Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bustanul Arifin*
PADA 15 Juni lalu, pemerintah mengumumkan kenaikan pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan 12 produk turunannya. Pajak ekspor buah kelapa sawit dan kernel (inti) kelapa sawit naik dari 3 persen menjadi 10 persen. Pajak ekspor CPO naik dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen, sedangkan produk turunan lain naik menjadi 6,5 persen. Kenaikan pajak ini, menurut pemerintah, adalah untuk mengamankan persediaan atau pasokan CPO dan minyak goreng domestik dengan harga terjangkau.
Pemerintah mengharapkan kenaikan pajak menjadi insentif negatif bagi para pelaku ekonomi (pedagang) agar mengurangi volume ekspor CPO. Akibatnya, pasokan CPO kepada industri minyak goreng lancar dengan harga terjangkau. Proses produksi minyak goreng pun tidak terganggu, sehingga pelaku industri skala kecil, menengah, dan besar dapat bersaing secara sehat dan tidak harus menaikkan harga eceran minyak goreng. Pertanyaannya: apakah harga minyak goreng akan segera stabil (baca: turun) setelah pajak dinaikkan? Tidak mudah menjawabnya. Bila pasar CPO dunia menjadi lebih liar, sulit terbayangkan apa yang akan terjadi dengan minyak goreng Indonesia.
Indonesia sesungguhnya memiliki catatan sejarah panjang tentang distorsi pajak ekspor CPO, dengan modus dan argumen yang tidak banyak berubah. Pada awal 1980-an, pemerintah (dalam hal ini Departemen Perdagangan) mengeluarkan peraturan yang mewajibkan eksportir mengajukan permohonan lisensi ekspor setiap kali akan mengekspor produk yang berhubungan dengan minyak makan, seperti kopra, minyak kelapa mentah, dan CPO.
Argumennya sama, yaitu untuk menjamin pasokan CPO di dalam negeri dan untuk mendukung kebijakan industri minyak makan secara umum. Di samping itu, pemerintah menetapkan sistem alokasi (administrative allocation) suplai CPO untuk pasar domestik dan untuk pasar ekspor, yang diatur oleh Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, dan Departemen Perindustrian.
Produsen CPO, yang tidak lain dari perkebunan negara dan perkebunan besar, ”diharuskan” menyuplai CPO ke pedagang dan pabrik minyak goreng yang ”ditunjuk” pemerintah. Mekanisme penentuan harga CPO di dalam negeri tunduk pada sistem alokasi tersebut, yang memberikan keuntungan sangat besar bagi para pemburu rente.
Kebijakan pajak ekspor diminati sejak September 1994, tepatnya sejak perkebunan baru kelapa sawit mulai berproduksi dan menjanjikan keuntungan besar. Besarnya pajak ekspor bervariasi, 40-60 persen, tergantung besarnya perbedaan antara harga dasar CPO yang ditetapkan US$ 435 per ton dan harga FOB yang kadang mencapai US$ 610 per ton pada waktu itu. Tambahan argumen tentang pengembangan industri hilir domestik serta pengadaan stok penyangga CPO juga sering dijadikan justifikasi pajak ekspor CPO yang sangat besar.
Lalu tibalah reformasi 1998. Kebiasaan mengenakan pajak ekspor menjadi lebih atraktif dan digemari pemerintah, tanpa mempedulikan dampak buruk yang ditimbulkannya. Dari tekanan kepada harga beli tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani, dampak transfer sumber daya (resource transfer) dari produsen CPO kepada industri minyak goreng, sampai pada integrasi industri hulu-hilir yang justru menjadi ancaman baru bagi sistem persaingan usaha yang sehat.
Kebijakan pajak ekspor CPO sebenarnya tidak akan menjadi kontroversi bila disertai rencana strategis pengembangan industri berbasis agro, yang seharusnya menjadi andalan ekonomi Indonesia. Rakyat akan ”berbagi derita” dengan pemerintah dan rela menanggung kenaikan harga minyak goreng apabila tidak terlalu banyak pemburu rente memetik manfaat dari pajak CPO ini.
Benar bahwa persentase konsumsi minyak goreng dari anggaran rumah tangga Indonesia cukup kecil—termasuk yang paling miskin sekalipun. Kontribusi minyak goreng terhadap inflasi di bawah 1,4 persen, dan pangsa minyak goreng terhadap pengeluaran bahan makanan cukup kecil: hanya 4 persen dari total pengeluaran 20 persen penduduk Indonesia termiskin.
Tapi suatu kebijakan juga dituntut memiliki dimensi empati yang mengarah pada keadilan sosial. Kasus krisis minyak goreng dan liarnya harga CPO dunia memberikan pelajaran berharga bahwa pembukaan kebun baru kelapa sawit yang berlebihan, terutama sejak dimulainya era otonomi daerah, tidak diikuti oleh perencanaan dinamis yang matang.
Telah cukup banyak studi yang memprediksi dampak gejala ”demam kelapa sawit” terhadap penurunan area hutan alam (deforestasi) serta berkurangnya hak-hak dan kepemilikan masyarakat adat akibat adanya konversi hutan menjadi kegunaan lain. Ekonomi sawit pun hanya akan memberi makna sedikit sekali bagi masyarakat apabila windfall profit dari tingginya harga CPO dunia tidak dapat ”dikembalikan” ke dalam ekonomi Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo