Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH Christopher Nolan memberondong penonton dengan karya-karya epik dan mencetak box office, kali ini sutradara berumur 50 tahun itu menjebloskan kita ke labirin yang rumit: Tenet. Film ini meramu sejumlah ide besar yang fantastis: perang dunia ketiga, kiamat, dan perjalanan lintas waktu. Itu pula yang sekilas mengingatkan kita kepada mahakarya Nolan seperti Dunkirk (2017)—untuk adegan aksinya yang heroik. Juga Interstellar (2017), yang menjadi semacam mata kuliah fisika berbobot enam satuan kredit semester.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti halnya Interstellar, Tenet juga salah satu karya Nolan yang pretensius. Sama-sama membikin kepala mumet karena memercikkan banyak pertanyaan soal alur, sebab-akibat, dan plot yang tak hanya maju-mundur, tapi juga jungkir-balik. Namun jangan harap ada satu saja adegan atau narasi di dalam film yang bisa menjelaskan urutan peristiwa secara linear. Sebab, film ini sejak awal memaksa pikiran kita untuk berlari mengikuti perjalanan para tokoh dengan bumbu diksi rumit yang lebih baik dipikirkan belakangan saja bila mau menikmati filmnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Robert Pattinson dalam Tenet. imdb
Karena ini film spionase, sudah selayaknya si tokoh utama memiliki nama lapangan yang unik. Di Tenet, tokoh itu berjulukan The Protagonist, yang diperankan John David Washington. John David menjadi pilihan utama setelah Nolan terpesona menonton akting putra aktor senior Denzel Washington itu dalam BlacKkKlansman garapan Spike Lee. Tak lama setelah BlacKkKlansman tayang perdana di Cannes 2018, Nolan, dengan gaya khasnya, menyebut Lee berhasil mengangkat John David ke stratosfer.
Alkisah, Protagonist adalah seorang agen di organisasi rahasia. Misinya samar: ia hanya diminta untuk menjalani ujian yang tak semua orang bisa melewatinya. Lalu segera saja serangkaian teori putar-balik waktu bermunculan dan mesti kita telan. Tentu saja paradoks waktu kembali dibahas. Seperti saat mengumpamakan diri kita kembali ke masa lampau dan mengisengi kakek kita; akankah perbuatan itu ada pengaruhnya di masa depan? Atau perbuatan itu tak bakal berdampak apa-apa?
Bermula di sebuah laboratorium, “pelajaran fisika” pertama untuk Protagonist (dan kita penonton) diajarkan secara sederhana oleh Barbara (Clemence Poesy) lewat permainan peluru yang indah. Pelajaran berikutnya adalah sejarah dan politik. Lagi-lagi kita akan digurui soal Soviet serta kemungkinan perang dunia ketiga yang alih-alih mencemaskan malah membosankan. Namun penyebab perang dunia ketiga ini masih jadi misteri yang mesti ditelusuri oleh Protagonist.
Bersama kawan senasib seperjuangannya, Neil (Robert Pattinson yang tampil santuy di sini), perjalanan Protagonist mulai mengarah pada si antagonis Andrei Sator (Kenneth Branagh). Untuk lebih dekat ke Sator, Protagonist mendekati istri pedagang senjata asal Rusia itu, Kat (Elizabeth Debickie). Terang saja Sator geram. Karakter psikopat dan sadistisnya menguar saat ia mengancam bakal memutilasi Protagonist karena sudah lancang memepet istrinya. Urusan domestik itu berkelindan dengan tugas Protagonist selanjutnya: mencegah kiamat yang sudah dipersiapkan Sator.
Tentu akan ada misi klise yang menjengkelkan dalam Tenet. Keberadaan Kat sebagai tokoh utama perempuan di sini hanyalah pelengkap dari aksi para lelaki yang dikomandoi Sator, juga Protagonist. Bahkan keberadaannya tak cukup kuat memantik sisi drama dari Tenet, karena relasinya dengan Protagonist pun tak terlihat meyakinkan. Tak ada percikan emosi di antara keduanya. Tak ada juga gambaran keintiman hubungan Kat dengan anaknya, yang dipisahkan darinya oleh sang suami. Ini membuat jalinan cerita menjadi hambar, padahal sejatinya bisa mengembuskan sisi humanis di ruang-ruang Tenet yang padat teori. Alhasil, upaya Protagonist dalam menyelamatkan Kat pun jadi terasa hampa.
Nah, karena Tenet adalah film soal perjalanan lintas waktu, kita akan mendapati “reka ulang” sejumlah adegan. Pada awalnya memang membingungkan. Misalnya saat di salah satu adegan ada tokoh yang tampak sekarat, tapi pada detik berikutnya ia sudah terlihat bugar lagi dan sedang mengobrol santai. Sekali lagi, tak akan ada penjelasan soal kilas balik itu. Maka lebih baik ikuti saja lompatan perjalanan waktunya, sembari menikmati adegan-adegan aksi tanpa komputerisasi. Kemewahan itu salah satunya terlihat saat adegan ratusan batangan emas dibuang di bandar udara. Adegan yang representatif mengingat Warner Bros mengucurkan US$ 200 juta untuk film ini.
(kedua dari kiri) Christoper Nolan dalam proses pembuatan film Tenet. imdb
Film yang kompleks dengan bau sci-fi dan tamasya antarwaktu sudah menjadi kekhasan Nolan. Sejumlah filmnya berkutat di situ, seperti Inception (2010), Transcendence (2014), dan Interstellar (2014), yang memeras pikiran kita dengan konsep-konsep filosofis soal waktu, momentum, dan kehidupan. Dalam Tenet, kita kembali berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan soal waktu. Apakah sejarah bisa ditulis ulang atau kita hanya bisa mencegah suatu peristiwa yang terjadi di masa sekarang? Bila pun dapat dituliskan kembali, masa depan seperti apa yang akan kita pilih?
Walau sinematografinya ciamik, sayangnya di sisi lain Nolan kurang menaruh perhatian pada urusan emosi karakternya. Lihat saja penggambaran Andrei Sator sebagai antagonis yang terasa kurang gereget dan komikal. Bangunan karakternya pun membosankan sebagai seorang penjahat. Tajir melintir, punya bisnis haram, dingin, dan ya, dia seorang Rusia. Tak ada kisi-kisi yang menjelaskan soal sosok Andrei Sator ini. Dan itu, sayangnya, membuat karakter Sator jatuh menjadi “penjahat kebanyakan”.
Bahkan pesona John David yang tak tertahankan dalam BlacKkKlansman seperti menguap dalam Tenet. Ia menjadi sebatas senjata organisasi yang bergerak secara mekanis dan tak mempunyai hasrat apa pun kecuali menuntaskan misi yang sudah disetel di otaknya. Belum lagi karakter anak Andrei Sator dengan Kat yang menjadi mata rantai kacaunya hubungan pasangan suami-istri itu. Sampai film berdurasi 2,5 jam ini rampung, tak ada adegan yang memperkuat jalinan perasaan dalam keluarga itu. Ini berbeda jauh dengan bangunan emosi dalam Interstellar yang begitu menyentuh dan mengharu-biru.
Menonton Tenet di bioskop sebenarnya cukup menegangkan karena situasi pandemi. Tapi membayangkan Tenet disimak di layar telepon seluer tampaknya bakal tak mengenakkan. Selain soal pengalaman audio yang layak disimak di bioskop, visual Tenet pastinya lebih mengena bila kita menyerapnya di layar lebar. Apalagi terlepas dari ruwetnya plot Tenet, tak bisa disangkal bahwa film ini segar karena menyuguhkan spionase dan adegan aksi yang keren dari Nolan.
Kalimat Barbara kepada Protagonist di laboratorium menyampaikan pesan Nolan kepada kita: jangan mencoba untuk memahaminya, tapi rasakanlah saja.
ISMA SAVITRI
TENET
Sutradara & Naskah:
Christopher Nolan
Pemain:
John David Washington, Robert Pattinson, Kenneth Branagh
Durasi:
150 menit
Produksi:
Warner Bros
Rilis di Indonesia:
10 Februari 2021
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo