. Isinya menuding Alkatiri menyuap Reinado sebesar US$ 10 ribu (setara hampir Rp 100 juta) untuk membunuh Horta dan Xanana. Targetnya, kata selebaran itu, apalagi kalau bukan memuluskan pemilu tahun depan. Alkatiri tentu saja menangkis. ”Itu isu murahan,” ujarnya (lihat wawancara dengan Mari Alkatiri).

Belakangan, aksi saling tuding pun meruncing. Alkatiri menyebut lolosnya aksi penyerangan sebagai bukti kegagalan pemerintahan Ramos Horta dan Xanana. ”Keduanya harus mundur,” ujarnya. Adakah kali ini Alkatiri memetik keuntungan? ”Tidak,” ujarnya. Sebagai oposisi, kata Alkatiri, mereka tak menghendaki kudeta. Yang dibidik justru pemilihan ulang.

Pemerintahan Xanana sendiri yakin upaya pembunuhan itu terencana. Sampai Jumat pekan lalu belum diketahui apa motif aksi itu. ”Baru diketahui setelah proses investigasi,” ujarnya. Dia berjanji akan membuka hasilnya, baik kepada rakyat Timor Leste maupun kepada dunia.

Para pelaku juga terus diburu. Selain memperpanjang keadaan darurat, Jaksa Agung Timor Leste Longinhos Monteiro sudah meminta pengadilan Distrik Dili mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada 18 orang yang diduga terlibat dalam aksi penyerangan. Dia mengatakan, ada laporan intelijen bahwa ada persiapan kudeta atas Horta dan Xanana. Tentu kebenarannya masih harus diuji.

Akan halnya teka-teki aksi penyerangan, Mari meminta dibentuk Komisi Investigasi Internasional Independen. Namun, dia buru-buru membuat batasan. Sebaiknya, kata dia, komisi itu tidak melibatkan negara yang selama ini bertugas di Timor Leste, misalnya Australia, Selandia Baru, Malaysia, Portugal. ”Agar menjaga netralitas,” ujarnya.

Tak jelas, apakah setelah investigasi itu sang mayor tetap pahlawan bagi para pendukungnya.

Nezar Patria (Jakarta), J. Sarito Amaral, A. Assis (Dili), Dewi Anggraeni (Melbourne), BBC

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus