Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kesenjangan

Kebebasan unsur mutlak dalam menegakkan keadilan sosial. Untuk mengatasi kesenjangan sosial & tercapainya keadilan sosial, perlu menjamin & memelihara kebebasan serta memerangi kemiskinan.

14 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA ada tatanan yang tidak mengandung kesenjangan? Ada. Misalnya di lembaga pemasyarakatan. Sandang, pangan, dan papan dibagi sama rata bagi setiap penghuni rumah penjara. Tetapi apakah tatanan seperti di penjara itu yang kita kehendaki? Kalau bukan, apanya yang kurang? Kebebasan! Itulah unsur mutlak yang harus diperhatikan dalam upaya menegakkan keadilan sosial. Tidak ada masyarakat yang semua anggotanya memiliki kekayaan dan peluang secara sama rata. Juga tidak di negara komunis atau melalui cara totaliter sekalipun. Keadaan semacam itu tidak mungkin diciptakan. Barangkali juga tidak perlu. Bahkan tidak dikehendaki. Tatkala dirawat di rumah sakit, orang dilayani perawat, diberi makan dan obat-obatan yang sesuai dengan kebutuhan kesehatannya. Bahkan boleh memilih kelas yang dia suka. Tetapi toh tetap menderita. Bukan hanya karena sakit. Tetapi lebih-lebih karena tidak bebas. Orang menderita bila terbelenggu kebebasannya. Hanya orang sakit yang mau mengorbankan kebebasan, demi kesembuhan. Masyarakat sehat menuntut kebutuhan paling asasinya: kebebasan. Karena kebebasan merupakan unsur paling pokok dalam menegakkan martabat manusia. Kebebasan bisa tekor karena rasa takut atau karena ditakut-takuti. Padahal hanya keberagamaan, akhlak, etika, dan kesadaran kemanusiaan yang sah untuk mengendalikan kebebasan. Memang, kemiskinan juga bisa secara tidak sah merampas kebebasan. Orang miskin tidak bisa menikmati kemewahan untuk bebas biarpun tidak diganggu haknya atau bahkan dilonggarkan kebebasannya. Sesungguhnya, kebebasan perlu, tetapi tidak cukup. Karena itu, mengatasi kesenjangan sosial perlu ditempuh dengan menjamin dan memelihara kebebasan dan memerangi kemiskinan. Tetapi apa ada kebebasan yang bisa dinikmati secara absolut? Kebebasan dikendalikan juga oleh kepentingan pihak lain yang sah dan kita akui martabat serta kedaulatannya. Bahkan ada kendali yang melekat pada manusia, yaitu akhlaknya. Akhlaklah yang menuntut kita untuk meletakkan kepentingan masyarakat, kepentingan umum, di atas kepentingan sendiri. Seperti halnya kebebasan, kemiskinan pun ada yang relatif, ada pula yang absolut. Tergolong relatif miskin kalau seorang berada di antara mereka yang ada di barisan paling bontot, dalam spektrum kaya miskin. Jadi, di setiap masyarakat selalu ada yang miskin relatif. Keadaan itu baru melahirkan masalah keadilan kalau yang berada di baris paling belakang kelewat banyak. Sedang yang melesat di depan, berada jauh di muka, hanya ada beberapa gelintir saja. Yang amat banyak kebagian terlalu sedikit. Yang amat sedikit mengambil terlalu banyak. Kemiskinan absolut berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan. Pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan rasa aman. Seseorang dikatakan miskin absolut kalau salah satu, beberapa, atau semua dari unsur kebutuhan dasar itu tidak terpenuhi setara dengan kebutuhan minimum untuk hidup layak bagi kemanusiaan. Kemiskinan absolut bisa dan secara mutlak harus dihapus. Kemiskinan relatif selalu akan ada. Keadilan sosial tercipta bila kita berhasil menghapus kemiskinan absolut, dan pada waktu yang sama memperkecil banyaknya anggota masyarakat yang miskin relatif. Inilah moral pembangunan yang berperi kemanusiaan dan berperi keadilan. Karena itu, memerangi kemiskinan tidak bisa dimenangkan hanya dengan perbuatan filantropis. Belas kasihan tidak bisa memecahkan kemiskinan. Apalagi kalau dalam amalannya terselip niat ria (pamer). Cara demikian justru bisa menyinggung martabat manusia. Yang perlu dibangun dan dibangkitkan adalah keberdayaan manusia, keberdayaan untuk memanfaatkan peluang dan kemampuan. Keberdayaan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan pilihan cara dan jerih payah sendiri. Keberdayaan untuk maju lewat swadaya. Keberdayaan? Itulah salah satu masalah paling muskil dalam peradaban kita. Zaman kakek saya, persepsi tentang keadilan sosial adalah keadilan dari langit. Karena itu, sekiranya kaki Kakek diinjak orang, ia hanya bisa membisu, seraya meneteskan air mata. "Duh, Gusti, .... Nasib!" keluhnya, hanya dalam batin. Tetapi zaman bapak saya, sudah mulai lahir sikap keberdayaan yang menghamba. Seandainya kaki Bapak diinjak, ia sudah berani mencoba mempersilakan kaki itu untuk diangkat biarpun masih dengan cara terbata-bata: "Nuwun sewu . . suku!" (Maaf. . kaki!) serunya, seraya menunjuk dengan jempol tangan kanan yang geraknya selalu dikendalikan oleh tangan kiri, ke arah kaki yang gepeng tertindas. Ketika peradaban merambah ke generasi saya, orang sudah berani bersikap kritis biarpun harus selalu memilih cara yang membangun. Seandainya kaki saya diinjak orang, saya akan sudah berani berseru, "Pak, sekiranya berkenan, bolehkah kaki saya dibebaskan dari beban injakan Bapak?" Bagaimana Anda membayangkan bila generasi anak saya yang terinjak kakinya? Saya kira ia akan serta-merta menarik kaki yang kesakitan, seraya berseru, "Bung, kok menginjak kaki saya? Ini kaki rakyat, atau kaki konglomerat?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus