DI bidang ekonomi Mahathir menggariskan kebijaksanaan "memandang ke Timur (Jepang)", sedang di bidang hukum pidana ia berpaling pada Quran dan Hadis. Tanpa menghiraukan kecaman Tunku Abdul Rahman, hukum cambuk dengan rotan resmi diberlakukan di 14 negara bagian Malaysia sejak akhir Februari silam. Dengan demikian, Malaysia menjadi negara ketiga, sesudah Arab Saudi dan Pakistan, yang menerapkan hukum yang kontroversial itu. Pesakitan pertama, Syamsudin Muhammad, 21, dijatuhi hukuman cambuk di penjara Kota Baru, Kelantan (TEMPO, 7 Februari 1987). Ia terbukti menenggak minuman keras dan kedapatan ber-khalat (berdua-duaan di tempat sepi) dengan wanita bukan istri dan bukan mahramnya. Mahkamah Syariat Kelantan memvonis pemuda ini enam kali cambukan rotan dan seminggu kurungan penjara. Umat Islam Malaysia -- kini 48% dari keseluruhan penduduk yang 16 juta diancam hukuman cambuk untuk empat pidana syariat, yakni: meminum minuman keras, segala hal yang menjurus ke perbuatan zina (mukaddimah zina), berzina, dan homoseksual. Menurut Dr. Abdul Hamid Othman, Dirjen Urusan Islam di kantor Perdana Menteri, hukumannya maksimal enam kali cambukan rotan yang harus ditimpakan di punggung tapi pada bagian yang berbeda-beda. Pedoman pelaksanaan hukuman itu disusun oleh Panitia Fatwa Nasional. Ketentuan itu juga menetapkan bahwa hukum cambuk harus dilakukan di tempat terbuka, disaksikan empat anggota masyarakat beragama Islam. Algojo yang melaksanakan hukuman itu pun disyaratkan: harus adil dan tidak emosional. Karena itulah para algojo mesti berlatih cara mencambuk dengan rotan sesuai dengan yang digariskan dalam hukum syariat. Sedang untuk membiasakan para abdi hukum syariat (sejumlah pegawai Jawatan Agama yang terdiri dari kadi, mufti, dan jaksa agama) dengan prosedur dan administrasi mahkamah syariat, mereka diharuskan mengikuti kursus selama satu setengah tahun di Universitas Islam Antarbangsa, di Kuala Lumpur. Januari lalu, 30 orang abdi hukum syariat dari 14 negara bagian telah merampungkan kursusnya. Setelah itu, mereka masih harus "tugas belajar" ke pengadilan sipil tiga bulan -- untuk membandingkan proses di pengadilan sipil dengan mahkamah syariat. KINI, batas maksimum untuk denda dan hukuman kurungan telah diseragamkan. Dendanya melonjak dari 1.000 ringgit (sekitar Rp 642.000) menjadi 5.000 ringgit (Rp 3 juta lebih). Sedang hukuman kurungan bertambah dari enam bulan menjadi tiga tahun. Menurut Hamid Othman tidak mustahil di masa depan seseorang akan dikenai hukuman yang lebih berat. Misalnya bujangan yang berzina dicambuk sampai 100 kali, sementara yang sudah kawin dirajam sampai mati di muka umum. Karena di Malaysia agama merupakan masalah negara bagian, pemerintah pusat hanya mengkoordinasikan administrasinya. Sebenarnya, pelaksanaan hukum syariat -- bagi pemeluk Islam -- di Malaysia sudah disahkan tahun lalu, tapi reaksi dan hebohnya baru meledak Januari berselang. Tak kurang dari bekas PM Tunku Abdul Rahman, sang "Bapak Malaysia", dan bekas PM Hussein Onn yang mengecamnya. "Pertimbangkan juga perasaan mereka yang bukan Muslim. Kita harus melihat Malaysia sebagai masyarakat multirasial ...," kata Tunku Abdul Rahman, pada hari ulang tahunnya, 27 Februari silam. Cambuk rotan ternyata memancing keresahan di kalangan non-Muslim. Karena itu diusahakan agar para pelanggar diadili di pengadilan sipil. Menurut Dr. Yusof, pemerintah akan terpaksa mengadakan amendemen terhadap hukum sipil (pidana). Misalnya untuk kasus khalwat yang melibat hubungan lelaki-perempuan yang salah satunya bukan Muslim. "Lebih wajar kalau diajukan ke pengadilan sipil, dengan mempersiapkan dasar hukumnya dalam pidana," kata Yusof. Perbuatan zina terbukti meningkat di Tanah Semenanjung, dari 92 kasus (1980) menjadi 350 kasus (1984). Barangkali, dengan hukum rotan, angka itu bisa ditekan apalagi zina memang dinilai buruk oleh masyarakat di sana. Farida Herwanto Laporan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur) & kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini