"BILA kamu berada dalam situasi seperti Peru sekarang, kamu tak akan bisa mengubahnya dengan novel atau puisi," kata Mario Vargas Llosa, 53 tahun, salah seorang calon dalam pemilihan presiden di salah satu negeri Amerika Latin itu. Vargas Llosa, novelis Peru yang dikenal dunia internasional, memang ingin mengubah negeri berpenduduk 21 juta ini, yang mengalami inflasi, tahun lalu, sampai 3.000%, dan yang tak dipercaya oleh kreditor internasional sejak 1986. Dan menurut sebuah poll sebulan lalu, ia mendapat suara 44%. Negeri ini merdeka dari Spanyol pada 1824, dan sejak itu hampir tak mengalami perpindahan kekuasaan dengan damai -- hampir semua penguasa jatuh karena kudeta. Kecuali Alan Garcia Perez, presiden yang segera turun. Kampanye Vargas Llosa, pada penilaian pihak kiri dan kelompok Sendero Luminoso (Lorong Bersinar) -- kelompok pemberontak Maois -- sangat "kapitalistis". Karena itu, Sandero Luminoso menganjurkan agar rakyat Peru memilih calon lain, yakni Alberto Fujimori. Karena anjuran pemberontak atau bukan, hasil perhitungan awal pemilu putaran pertama awal pekan ini ternyata membalikkan hasil poll. Fujimori, 51 tahun, bekas rektor Universitas Pertanian, dalam poll hanya mendapat suara 1%. Dalam putaran awal kini ia memperoleh hampir 30%. Mungkin cara kampanye anak imigran dari Jepang ini memang menarik. Ia berjanji tak akan membawa Peru ke budaya modern bila belum semua orang terpenuhi kebutuhan dasarnya. Fujimori pun berkampanye dengan cara murah: tanpa pengawal seorang pun, dan kadang-kadang hanya mengendarai traktor keliling Lima, ibu kota Peru. Ia mengaku tergerak mencalonkan diri setahun lalu karena melihat politik penguasa selama ini tak menjanjikan jalan keluar kemelut sosial dan ekonomi Peru. Satu hal lagi yang menguntungkan keturunan Jepang itu, ia seorang Katolik yang taat -- lebih dari 90% orang Peru pemeluk Katolik. Sementara itu, Llosa mengaku sebagai seorang agnostik -- tak mengakui Tuhan dan kehidupan sesudah mati. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini