Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Biyang Bulan Tak Lekang oleh Zaman

Ayu Bulantrisna Djelantik mendidik murid-muridnya bukan untuk berkarya, melainkan berdaya. Seorang aktivis yang gigih dalam ranah budaya, ilmu, dan sosial.

27 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Maestro Tari Legong Bulantrisna Djelantik di Jakarta, April 2018. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Maestro tari Indonesia, Ayu Bulantrisna Djelantik, berpulang pada 24 Februari lalu.

  • Bulantrisna mendidik muridnya menjadi manusia berdaya guna melalui tari.

  • Menurut muridnya, ketika berkarya tari, Bulantrisna layaknya sedang membuat karya ilmiah.

SEORANG gadis 20 tahun—mungil, berkulit cerah, cantik sangat menawan—berdiri di depan 40-an mahasiswa, yang rata-rata lebih tua darinya. Sesekali ia memberi instruksi untuk berdiri rendah, tubuh meliuk, tangan merentang. Sesekali ia mendemonstrasikan nyledét (kelebatan mata), senyum, merongos, berputar cepat, dan berdiri lagi, seperti instruksinya. Dalam waktu yang tak sampai lima detik itu, saya, salah seorang mahasiswanya, seperti melihat makhluk ajaib, bidadari mempesona, mengejutkan. Ia adalah Ayu Bulantrisna Djelantik sewaktu mengajar praktik tari Bali di Konservatori Tari atau Kori tingkat akademi yang baru dibuka di Gedung Merdeka pada 1968, yang kemudian menjadi ASTI, STSI, dan kini ISBI alias Institut Seni Budaya Bandung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harapan saya berkenalan dan diajari Bulan lebih jauh tak tercapai. Hanya beberapa kali ia mengajar saya. Ia lebih sibuk dengan kuliahnya sebagai mahasiswa kedokteran Universitas Padjadjaran. Kami baru bertemu lagi pada 1970-an, terus berteman, hingga kemudian intensif bekerja bareng mengurus Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) pada 1997-2001.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bulan memegang posisi bendahara di MSPI. Tapi, dalam mengerjakan program apa pun, kami melakukannya bersama-sama, seprofesional mungkin, walau kami semua volunter. Prinsip dan gaya bekerja Bulan amat berbeda dengan saya (sebagai ketua bidang penelitian dan pelatihan). Bulan ingin menyelesaikan segala pekerjaan secepat mungkin. Sedangkan saya lebih mementingkan kecermatan, kehati-hatian. Berbeda pula dengan pengurus lain, Taufik Rahzen (bidang publikasi), yang futuristik, inovatif. Kami banyak sekali berdebat, bahkan bertengkar keras dengan argumen masing-masing. Tapi tak pernah satu pun program berujung buntu, dan hingga akhir, hingga kini, kami tak pernah bermusuhan.

Perbedaan kami justru yang menjadikan kerja sama produktif, menghasilkan yang bernilai kompleks karena kesaling-isian. Salah satu acara MSPI yang membanggakan adalah festival-seminar pada 1999 di Tirta Gangga, Bali. Saat itu Bulan ketua pelaksananya. Lebih dari 300 seniman dan akademikus—termasuk Umar Kayam, RM Soedarsono, Rendra, Sardono, Garin Nugroho, Nano Riantiarno, Puang Saidi, Gedong Bagus Oka, dan Mustakim Biawan—berkumpul bersama selama seminggu untuk berdiskusi; berbagi pengalaman, penemuan, persepsi; dan mempertunjukkan karya. Keberhasilan itu tercapai sebagian besar berkat peran Bulan—tidak hanya lantaran ia adalah bagian dari keluarga pemilik situs Tirta Gangga, tapi juga karena sosoknya dalam jaringan luas yang membuat kami mendapat dukungan pelbagai pihak.

Publik percaya kepadanya mungkin karena warisan darah birunya (ia cucu Raja Karangasem, Bali), nalar logis dari ibunya yang asal Eropa, entahlah. Yang jelas, ia memiliki jaringan luas papan atas dari pelbagai kalangan. Tapi bukan hanya itu. Kepemilikan bakat artistik disertai disiplin keilmuan dengan etos moral-sosial yang tinggi adalah hal yang khusus dimiliki Bulan. Semangat dan sikap kerjanya yang keras, disertai dasar kasih yang lebih ingin memberi ketimbang mendapat, lebih peduli terhadap kepentingan orang banyak dibanding dirinya, telah pula ditunjukkan oleh ayahnya, A.A.M. Djelantik, yang merupakan dokter dan juga budayawan.

Bulan adalah seorang aktivis gigih dalam ketiga ranah itu: budaya, ilmu, dan sosial. Walau dia, tentu, punya pilihan politik, tak sedikit pun saya pernah melihatnya berpropaganda politis. Ia peka terhadap situasi politik, tapi tujuan pergerakannya adalah demi kepentingan kemanusiaan secara umum, tak pandang kelompok. Pendirian Jaringan Relawan Independen oleh Bulan awalnya didorong kebutuhan akan pelayanan kesehatan para mahasiswa demonstran di Senayan yang melawan rezim Orde Baru pada 1998. Ia juga mendirikan Yayasan Suryakanti untuk mengembangkan pelayanan pendidikan anak, terutama yang berkebutuhan khusus—selain lewat keterlibatannya dalam pelbagai lembaga kesehatan internasional, seperti Badan Kesehatan Dunia (WHO). Sebagai dokter spesialis telinga-hidung-tenggorokan, Bulan juga mengajar di Akademi Audiologi Indonesia (Yayasan Bina Wicara) di Jakarta, hingga saatnya ia harus berobat intensif di luar negeri untuk melawan kanker pankreasnya.

Sebagai penari yang-dilahirkan, pada usia delapan tahun Bulan sudah mulai malang-melintang. Sewaktu berumur 12 tahun, ia diundang menari di Istana Negara, konon atas permintaan Presiden Sukarno sendiri.

Dalam rentang waktu sekitar 60 tahun itu, terdapat sederet panjang buah kerja keseniannya, dari menari, menyusun koreografi baru, mengonservasi tarian lama, mengajar, hingga mendirikan sanggar atau studio.

Spesialisasi atau minat utamanya dalam tari Bali adalah tari legong, yaitu jenis tarian perempuan dramatik yang tidak melakon (drama linear). Tapi kerja Bulan tidak hanya ada dalam tari Bali. Pada pertengahan 1970-an, ia telah ikut menyusun sendratari Arjuna Wiwaha, gabungan gaya tari Sunda, Jawa, dan Bali, di Bandung. Ia pernah berkolaborasi dengan penari-koreografer Jawa, Maruti (yang “serius”), dengan Didik Nini Thowok (yang “melucu”), hingga meramu joget bumbung—semacam ronggeng—dengan tari poco-poco dan dangdut (yang “hiburan”). Bulan memang penari-koreografer yang sangat terbuka untuk menerima dan bekerja sama dengan pelbagai gaya, pelbagai etnis, dan pelbagai generasi.

Karena niatnya bekerja demi-orang-banyak itu, dan sifatnya yang keras-tapi-tidak-ngotot, Bulan merupakan figur yang disukai pelbagai pihak, tanpa banyak kontroversi. Sebagai guru, ia memang tak memiliki banyak jejak di perguruan seni formal seperti di SMK (tingkat sekolah menengah) dan STSI-ISI-ISBI (universitas). Tapi, di pendidikan sanggarnya, Bengkel Tari Ayu Bulan, di Jakarta dan Bandung, Bulan, yang biasa dipanggil Biyang (Ibu), tidak hanya dilihat murid-muridnya sebagai guru yang mengajar teknik tari dengan baik. Ia lebih dalam dan luas dari itu, yakni mendidik muridnya menjadi “manusia-berdaya-guna” melalui tari. Salah seorang murid utamanya yang juga direktur program bengkel tarinya di Bandung, Keni Soeriaatmadja, mengatakan, “Biyang mendidik murid-muridnya bukan untuk berkarya. Ia menumbuhkan kami untuk berdaya.”

Tapi yang menjadikannya penari-koreografer-peneliti-pendidik tari yang sangat spesial adalah dukungan milieu berbeda-beda yang saling menguatkan: ningrat (etika), kedokteran (Barat, intelektual), dan kesenian (estetis). “‘Ayo, senyum dengan matamu!’ Berkali-kali ia berkeliling ruang latihan, memandangi mata kami satu-satu, dalam-dalam, untuk memperhatikan sebening apa senyum yang terpancar dari kedua bola mata. Ah, Biyang,” kata Keni dengan syahdu, berlinang, merenungi kenangannya.

Pada 2019, Bulan masih berkeinginan membuat karya tari baru: Gayatri. Mungkin gayanya akan seperti legong, drama tari perempuan yang tidak verbal-linear itu. Ia sangat serius untuk mendapatkan data sejarah “yang benar”. Saya dan Goenawan Mohamad pernah diajak berdiskusi tentang itu, di samping para ahli sejarah lain. Maka bisa dimengerti jika ada muridnya yang mengatakan, “Ketika Biyang berkarya tari, ia layaknya sedang membuat karya ilmiah.”

Tapi Bulan juga orang yang menyenangi suasana romantis. Hanya, ia ditakdirkan tak mudah mendapatkan suasana idealnya itu yang “lestari”, long lasting. Ia menikah beberapa kali. Pernikahannya yang terakhir ia rasa sebagai penemuan jodoh ideal. Sayangnya, situasi ideal itu tak berlangsung lama. Ia harus meninggalkannya selama-lamanya pada Rabu, 24 Februari lalu.

Bulan adalah bangsawan Bali, Hindu, yang kemudian menjadi muslim—mungkin sejak pernikahan yang pertama, yang memberinya dua putra dan satu putri. Untuk istirahatnya yang terakhir, juga atas keinginannya, ia dimakamkan dengan cara Islam, di kompleks permakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat. Semoga, dari pilihan itu, kini engkau, Bulan, berada dalam situasi yang sempurna-ideal.

ENDO SUANDA, ETNOMUSIKOLOG, TINGGAL DI BANDUNG
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus