Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rambu Baru yang Menekuk Facebook

Australia mewajibkan raksasa teknologi seperti Facebook dan Google membayar konten berita. Negara lain menyusul.

27 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi foto Facebook dengan latar belakang media-media Australia, di Canberra, Australia, 18 Februari 2021. Reuters/Stringer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Australia mewajibkan Facebook dan Google membayar produsen berita.

  • Facebook mencoba terus menegosiasikannya.

  • Uni Eropa, Inggris, Prancis, dan Kanada bersiap mengambil langkah serupa.

MASA depan media baru sedang diuji di Negeri Kanguru. Raksasa media sosial Facebook dan mesin pencari Google menghadapi tekanan besar setelah pemerintah Australia bermaksud menerbitkan Undang-Undang Kewajiban Persetujuan Platform Media Berita dan Digital. Aturan baru ini akan mewajibkan kedua perusahaan membayar konten berita di platform mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Google dan Facebook sama-sama menentangnya karena undang-undang itu dianggap “menghukum” mereka. Namun keduanya memberikan reaksi berbeda begitu rancangan aturan itu dibahas di parlemen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Google pada mulanya hendak menarik mesin pencarinya dari negeri itu, yang akan mengakibatkan terhentinya kontrak bisnis dengan media di sana senilai lebih dari Aus$ 60 juta atau sekitar Rp 661 miliar. Namun Google akhirnya mulai meneken perjanjian dengan berbagai media, termasuk News Corp, jaringan media terbesar Australia milik Rupert Murdoch. Nilai perjanjiannya dengan Nine Entertainment diperkirakan lebih dari Rp 330 miliar per tahun. Seven West, raksasa media lokal lain, dilaporkan mencapai kesepakatan dengan nilai yang sama. News Corp dan Nine Entertainment adalah dua media besar yang aktif melobi pemerintah untuk menerbitkan undang-undang baru itu.

Adapun Facebook secara sepihak memblokir semua konten media Australia di platformnya pada 17 Februari lalu. Akibatnya, masyarakat di negeri itu tak dapat membaca berita lokal dan internasional melalui platform populer tersebut. Menurut laporan News and Media Research Centre University of Canberra pada 2020, sekitar 39 persen pengguna Facebook di sana mengakses berita, sedikit di bawah rata-rata pengguna dunia yang mencapai 42 persen.

Sejumlah laman institusi pemerintah, lembaga nirlaba, dan organisasi lain di Facebook juga terblokir. Laman resmi Queensland Health dan Bureau of Meteorology, misalnya, menjadi kosong. Perdana Menteri Australia Scott Morrison mencak-mencak dan menyatakan bahwa pemerintahnya menolak diintimidasi oleh Facebook. “Tindakan Facebook untuk tidak bersahabat dengan Australia hari ini, dengan memutus jasa informasi esensial tentang kesehatan dan layanan darurat, adalah arogan dan mengecewakan,” tulis Morrison di Facebook. Facebook kemudian menyatakan bahwa telah terjadi kesalahan, lalu memulihkannya.

Dave Sharma, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Australia dan Ketua Komisi Bersama Keuangan Dewan, menilai platform-platform digital kini berjuang mempertahankan dominasi di pasar dan mempertahankan monopolinya. Dalam artikelnya di Asia Nikkei, Sharma memang mengakui bahwa perusahaan teknologi raksasa dan disrupsi yang diakibatkannya telah banyak membebaskan manusia. Masyarakat kini dapat berkomunikasi dengan sahabat dan keluarga di seluruh dunia secara gratis. Masyarakat juga dapat menyebarkan informasi ketika pemerintah yang zalim berusaha menyensor berita.

Namun, kata dia, perusahaan itu juga menangguk banyak untung dari ketidakseimbangan kekuatan di pasar. Australia, menurut Sharma, berusaha menyeimbangkan posisi media tradisional dan perusahaan teknologi itu melalui undang-undang baru ini. Aturan baru ini akan memastikan bahwa platform digital membuat kesepakatan komersial dengan media massa. “Bila kesepakatan komersial tak dicapai, kami akan menerapkan kewajiban itu (sesuai dengan undang-undang tersebut),” tulis Sharma. Di bawah undang-undang baru, setiap bisnis media dengan pendapatan senilai Rp 2,1 miliar atau lebih setahun dapat meminta agar platform itu membayar konten beritanya.

Facebook berusaha menegosiasikan aturan ini. Setelah perundingan berjam-jam antara pemerintah dan media sosial itu, termasuk antara Menteri Keuangan Josh Frydenberg dan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, kesepakatan dicapai pada 22 Februari lalu. Di antaranya, pemerintah akan memberi kelonggaran waktu selama sebulan lagi sejak undang-undang terbit.

Selain itu, sebelum membuat keputusan berdasarkan undang-undang baru nanti, menteri keuangan harus mempertimbangkan lebih dulu apakah kesepakatan antara perusahaan tersebut dan bisnis media sudah tercapai. Senat kemudian mengesahkan rancangan undang-undang itu pada 23 Februari lalu. “Kami puas bahwa pemerintah Australia telah setuju membuat sejumlah perubahan (pada undang-undang itu),” demikian pernyataan Facebook.

Pada Jumat, 26 Februari lalu, Facebook mengumumkan bahwa mereka telah memulai perundingan dengan perusahaan media independen Private Media, Schwartz Media, dan Solstice Media. “Kontrak ini nanti akan melahirkan jurnalisme premium baru, termasuk konten yang sebelumnya berbayar, di Facebook,” kata perusahaan itu.

Direktur Eksekutif Schwartz Media Rebecca Costello mengatakan kontrak itu akan menolong perusahaannya untuk terus menghasilkan jurnalisme independen. “Tak ada yang lebih penting daripada keberagaman suara di pers Australia,” ucap Costello.

Belum jelas berapa yang Facebook bayar kepada mereka. James Meese, peneliti media di RMIT University, memperkirakan jumlahnya sama dengan yang kini dibayarkan Facebook kepada produsen berita di negara lain yang menggunakan Facebook News, fitur berita baru di Facebook yang kini mulai tersedia di Inggris. “Mereka berencana memperkenalkan Facebook News di sini,” kata Meese, seperti dikutip ABC.

Tekanan kepada perusahaan digital raksasa juga terjadi di berbagai negara. Desember tahun lalu, Gugus Tugas Pasar Digital Inggris menyatakan Facebook dan Google harus membayar konten berita. Panel ahli dari berbagai organisasi, seperti regulator penyiaran Ofcom serta Otoritas Pasar dan Persaingan Usaha (CMA), merekomendasikan pembentukan Unit Pasar Digital, pengawas pasar digital yang punya wewenang menjatuhkan denda hingga 10 persen dari pendapatan global kepada perusahaan digital besar.

“Ini untuk memastikan bahwa Inggris dapat terus mengembangkan sektor teknologi, yang konsumen dan bisnisnya bergantung pada perusahaan teknologi raksasa seperti Google dan Facebook, diperlakukan secara adil dan kompetitor harus menghadapi ranah permainan yang sama,” ujar Ketua CMA Andrea Coscelli, seperti dikutip Business Insider.

Uni Eropa juga berencana mengikuti langkah Australia melalui Undang-Undang Jasa dan Pasar Digital. Otoritas Persaingan Usaha Prancis bahkan sudah memelopori upaya tersebut. Prancis adalah negara pertama di Uni Eropa yang menerapkan aturan hak cipta baru pada 2019 yang mewajibkan Google dan Facebook membayar konten berita. Namun kedua perusahaan itu menolak. Sengketa itu kini masih berlanjut.

Awal bulan ini, Menteri Keuangan Kanada Steven Guilbeault berjanji membuat undang-undang baru yang mirip dengan Australia. Ini terjadi setelah muncul kampanye nasional yang menuntut reformasi atas aturan konten digital. Kampanye ini didukung oleh 105 surat kabar lokal, yang menampilkan halaman kosong di sampulnya sebagai tanda protes. “Berita itu tidak gratis dan tak akan pernah gratis,” kata Guilbeault.

Dave Sharma, anggota DPR Australia, menilai era “tanpa hukum” telah berakhir. “Perusahaan teknologi besar harus dewasa dan mengambil tanggung jawab yang seharusnya menyertai kekuasaan yang besar.”

IWAN KURNIAWAN (CNET, ABC, BUSINESS INSIDER, BBC)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus