Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapakah Mesir? Saya tak tahu. Mungkin tak ada yang tahu. Juga mereka yang menembakkan bedil ke arah kerumunan orang yang memprotes di Lapangan Rabaah al-Adawiyah di Kairo hingga ratusan orang mati dan ribuan luka-luka. Juga para anggota Al-Ikhwan al-Muslimun yang marah selama beberapa hari di bulan Agustus 2013 ini, karena presiden pilihan mereka, presiden yang sah, dijatuhkan. Juga mereka yang menentang kaum "Islamis" yang waswas bila Mesir diubah jadi negara Islam dan dengan demikian pecah. Juga orang-orang Koptik yang beberapa puluh gereja dan rumah yatimnya dibakar.
Siapakah Mesir? Mungkin orang melihatnya terbelah ke dalam dua kubu: mereka yang mengacungkan empat jari sebagai "tanda Rabaah" dan mereka yang mengacungkan dua jari sebagai tanda kemenangan menjatuhkan Presiden Mursi. Tapi Mesir jangan-jangan bukan sesuatu yang terbelah, karena sebenarnya ia memang tak pernah "satu". Maka, siapakah Mesir? Mungkin jawabnya: "sebuah bayangan yang hilang".
Kini orang bisa tersenyum pahit bila membaca lagi harapan dua tahun lalu, ketika dari Lapangan Tahrir orang menumbangkan kekuasaan Mubarak yang lebih dari 30 tahun. Saya kutip apa yang ditulis Slavoj Žižek dalam koran Inggris The Guardian waktu itu. Ia menganggap peristiwa itu sebagai "mukjizat": "Saat paling sublim terjadi ketika orang-orang Islam dan Kristen Koptik berdoa bersama di Lapangan Tahrir Kairo, berseru bersama, 'Kami satu!'"
Bagi Žižek, seperti dikatakannya dengan bersemangat dalam sebuah wawancara dengan Al-Jazeera, inilah bukti bekerjanya "universalisme". Orang-orang Mesir telah menangkis mereka yang percaya akan adanya "clash of civilization". Mereka membantah "multikulturalisme"—pandangan yang menampik adanya yang "universal" di dunia tempat beraneka ragam "budaya" hidup.
Kata Žižek pula tentang para demonstran di Lapangan Tahrir: "Orang-orang universalis sejati bukanlah mereka yang berkhotbah tentang toleransi global terhadap perbedaan dan tentang persatuan yang mencakup semua, melainkan mereka yang melibatkan diri dalam perjuangan yang berapi-api untuk menyatakan Kebenaran yang mendorong aksi mereka."
Saya tak hendak mencemooh kesimpulan itu; saya hanya ingin bertanya: apa yang dapat dikatakan Žižek sekarang? Tidakkah mereka yang mengacungkan "tanda Rabaah" adalah orang-orang "universalis sejati"—yang bentrok berdarah-darah dengan orang-orang yang juga "universalis sejati"? Kebenaran yang bagaimanakah yang mendorong kedua pihak bertempur berapi-api? Tidakkah ini berarti ada lebih dari satu "Kebenaran"—dan dengan demikian sama sekali bukan kebenaran yang "universal", melainkan yang "partikular" atau yang "sepihak"?
Apa yang tragis di Mesir, dengan klimaks yang berdarah di bulan Agustus itu, adalah belum sempatnya orang mempertanyakan itu. Tapi mungkin juga yang tragis di Mesir adalah tak adanya kerendahhatian kepada sejarah. Ada kearifan Marx yang pantas diingat berkali-kali: "Manusia membuat sejarah mereka sendiri, tapi mereka tak membuatnya sesuka-suka mereka; mereka tak membuatnya di dalam keadaan yang mereka pilih sendiri, melainkan dalam keadaan yang langsung mereka jumpai, yang diberikan dan ditransmisikan dari masa lalu."
Dalam proses "membuat sejarah" dengan kondisi yang seperti itu, Kebenaran bisa sangat berarti, tapi tak akan bisa sepenuhnya dilaksanakan. Dalam proses "membuat sejarah" itu, Kebenaran itu juga berada dalam proses. Ia tak akan bisa seutuhnya, secara hakiki, diwakili satu pihak. Seperti dikemukakan Laclau, pemikir politik yang sering bersentuhan dengan Žižek, yang universal itu tak satu. Yang universal selalu hanya merupakan hasil tafsiran satu orang atau satu kelompok tertentu. Tafsir itu selalu dipersaingkan, bahkan dipertentangkan. Pada suatu saat mungkin saja tafsir itu memegang posisi yang menentukan, tapi hegemoni itu tak akan bisa total dan selama-lamanya.
Sebab siapakah Mesir? Sebuah bayang-bayang yang menghilang tiap kali ada orang (atau kekuatan sosial-politik) yang mengatakan, "Akulah Mesir." Klaim itu akan selalu digugat—meskipun, seperti yang dialami di masa Mubarak, gugatan itu bisa lebih dari 30 tahun dibungkam.
Persoalannya, dengan cara apa gugatan itu dilakukan. Dengan kekerasan? Memang bisa efektif, atau tampak gagah perkasa dan heroik, tapi kekerasan (sebagaimana anti-kekerasan) tak mungkin jadi sebuah formula. Tiap kali manusia akan berada dalam kondisi yang berbeda dan formula apa pun akan kedaluwarsa. Tiap kali seseorang atau sebuah kelompok berhubungan dengan orang atau kelompok lain, tak hanya antagonisme yang terjadi. Politik, kita tahu, adalah juga proses komunikasi.
Tak berarti proses itu menuju ke arah konsensus. Tak berarti akhir politik adalah tercapainya mufakat di antara subyektivitas yang berbeda-beda. Konsensus itu bukan jaminan. Habermas, yang sangat percaya akan daya bahasa untuk membangun hubungan antarsubyek, lupa bahwa bahasa—dan juga orang yang berkomunikasi dengan bahasa—tak sepenuhnya konsisten dan transparan. Salah paham bukanlah sebuah kecelakaan yang tak terduga. Di celah-celah permufakatan, selalu ada gangguan yang menunggu. Sebuah masyarakat tak pernah tanpa konflik.
Itu sebabnya kita tak akan bisa menjawab "siapa Mesir" seraya merujuk sebuah identitas yang utuh. "Siapa Mesir" adalah sesuatu yang labil, genting. Mereka yang tak berhati-hati, yang tak sabar dan tak tahu batas, akan dengan mudah terjerumus tragedi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo