Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Korban Pertama Setelah Pasar Tumbang

Penerbangan dan pariwisata menjadi industri yang paling terpukul wabah Covid-19. Berbagai kebijakan penyelamatan kini disiapkan.

21 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pesawat Garuda Indonesia di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, 2 Maret 2020./Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Maskapai nasional menyiapkan skenario penyelamatan keuangan perusahaan.

  • Malapetaka dialami sektor-sektor industri yang terkait dengan bisnis perjalanan.

  • Pelaku usaha pariwisata dan perhotelan menuntut pelonggaran kebijakan pemerintah.

KEPUTUSAN Kementerian Perhubungan pada Kamis, 19 Maret lalu, sedikit membuat Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra lega. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tetap membuka jalur penerbangan internasional, kecuali dari dan menuju Cina, meski Kementerian Luar Negeri membatasi lalu lintas orang seiring dengan meluasnya pandemi Covid-19.

Artinya, Garuda tetap bisa terbang bolak-balik ke Australia dan Belanda. Bukan semata untuk kepentingan bisnis, menurut Irfan, penerbangan internasional itu diperlukan lantaran maskapainya juga harus memfasilitasi pergerakan warga negara Indonesia yang akan kembali dari dua negara tersebut. “Juga warga negara Belanda dan Australia yang akan kembali ke negaranya,” kata Irfan, Jumat, 20 Maret lalu.

Garuda ikut tertekan oleh dampak berantai virus corona. Pukulan makin kuat dirasakan perusahaan penerbangan milik negara ini sejak akhir Februari lalu, ketika Arab Saudi menutup akses umrah sepanjang tahun ini. Pada situasi normal, Garuda bisa terbang empat kali ke Tanah Suci. Setelah pembatasan tersebut, perseroan terpaksa tetap menerbangkan armadanya dengan kursi kosong untuk menjemput penumpang yang kadung pergi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mencari solusi masalah itu lebih sulit lagi. Rencana Garuda membuka rute internasional baru yang sempat bergulir setelah adanya kebijakan pemerintah Saudi kini kian sulit direalisasi seiring dengan pengumuman Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu, 11 Maret lalu, bahwa merebaknya Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi. Hingga Rabu, 18 Maret, pandemi corona telah menyerang 159 negara.

Kondisi ini makin menekan kinerja perseroan yang, seperti maskapai lain di dunia, tengah menghadapi turunnya tingkat keterisian kursi bahkan sebelum wabah corona merebak. Namun Irfan memastikan Garuda belum akan menurunkan frekuensi penerbangan domestik.

Akhir Januari lalu, Irfan sempat mengutarakan niatnya merampingkan utang Garuda yang akan jatuh tempo. Opsi refinancing pun dibuka, termasuk dengan rencana menyewa negosiator yang akan berkomunikasi dengan calon kreditor untuk mendapatkan pinjaman paling murah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum juga skenario itu terlaksana, masalah baru muncul di pasar finansial. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah sejak akhir Februari lalu kian menjadi-jadi. Pada Jumat, 19 Maret lalu, rupiah kembali anjlok menjadi 16.273 per dolar Amerika Serikat, terendah sejak krisis keuangan 1998. Kini Irfan menyiapkan opsi baru: meminta penjadwalan ulang pembayaran tunggakan kepada lessor. “Akan kami ajukan rescheduling,” tutur Irfan tanpa bersedia menyebutkan detail rencana ini.

Industri penerbangan dunia memang berdarah cukup parah akibat pandemi corona. Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA) menyebut masa ini sebagai malapetaka.

Direktur Jenderal dan CEO IATA Alexandre de Juniac menyebutkan dampak Covid-19 terhadap industri penerbangan jauh lebih buruk dan luas dibanding tragedi 9 September 2001, wabah SARS pada 2003, dan krisis keuangan global 2008. Lalu lintas udara Eropa, misalnya, anjlok ke titik terendah sepanjang sejarah. “Beberapa pasar (penerbangan) turun 90 persen dibanding tahun lalu,” tutur Juniac, Kamis, 19 Maret lalu. “Jutaan pekerja dipertaruhkan. Maskapai berjuang untuk bertahan hidup.”

Direktur Utama PT Garuda Indonesia Irfan Setiaputra/ ANTARA/Sigid Kurniawan

Situasi ini mengkonfirmasi laporan lembaga pemeringkat Moody’s yang menyatakan wabah corona telah memporak-porandakan industri yang digerakkan oleh perjalanan (travel) hingga mengganggu rantai pasokan. Bisnis perhotelan, restoran, penerbangan, dan pengiriman adalah sektor yang paling terkena dampak lantaran sangat bergantung pada pergerakan orang dan perdagangan.

Di Indonesia, penurunan jumlah penumpang akibat pembatalan perjalanan dan pemangkasan frekuensi penerbangan tampak di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Otoritas bandara utama tersebut mencatat tingkat pergerakan orang menyusut drastis sejak awal tahun.

Meningkatnya dampak buruk corona ini menjadi pembahasan utama dalam pertemuan yang digelar Kementerian Pariwisata pada 19 Maret lalu. Belasan asosiasi, seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia, serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia, bergabung dengan perwakilan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA). Mereka menuntut pemerintah melonggarkan kebijakan seiring dengan ambruknya sektor pariwisata.

Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mengatakan okupansi hotel saat ini rata-rata hanya 20-30 persen, tak mungkin cukup untuk menutup biaya operasional yang membutuhkan tingkat keterisian kamar minimal 60 persen. “Banyak perjalanan dibatalkan,” ucapnya.

Opsi menutup defisit dari acara pertemuan, termasuk yang diadakan pemerintah, kini juga mustahil diambil. Kebijakan pembatasan aktivitas dan bekerja dari rumah (work from home) membunuh harapan pebisnis sektor ini.

Maka kalangan industri meminta pemerintah menggulirkan stimulus, seperti pelonggaran pembayaran pajak penghasilan pasal 21, pasal 23, dan pasal 25. Seperti yang disiapkan Garuda, mereka juga mengusulkan pemberian fasilitas “cuti” dari kewajiban membayar cicilan kredit. “Karena memang kondisinya tidak bisa mencicil. Gagal bayar,” Maulana menambahkan.

Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata Fajar Utomo menilai usul pelaku usaha pariwisata secara umum memang dibutuhkan dalam kondisi saat ini. Dia memastikan kementeriannya telah membawa usul tersebut ke pembahasan di tingkat menteri. “Intinya, kami mengkompilasi masukan dari industri pariwisata,” ujarnya.

RETNO SULISTYOWATI, FRANCISCA CHRISTY ROSANA, YOHANES PASKALIS
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus