BAK orang berbalas pantun, Malaysia dan Indonesia bertukar kecurigaan dan pernyataan keras. Penangkapan 12 wisatawan Malaysia di kawasan wisata Danau Toba, Sumatera Utara, berbalas pernyataan keras Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar: larangan berkunjung warga Malaysia ke Indonesia. Lalu terjadi juga aksi pembakaran bendera Malaysia di depan Gedung Kedutaan Malaysia di Jakarta, Senin pekan silam. Aksi demonstran yang ditayangkan berkali-kali di media televisi Malaysia itu memicu kegeraman pemerintah Malaysia.
Reaksi keras dari dua negara bertetangga ini merupakan kelanjutan dari penerapan kebijakan Akta Imigrasi Nomor 115 tentang larangan migran ilegal bekerja di Malaysia. Bila tak mematuhi peraturan yang bertenggang waktu hingga akhir Agustus ini, mereka akan mendapat hukuman cambuk atau kurungan. Akibatnya, terjadilah eksodus puluhan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) dari Malaysia sejak awal Agustus. Dan yang membuat pihak Indonesia tersinggung adalah berita tentang ditahan dan dicambuknya TKI ilegal yang tertangkap. Kondisi mereka di tahanan negara jiran itu juga buruk.
Insiden TKI yang beruntun inilah yang memanaskan hubungan Indonesia dan Malaysia. Atmosfer ketegangan bisa dirasakan di Medan, ibu kota Sumatera Utara, yang letaknya tidak jauh dari Malaysia. Penangkapan wisatawan Malaysia yang terjaring dalam aksi pembersihan narkotik dan obat berbahaya oleh polisi setempat, dua pekan lalu, berbuntut panjang.
Beberapa kegiatan bisnis yang melibatkan pihak Malaysia di Medan mogok. Festival Makanan Penang, yang direncanakan berlangsung 29 Agustus-4 September, dibatalkan pihak Malaysia. Menurut Habibie Nurhayati Lubis, Ketua Asosiasi Kota Kembar Medan-Penang, pembatalan itu dilakukan secara lisan dan tiba-tiba, sehari sebelum pembukaan. Lebih jauh Nurhayati mengakui bahwa pembatalan sepihak acara persahabatan itu disebabkan oleh sikap pemerintah Malaysia yang keras.
Selain itu, pengusaha di Medan yang memiliki rekanan di Malaysia harus menerima banyak pertanyaan tentang keamanan bepergian di Sumatera Utara. Henry Hutabarat, seorang pengusaha biro perjalanan dan perhotelan, mengaku banyak mendapat telepon dari calon wisatawan Malaysia tentang kondisi keamanan di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. "Maklum, Agustus dan September ini memang sedang musim turis Malaysia datang kemari," kata Direktur Nasional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle itu.
Memang dampak nyata bisa langsung dilihat dari tingkat hunian hotel di Medan. Menurut data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumatera Utara, ratusan pesanan kamar hotel calon turis Malaysia telah dibatalkan. Karena tingginya tingkat pembatalan, pengurus PHRI mengadakan pertemuan khusus untuk membahas masalah ini Rabu pekan lalu.
Tapi, menurut beberapa pihak yang ditemui TEMPO, lesunya bisnis mereka akibat memburuknya hubungan Indonesia-Malaysia hanya bersifat sementara, meskipun kerugian tetap ada. "Kami harus melakukan penjadwalan ulang. Ini jelas merugikan secara materi ataupun moril," kata Nurlisa Ginting, direktur sebuah perusahaan yang bekerja sama dengan Malaysia.
Hubungan yang tidak harmonis di antara dua negara bertetangga ini memang tidak permanen. Kerugian yang diderita oleh pengusaha di Sumatera Utara juga tidak akan berlangsung terus-menerus. Bahkan insiden pembakaran bendera Malaysia di Jakarta pun bisa segera dilupakan. Sebab, mereka bukan korban sebenarnya.
Korban yang sejati adalah para buruh migran ilegal sendiri. Nasib mereka masih gelap. Kondisi hidup mereka di penampungan mengenaskan. Hingga akhir Agustus ini, lebih dari 40 orang meninggal—di antaranya anak-anak—di tempat penampungan Nunukan, kota kabupaten di Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Sabah, Malaysia.
Menurut Palupi, pekerja sosial dari lembaga swadaya masyarakat Solidaritas Perempuan, kondisi puluhan ribu TKI di Nunukan sangat mengenaskan. Mereka hidup di tenda-tenda yang dibuat oleh perusahaan tenaga kerja dengan makan, minum, dan fasilitas kesehatan yang sangat minim. "Kondisi mereka juga sangat jelek karena pada umumnya juga mendapat perlakuan buruk dari majikan mereka di perkebunan (di Sabah)," kata Palupi.
Lebih parah lagi, dengan keadaan yang serba kurang dan tidak menentu, masih banyak yang nekat kembali ke Malaysia untuk bekerja. "Ada yang meninggalkan anaknya di Nunukan hingga si anak yang masih satu setengah tahun itu meninggal," tutur Palupi. Dan gelombang pekerja migran dari Malaysia akan bertambah lagi akhir Agustus ini. Yang jelas, persoalan para pekerja migran lebih penting untuk diselesaikan, ketimbang berbalas kegeraman.
Bina Bektiati, Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini