Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dilema puak melayu

Brigjen lee hsien loong mengatakan posisi penting dalam ab singapura, tak mungkin diberikan kepada puak melayu. karena faktor agama dan ras, puak melayu tidak layak jadi perwira. malaysia gusar.

14 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA-tiba saja Brigjen Lee Hsien Loong bicara "seronok" seperti bapaknya PM Lee Kuan Yew. Hal ini diperagakannya dalam sebuah seminar di Universitas Nasional Singapura, 23 Februari lampau. Ketika seorang pembicara menganjurkan agar rakyat minoritas Melayu (15 persen dari 2,6 juta penduduk) diberi kesempatan untuk mengisi berbagai posisi penting dalam angkatan bersenjata Singapura, Brigjen Lee melontarkan tanggapan yang cukup mengejutkan. Ia mengatakan posisi menentukan itu tak mungkin diberikan kepada puak Melayu, lantaran risikonya sungguh berat buat Singapura. Pertama, kata Lee muda, pemerintah tak mau menempatkan anggota-anggota tentara republik dalam suatu situasi di mana perasaan mereka terhadap negara bertabrakan dengan perasaan agama. Kedua faktor -- kata Lee yang juga menteri perdagangan & industri -- itu berlawanan, dan dalam keadaan genting bisa merusakkan, baik bagi negara maupun bagi ras Melayu itu sendiri. Ditambahkannya, karena Singapura terletak di kawasan Asia Tenggara, maka apabila konflik terjadi dan angkatan bersenjata terpanggil untuk membela negara, anggota-anggota tentara ras Melayu akan menghadapi dilema. Pernyataan Lee muda itu, tentu saja, mendapat reaksi yang keras, terutama di Malaysia, mulai dari tuduhan Singapura menganut politik rasisme, sampai dakwaan bahwa di masa depan Singapura akan jadi biang keruwetan di kawasan ini. Reaksi paling keras dilontarkan Razak Ahmad, seorang tokoh oposisi, wakil ketua Partai Sosialis Rakyat Malaysia (PSRM). Menurut dia, para pemimpin Partai Aksi Rakyat (PAP) yang berkuasa di Singapura telah bersikap rasis, chauvinistis, dan berpikiran dangkal. "Mestinya mereka sadar dan melemparkan jauh-jauh sikap diskriminatif seperti itu," katanya lagi kepada koran berbahasa Melayu Watan. Wakil Presiden UMNO Datu Abdullah berusaha lebih menahan diri. Dikatakannya, itu semua urusan dalam negeri Singapura, tapi karena pernyataan Lee menyangkut "ras saya", ia menyesahnya. Yang juga ramai dibicarakan adalah implikasi pernyataan Lee jika diproyeksikan dalam konflik kawasan ini di masa depan. Bila konflik terjadi, diramalkan yang potensial jadi seteru Singapura tak lain dari Malaysia dan Indonesia -- dua negara tetangga terdekat yang dikuasai rumpun Melayu. Sebenarnya, bagian kedua dari pernyataan Lee merupakan hal yang wajar saja. Sudah jamak kalau satu negara memperhitungkan kekuatan lawan dan kawan di sekitarnya, diumumkan atau tidak. Beberapa tahun silam misalnya, dalam pandangan Australia, Indonesia merupakan ancaman potensial bagi keamanan nasionalnya. Yang juga menarik ialah mengidentifikasi apa yang di balik pernyataan tersebut. Buat warga Melayu, ada dua hal yang patut dicamkan. Pertama, kenyataan bahwa pemerintah Singapura dengan mayoritas Cina itu (76 persen), menganggap orang Melayu yang memang pendidikannya terbelakang, takkan mampu melayani teknik persenjataan mutakhir yang semakin canggih itu. Kedua, pemerintah tak mempercayai kadar kesetiaan mereka terhadap negara, lantaran mereka beragama Islam dan berasal dari ras Melayu. Ada juga dugaan bahwa pernyataan Lee pertanda retaknya kalangan elite Singapura, terutama antara yang Melayu dan yang Cina. Konon, sejak kunjungan Presiden Israel Chaim Herzog, ketegangan kian menjadi-jadi. Banyak pembesar Melayu yang sengaja berlibur ke luar negeri selagi kunjungan Herzog itu. Pada pendapat mereka, Singapura mestinya bertenggang rasa terhadap Malaysia dan Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam dan yang pemerintahnya secara resmi mendukung perjuangan rakyat Palestina. Mereka pun tak begitu senang dengan kecenderungan penguasa yang bersikap angkuh terhadap negara tetangga dan berkiblat pada Israel sebagai "model". Beberapa sumber di kalangan pemerintah Singapura membenarkan adanya sikap rasisme dan rasialisme yang khusus ditujukan terhadap puak Melayu. Menurut mereka, tak mungkin warga Melayu menempati posisi militer yang penting karena selama ini pangkat tertinggi yang pernah mereka capai baru setahap mayor. Sekarang jumlah perwira Melayu bisa dihitung dengan jari. Sementara itu, ada tuduhan tak resmi dari Singapura bahwa sikap rasial juga bisa ditemukan di Malaysia. Orang Cina Malaysia, kata tuduhan itu, juga didiskriminasikan. Kontan saja itu dibantah oleh Malaysia. Datu Abdullah Ahmad, seorang anggota parlemen, mengatakan pada surat kabar Utusan Malaysia bahwa dewasa ini ada seorang Cina yang berpangkat brigadir jenderal. Malah sebelum abad ini berakhir, paling tidak akan ada dua atau tiga orang jenderal Cina lagi. "Kita mesti memberikan selamat atas kebijaksanaan pemerintah Malaysia dalam hal ini," kata sang datuk. A. Dahana Laporan Ekram Attamimi (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus