Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bunyi rentetan senapan mesin yang bergema di lapangan Masjid Rabaah al-Adawiyah, Kota Nasr, sebelah timur Kairo, Rabu pekan lalu, tak mengusik Omar. Bocah 12 tahun itu duduk tenang di atas tikar plastik biru sembari meminum jus jeruk dari kotak karton. Ia seolah-olah tak peduli meski beberapa meter di sebelahnya bergeletakan tak kurang dari 31 mayat, yang sebagian besar berlubang di bagian kepala dan dada, bekas tertembus peluru. Genangan darah memerahkan lantai. Omar hanya termangu ketika ditanya tentang orang tuanya. Mengenakan sepatu sandal Puma dan jins biru, Omar terdiam sebelum menjawab lirih, "Saya tidak tahu."
Pekan lalu polisi dan militer Mesir membuktikan ancamannya untuk membubarkan aksi duduk pendukung presiden terguling Muhammad Mursi. Mereka menyerbu lapangan Masjid Rabaah. Tanah bidang yang berada di dekat perempatan Jalan Raya El Nasr dan Jalan El Tayaran ini menjadi pusat aksi selama enam pekan terakhir. Saleh Abdulaziz, 39 tahun, bercerita bahwa polisi yang diikuti tentara tiba pukul 7 pagi. "Helikopter dari atas, tank dan buldoser dari bawah," kata pria yang berprofesi sebagai guru itu, dengan perban di bagian kepala.
Para penyerbu meruntuhkan barikade karung pasir dan batu yang dibangun demonstran, sembari menembakkan gas air mata. Suasana langsung panik. Ribuan orang yang berkumpul di lokasi itu kocar-kacir melarikan diri. Polisi antihuru-hara berpakaian hitam-hitam merusak tenda-tenda yang selama ini digunakan sebagai tempat istirahat kemudian membakarnya. Bunyi senjata terdengar di sana-sini. "Polisi dan tentara datang dari segala arah. Mereka menembakkan gas air mata ke kerumunan, tak peduli ada anak-anak. Mereka terus menembak meski kami memohon agar mereka menghentikannya," kata Abdulaziz.
Lokasi lain yang diserbu adalah Bundaran Al-Nahda—yang berarti kebangkitan—dekat kampus utama Universitas Kairo di kawasan Giza, Kairo. Caranya sama, tempat pemrotes dikepung, gas air mata ditembakkan, dan peserta aksi dipaksa bubar. Ashraf Abdel Ghaffar, pentolan Al-Ikhwan al-Muslimun yang bertanggung jawab di lokasi tersebut, mengatakan ribuan pendemo lari lintang-pukang. Sebagian lari ke kebun botani dan kebun binatang Giza di dekat bundaran, sebagian lagi bersembunyi di gedung Universitas Kairo. "Mayat bergeletakan di jalan. Kami tak berani keluar. Mereka menembaki kami dari lokasi yang lebih tinggi," katanya.
Laporan mengerikan datang dari Masjid Al-Iman, satu blok sebelah timur Rabaah. Di masjid ini ratusan mayat hangus dan tak bisa dikenali. Mayat-mayat yang sudah terbungkus kafan ini hanya tergeletak begitu saja di lantai yang biasanya digunakan untuk salat, disusun dalam saf. Kantor berita Reuters menuliskan, di masjid ini terdapat 228 mayat, Human Rights Watch Mesir menyebutkan angka 256 mayat, itu pun sebagian tak terhitung karena sudah dibawa anggota keluarga atau ambulans ke rumah sakit. "Tentara dan polisi tak akan mengakui mereka," kata Wafaa Hefny, profesor bahasa Inggris di Universitas Al-Azhar, yang membantu di masjid yang terletak di timur laut Kairo itu.
Bentrokan juga pecah di kota lain, seperti Iskandariah, Beheira, Fayoum, Minya, Assiut, Beni Suef, dan Suez. Tak ada angka pasti mengenai korban jiwa penyerbuan Rabu berdarah ini. Mohammed Fatallah, pejabat Kementerian Kesehatan Mesir, Jumat pekan lalu, menyebutkan 638 orang tewas termasuk 43 polisi, dan 3.717 orang terluka. Sebaliknya Gehad El-Hadad, juru bicara Al-Ikhwan al-Muslimun yang mendukung Mursi, mengatakan korban tewas bisa delapan-sembilan kali lipat dari klaim pemerintah. Angka ini belum termasuk lebih dari 10 ribu yang terluka.
El-Hadad dalam akun Twitternya mengatakan penyerbuan ini menunjukkan siapa sebenarnya penguasa di Mesir. Meski Adli Mansour, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, ditunjuk sebagai presiden sementara, ia bukanlah pemimpin sebenarnya. "Kini kita menghadapi wajah sebenarnya tirani Mesir yang dijalankan militer."
Sejak Mursi terpilih pada Juni 2012, militer memang tak lagi berada di panggung politik. Namun kekuasaan kelompok bersenjata ini tidak bisa dikatakan melempem. Sebab, setelah revolusi Nasserite pada 1952 yang melengserkan kekuasaan Raja Farouk sekaligus meruntuhkan monarki dinasti Muhammad Ali, militer mendapat posisi penting. Setidaknya, empat presiden berasal dari jajaran militer: Mohammad Najib (1953-1954), Gamal Abdel Nasser (1956-1970), Anwar al-Sadat (1970-1981), dan Husni Mubarak (1981-2011).
Kekuatan militer hanya seolah-olah tenggelam di bawah bayang-bayang euforia pemerintahan sipil pertama dalam 60 tahun terakhir. Namun militer sebenarnya tak benar-benar menghilang. Militer, lewat tokoh utamanya Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Abdel Fattah el-Sisi, mulai menampakkan otot ketika menyambut mandat dari kaum muda yang mencetuskan gerakan pembangkangan (harakat al-tamarrud) pada akhir Juni lalu. Gerakan ini mengklaim mendapat 22 juta tanda tangan yang menginginkan Mursi mundur lebih cepat. Dengan dukungan kelompok sekuler dan agama, El-Sisi akhirnya mengumumkan pengambilalihan kekuasaan dari Mursi pada 3 Juli. "Militer seolah-olah mendapat legitimasi," kata Khaled Fahmy, kepala departemen ilmu sejarah di American University di Kairo.
Sejak saat itu Mursi menghilang. Pendukung Mursi yakin sang mantan presiden ditahan di markas Garda Republik. Sumber lain menyebutkan Mursi telah dipindahkan ke kantor Kementerian Dalam Negeri. Catherine Ashton, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, yang bertemu dengan Mursi selama dua jam pada 29 Juli lalu, mengatakan Mursi dalam kondisi sehat. Dalam tahanan, ia diperlakukan dengan baik dan diperbolehkan menonton televisi serta membaca koran. Namun Ashton, yang dibawa menggunakan helikopter, juga mengaku tidak tahu lokasi penahanan Mursi.
Tak menduduki puncak kekuasaan formal bukan berarti tak berdaya. Penggalangan kekuatan terus dilakukan militer dan polisi. Awal bulan lalu, Kementerian Dalam Negeri mengumumkan pengoperasian kembali unit polisi yang kontroversial, yang ditutup setelah Husni Mubarak jatuh pada 2011. Nabahits Amn ad-Dwala atau State Security Investigations Service (SSI) merupakan simbol represi militer Mesir. Tugas mereka mengawasi gerakan kelompok islamis dan aktivis oposisi. Aida Seif el-Dawla, Direktur Eksekutif Nadeem Center, lembaga yang khusus menyoroti kebrutalan polisi dan korban kekerasan, mengatakan unit yang dibentuk pada 1931 ini sangat ditakuti karena memiliki kewenangan tanpa batas.
Pada awal pendiriannya, anggota SSI mendapat pelatihan dari badan intelijen Uni Soviet, KGB. Dalam sebuah kawat pada 2007 yang diterbitkan The Daily Telegraph juga terungkap bahwa SSI mendapat pelatihan di kantor pusat Biro Investigasi Federal Amerika (FBI) di Quantico, Virginia. "Unit ini menculik dan membunuh atas nama hukum. Mereka membantai banyak aktivis Islam pada 1990-an. Hanya pemerintah sesat yang tidak menghukum orang-orang semacam itu," kata El-Dawla.
Kuku militer juga mencengkeram berbagai wilayah. Pada awal pekan ini pemerintah sementara mengangkat 19 jenderal sebagai gubernur dari total 27 provinsi di Mesir. Ke-19 gubernur itu 17 berasal tentara dan 2 jenderal polisi. Salah satunya adalah Mahmoid Othman Ateeq, yang ditunjuk sebagai Gubernur Sohag. Mantan Wakil Gubernur Iskandariah ini terkenal karena pernah menodongkan pistol dalam aksi demonstrasi guru pada 2011.
Khaled Fahmy meyakini militer Mesir kini kembali aktif. Meski Mursi turun lewat desakan aksi di Bundaran Tahrir, ia mempertanyakan apakah keterlibatan militer dilakukan karena mendapat legitimasi rakyat atau hanya mengambil keuntungan dari kekosongan politik saat ini. "Saya sadar bahwa tentara tidak hanya bergerak untuk mempertahankan keamanan nasional dan kebebasan, tapi juga buat membela kepentingan dan tujuan sendiri," katanya. Yang pasti, militer Mesir kini telah kembali ke tengah panggung.
Raju Febrian (Ahram, Guardian, Telegraph, Independent, Foreign Policy)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo