Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
URUSAN Menteri Dalam Negeri Iran, Mostafa Pour-Mohammadi, bertambah satu: memikirkan kebutuhan seks remaja. ”Apakah mungkin Islam abai terhadap remaja 15 tahun yang Tuhan anugerahkan kebutuhan seksual padanya?” ujar Pak Menteri di sebuah seminar agama di kota suci Qom, awal bulan ini.
Ia lantas menunjukkan data bahwa separuh dari 70 juta penduduk negeri itu berusia 30 tahun. ”Kita harus menemukan jalan keluar dari kebutuhan seks generasi muda yang tak mampu menikah,” tuturnya.
Jalan keluar yang direkomendasikan Pour-Mohammadi adalah sigheh, perkawinan sementara yang rentang waktunya berkisar antara satu jam sampai 99 tahun. Dalam terminologi agama Islam, buhul pernikahan seperti ini disebut mut’ah, yang di Indonesia dikenal sebagai kawin kontrak.
Sigheh bukan hal baru bagi tradisi Syiah, apalagi telah didukung pula sejak 15 tahun silam oleh Presiden Iran saat itu, Hashemi Rafsanjani. Legitimasi ini digunakan oleh agen perjalanan dengan menawarkan paket wisata ke Laut Kaspia untuk ”liburan sigheh”.
Tapi saran Pour-Mohammadi itu dirasakan seperti ledakan bom di telinga Sayyid Hossein Khomeini, cucu Ayatullah Ruhullah Khomeini, pendiri Republik Islam Iran. ”Pernyataan Pour-Mohammadi itu sangat menistakan wanita,” ujar Sayyid Hossein Khomeini. Ia mengaku tak keberatan dengan diberlakukannya mut’ah yang dikenal dalam Al-Quran. ”Tapi prakteknya sekarang banyak diselewengkan... sehingga terkadang mut’ah itu seperti perzinaan, bahkan lebih buruk dari itu,” kecamnya. Kritik serupa juga datang dari pengacara terkemuka Nemat Ahmadi. ”Hal seperti itu justru akan merusak sendi-sendi keluarga karena para lelaki bisa berlindung di bawah dalil agama,” katanya.
Suara keras juga berhamburan dari aktivis pembela hak-hak perempuan seperti Shidi Sadr, yang baru menghirup udara bebas setelah dibebaskan dari penjara tiga bulan silam. ”Meskipun sigheh diakui oleh sistem hukum kita, tapi tetap dianggap tak pantas oleh kebudayaan Iran,” tuturnya.
Dalam sejarah Islam, mut’ah pernah diizinkan Nabi Muhammad untuk dilakukan para pengikutnya pada salah satu perang, karena mereka berada jauh dari istri. Namun, setelah itu, praktek ini diharamkan untuk seterusnya. Dan inilah yang menjadi dasar keyakinan para penganut Sunni yang menolak pemberlakuan kawin kontrak. ”Mut’ah diperbolehkan saat itu karena masa peralihan masyarakat jahiliyah yang gemar berzina menuju Islam,” ungkap ulama Sunni kharismatis Yusuf Qardhawi.
Sementara itu, bagi banyak pengikut Syiah, nikah mut’ah dilihat sebagai perbuatan mulia yang akan mendekatkan diri pelakunya kepada Allah. Pandangan itu terlihat pada nukilan kitab-kitab kaum Syiah seperti Syiah wa Ahlu al-Bait karangan Ihsan Ali Zhahir.
Dari cara melakukan mut’ah, ternyata tidak hanya dibolehkan antara satu lelaki dan perempuan. Jika beberapa lelaki tertarik pada perempuan tertentu, mereka bisa melakukan yang disebut mut’ah dauriyyah (mut’ah bergiliran). Tak mengherankan jika aktivis perempuan lainnya Fatimah Shiddiqi melihat mut’ah menjadi cara favorit para perempuan yang terimpit beban ekonomi untuk sejenak melepaskan diri. ”Yang jelas, sejauh ini sudah ada puluhan ribu anak hasil perkawinan mut’ah yang tidak dikenali ayah mereka, dan karena itu status mereka pun tak jelas,” keluhnya.
Sejauh ini meski digempur dari banyak penjuru, Menteri Pour-Mohammadi belum terlihat akan menarik ucapannya, apalagi sampai mengubah pendiriannya.
Akmal Nasery Basral (IRNA, Al-Arabiya.net, Sharq, BBC).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo