Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Castro belajar melihat cina

Sesetia-setianya castro pada marxisme, tanpa dukungan soviet, akhirnya ia membuka kerja sama dengan cina, dan mau menerima dolar AS.

4 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI pertemuan dua bersaudara yang nasibnya berbeda, demikianlah pertemuan Presiden RRC Jiang Zemin dengan Presiden Kuba Fidel Castro, Senin pekan lalu. Sejak Fidel Castro memenangkan revolusi tahun 1959, belum pernah ada pemimpin Cina yang datang ke Kuba, meski dua negara ini sama-sama berpaham komunisme. Dan meski secara formal RRC dan Kuba masih menganut komunisme, pertemuan Castro dan Jiang pekan lalu bagaikan pertemuan antara si mujur dan si malang. Memang, sementara mekanisme ekonomi pasar di Cina diubah seperti laiknya di negeri kapitalis dalam empat belas tahun terakhir ini yang mengubah Cina menjadi salah satu calon negara dengan ekonomi termaju di Asia Kuba justru makin terpuruk karena kemiskinannya. Fidel Castro tampaknya ketinggalan kereta, selama ini lebih memilih Marxisme daripada reformasi ekonomi, tampaknya. Baru belakangan ini Fidel Castro mulai menengok ke Cina Daratan. Hubungan Kuba-Cina sebelumnya memang tidak pernah berlangsung dengan indah, terutama ketika masih ada Uni Soviet rival utama RRC dalam memperebutkan posisi sebagai pemimpin sosialisme di dunia. Soviet dan sekutunya di Eropa Timur mengisi 85% perdagangan internasional Kuba, dengan harga subsidi. Bubarnya Uni Soviet membuat Kuba mau tak mau harus mencari komoditi bahan makanannya dengan cara membayar tunai di pasar internasional. Dulu daging kalengan, minyak, biji-bijian (dari Soviet), dan susu (banyak bergantung pada Jerman Timur) diperoleh Kuba dengan cara barter dengan hasil ekspornya, antara lain gula. Masih lumayan bagi Kuba, Boris Yeltsin tak sepenuhnya meninggalkannya. Rusia masih bisa dan mau mengirimkan 1,8 ton minyak yang ditukar dengan gula. Kekurangan kebutuhan minyak Kuba, sekitar 4,2 ton, didatangkan dari Iran, yang masih bersedia menerima pembayaran dalam bentuk gula dan jasa pengobatan. Sesuai dengan program keprihatinan nasional (disebut Periode Khusus di Masa Damai) kebutuhan minyak Kuba memang telah dipenggal dari belasan juta ton menjadi tinggal enam juta ton setahun. Maka, kendaraan umum praktis terhenti karena tidak ada pasokan minyak embargo ekonomi dari AS memperparah keadaan ini. Rakyat melakukan perjalanan antarkota dengan menumpang lori pengangkut tebu, sedangkan transpotasi dalam kota warga Kuba mengandalkan sepeda, yang diimpor dari RRC. Tak hanya itu. Warga Havana kemudian juga harus bersedia hidup terbatas dari jatah pemerintah. Setiap bulan tiap kepala di Kuba memperoleh jatah 2,7 kg beras dan gula, 225 gram kacang-kacangan, seekor ayam, dan 225 gram daging, plus buah- buahan sesuai dengan musimnya. Tentu, sesetia-setianya Castro pada Marxisme, tanpa bantuan ekonomi yang memadai, apalagi melihat rekan komunisnya pun berani ''menyimpang'', akhirnya ia pun mencoba belajar sampai ke Cina. Beberapa bulan silam, Carlos Lage, anggota Politbiro Partai Komunis Kuba yang dipercayai mengurus reformasi ekonomi, dikirimnya ke Beijing. Di Cina, Lage tak hanya belajar tentang reformasi, tapi juga meneken kontrak kerja sama. Sambutan Jiang Zemin pun waktu itu positif. Itu sebabnya, orang kedua sesudah Deng di Cina ini lalu mampir ke Havana setelah selesai menghadiri pertemuan APEC di Seattle, AS. Kunjungan Lage ke Cina rupanya tak sia-sia. Perdagangan bilateral Cina-Kuba tahun ini, sampai Oktober lalu, bernilai US$ 420 juta. Di samping mengirimkan sepeda, Cina pun mengapalkan makanan, suku cadang, dan bahan kimia. Dan malangnya, Kuba belum bisa membalas kiriman itu, karena begitu buruknya perekonomian: Kuba belum berhasil mengirimkan 700 ribu ton gula sebagai imbalan yang dijanjikannya. Kunjungan Jiang ke Havana pekan lalu tentunya bukan untuk menagih gula Kuba. Konon, justru Jiang memberikan kelonggaran pada Castro agar tak cepat-cepat mengirimkan gulanya. Yang diperlukan Kuba sebenarnya bukan cuma reformasi ekonomi, tapi juga perombakan pola kepemimpinannya. Kediktatoran yang dipertahankan Fidel Castro dan gerakan anti Amerika yang dikibarkannya sudah makin kehilangan makna. Industri pariwisata, yang bersama bioteknologi diandalkan sebagai penyedot devisa, pada akhirnya harus menerima pembayaran dengan dolar AS. Padahal, sebelumnya, Fidel Castro menyatakan dolar Amerika haram bagi Kuba. Ini menyebabkan bantal ideologi, yang bisa menjadi kompensasi dari kurang tersedianya kebutuhan hidup, kempis. Rakyat kuba segera saja merasakan betapa miskinnya mereka. Untunglah, Castro tak terus mempertahankan sikapnya yang keras kepala. Ia membolehkan warga Kuba yang diperantauan mengirimkan uang ke saudaranya di kampung halaman. ''Semua itu merupakan langkah positif. Kita tidak bisa hidup tanpa mau bekerja sama dengan tetangga,'' kata Carlos Gonzales, 63 tahun, seorang veteran yang dulu ikut berperang bersama Fidel Castro. Gonzales, seperti juga rekan seperjuangan lainnya, belakangan sudah makin meragukan kepemimpinan Fidel Castro. Mereka melihat pemerintah kurang mampu menemukan alternatif untuk menyelesaikan krisis ekonomi di dalam negeri. Turisme, yang mendatangkan ratusan juta dolar per tahun, bagi mereka justru telah merusak moral, karena pelacuran telah dijadikan daya tarik utamanya. Dengan tiga lembar seratusan dolar, seseorang bisa membeli tiket pesawat pulang-pergi Kota Meksiko-Havana, tinggal di hotel selama seminggu, lengkap dengan teman tidur. Kepada wartawan biro foto Gamma, Prancis, yang mendatanginya di Diez de Octubre kawasan hunian yang terkenal di Havana Gonzales tak bisa menjamin dirinya akan tetap di Kuba dalam waktu tak lama lagi. Kemungkinan terbesar tujuan Gonzales adalah Miami, Florida, AS. Di Little Havana, kawasan hunian orang Kuba di Miami, sudah ada Alpha 66, kelompok para militer warga Kuba yang sudah berdiri sejak tahun 1961. Setiap Minggu mereka melakukan latihan serangan komando secara rutin, sebagai bagian dari program latihan militer selama empat bulan. Anggota Alpha 66 sekarang sudah 2.000 orang. ''Tujuan kami sederhana, merontokkan Fidel Castro dengan cara apa pun,'' kata Andres Nazario Sargen, 65 tahun, salah seorang pemimpinnya. Kuba sebenarnya sejak tahun 1989 (ketika tak ada lagi perlindungan dari Soviet) terancam perang saudara. Bahaya itu diketahui betul oleh Eloy Gutierrez Menoyo, 67 tahun, salah seorang penggerak oposisi di Havana yang kemudian ikut mendirikan Alpha 66 di Miami. Ia di kemudian hari menjaga jarak dengan barisan yang berubah bersikap keras itu dan mendirikan Cambio Cubano, yang lebih lunak. Karena tindakannya itu, Eloy Menoyo dianggap mau berkompromi dengan pemerintah Kuba. ''Perang justru akan memberi AS dan PBB kesempatan untuk campur tangan. Kalau sudah begitu, Kuba sebagai negara akan lenyap selama satu abad,'' kata Elyo, memberikan alasan kenapa ia mau bernegosiasi dengan Fidel Castro. Kabarnya, Fidel Castro juga menaruh harapan padanya. ''Pertemuan dengannya tinggal menunggu waktu dalam beberapa bulan ini. Lebih baik bicara dengan setan daripada melakukan perang saudara. Dan saya akan bilang pada Castro agar ia mengungsi saja ke Prancis.'' Mungkin, siapa tahu, Castro lebih suka ke Beijing.Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum