Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ksatria yang Membawa Amarah

Kerajaan Inggris memberikan gelar kehormatan kepada penulis buku Ayat-ayat Setan, Salman Rushdie. Kontan saja hal ini menyulut amarah di berbagai negeri.

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sri Ratu yang pekan lalu berulang tahun ke-81 itu mungkin tak pernah menyangka bahwa penganugerahan itu mendatangkan prahara.

Di Multan, kota di bagian timur Pakistan, sekitar seratus mahasiswa membakar boneka kertas diri Ratu Elizabeth II. Di Srinagar, India, 200 anak muda menunjukkan amarah atas keputusan Ratu itu. Di Malaysia, sekitar 20 aktivis Partai Aliansi Islam Se-Malaysia (PAS) menggelar demo di depan gedung Komisi Tinggi Inggris di Kuala Lumpur. ”Kami ingin Ratu Inggris dan pemerintahnya menarik anugerah itu dan meminta maaf kepada dunia muslim,” kata Mufti Besar Srinagar, Bashir-u-Din.

Entah di mana jalaran protes ini berhenti kelak. Yang jelas, sejak Ratu Inggris menyematkan gelar ksatria Inggris—Sir—di dada pengarang Salman Rushdie, bola salju itu menggelinding. Reaksi perdana mencuat dari negara-negara Persemakmuran, lantas Iran. Pernyataan keras dan fatwa susul-menyusul. Di Pakistan, Menteri untuk Urusan Agama Ijaz ul-Haq menyulut kobaran amarah: ”Jika seorang melakukan bom bunuh diri demi kehormatan Nabi Muhammad, maka tindakannya dibenarkan.” Ul-Haq adalah putra eks pemimpin militer Zia ul-Haq.

Di Iran, tempat Salman Rushdie dinyatakan patut dihukum mati, Kementerian Luar Negeri Iran memanggil Duta Besar Inggris Geoffrey Adams. ”Keputusan pemberian gelar bagi Rushdie merupakan langkah provokatif yang membuat berang kaum muslim,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Mohammad-Ali Hosseini.

Rushdie adalah penulis The Satanic Verses, buku setebal 500 halaman yang membuat tegang hubungan Barat dengan Islam. Saat itu, 1989, belum ada setahun buku itu diterbitkan. Pemimpin revolusi Republik Islam Iran, Ayatullah Ruhullah Khomeini, memproklamasikan karangan itu menghina Islam, Nabi Muhammad, dan Quran.

”Saya informasikan kepada muslim di seluruh dunia yang bangga pada agamanya bahwa penulis buku The Satanic Verses telah secara terang-terangan menghina dan mengobarkan semangat perang terhadap Islam, Rasulullah, dan Kitab Suci Quran. Penulis buku itu, termasuk penerbitnya, kami nyatakan wajib dihukum mati. Barang siapa yang meninggal karena ingin membunuh Rusdhie, dia mati sebagai pejuang (mujahid) dan akan langsung masuk surga,” ujar Khomeini lewat Radio Teheran.

Seruan Imam Zaman—begitu dunia muslim menyebutnya—kontan disambut dengan gegap-gempita di seluruh dunia. Di Iran, ratusan ribu orang berbaris sambil melambai-lambaikan poster bergambar tampang Rushdie dengan tulisan di bawahnya ”orang ini dihukum mati”. Sumpah-serapah yang biasanya ditujukan kepada Amerika, hari itu berbelok kepada Inggris.

Di Bradford, Inggris, sekitar 1.500 orang protes membakar buku Ayat-ayat Setan. Di Amerika Serikat, pelaku aksi tak cuma berdemonstrasi, tapi juga mengancam toko-toko buku yang memajang The Satanic Verses. Seorang penelepon gelap mengatakan akan memasang bom di kantor Viking Penguin bila penerbit itu tak segera menarik buku Rushdie dari peredaran. Tak lama setelah ancaman itu disampaikan, tiga jaringan toko buku terbesar di AS yang memiliki lebih dari 2.500 toko buku menarik Ayat-ayat Setan dari rak-rak penjualan mereka.

Api protes juga memercik di Pakistan, negeri kedua bagi Salman Rushdie—orang tua pengarang ini pindah dari India ke Pakistan. Di Islamabad, massa berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar AS. Terjadi bentrokan massa dengan polisi yang mencoba menertibkan orang-orang yang marah dan mencaci Amerika itu. Mulanya cuma gas air mata disemprotkan, kemudian peluru tajam dilepaskan. Lima korban meninggal, sekitar 100 orang luka-luka dalam kejadian itu. Pada saat yang sama, seorang imam Belgia ditembak mati orang tak dikenal. Diduga, imam itu mengkritik Khomeini yang menjatuhkan hukuman tanpa lewat pengadilan.

Di India, pemerintah Rajiv Gandhi segera melarang beredarnya Ayat-ayat Setan. Bahkan pada sebuah protes di India terjadi bentrokan, seorang tewas, puluhan luka-luka. Larangan beredarnya buku itu juga terjadi di Arab Saudi, Pakistan, Bangladesh, Afrika Selatan, dan banyak negara lainnya.

Seorang pejabat di Departemen Luar Negeri Pakistan menyatakan akan mengajak negeri-negeri Islam memboikot semua buku terbitan Viking Penguin bila penerbit ini tak segera menarik Ayat-ayat Setan. Dan ancaman mati bagi pengarangnya, kata orang Pakistan, jangan dianggap omong kosong. Di Indonesia, negeri muslim terbesar di dunia, buku itu tak tampak, tapi fotokopiannya beredar secara diam-diam di kalangan tertentu.

Sejumlah negara Eropa, antara lain Belanda dan Yunani, menangguhkan penerjemahan The Satanic. Pemerintah Kanada sempat mempertimbangkan impor buku tersebut walau pada akhirnya membolehkannya, karena buku itu dinilai bukan ”propaganda buruk” dan tak menyalahi undang-undang kriminal.

Bukan hanya protes, Khomeini juga menjanjikan hadiah US$ 2,6 juta kepada siapa saja, termasuk orang yang bukan muslim, yang bisa membunuh Salman Rushdie. Seorang Iran menaikkan hadiah itu menjadi dua kali lipat, US$ 5,2 juta. Namun, Rushdie tidak menggigil sendirian. Seorang penerbit kaya-raya, Robert Maxwell, bahkan menyediakan hadiah bagi siapa saja yang bisa membuat Khomeini lebih ”beradab” dan kemudian minta maaf. Hadiah yang disediakannya dua kali lipat, lebih dari US$ 10 juta.

Walaupun Khomeini sudah wafat, hadiah bagi yang bisa membunuh Rushdie tetap masih berlaku. ”Mimpi buruk Rushdie selama sembilan belas tahun terakhir akan berlanjut. Sekalipun ia menyesali (dosa-dosanya), tetap menjadi kewajiban setiap muslim untuk membunuh dia,” kata direktur jenderal lembaga ”markas bagi pemberian penghargaan kepada syuhada gerakan Islam global”, Farouz Rajaeifar. Kelompok lain, Yayasan Khordad Ke-15, suatu badan kebudayaan, menawarkan US$ 2,8 juta dolar bagi kepala Rushdie dan secara reguler menegaskan fatwa tersebut akan hidup selamanya.

Rushdie sebenarnya bukan penulis kacangan. Ada 13 buku karangannya yang telah memenangi sejumlah penghargaan, termasuk Booker Prize untuk Midnight’s Children (1981) dan Booker of Bookers (1993). Karena itu, ia merasa terhormat menerima gelar tersebut. ”Saya sangat berterima kasih bahwa karya saya diakui seperti ini,” katanya. Ia punya dunia sendiri yang seolah tak tersentuh dunia di luar sana.

Ahmad Taufik (IRNA, AP, AFP dan Book Rags)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus