Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Gaza-yerikho terancam gagal

Tewasnya beberapa pentolan Hamas oleh tentara Israel menimbulkan kerusuhan di Gaza. rabin menjadi ragu menepati jadwal perdamaian. Arafat tetap berkeras akan ke yerikho.

4 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Jalur Gaza, satu demi satu pemuda Palestina tewas. Jumat pekan lalu, Khaled al-Zeer, 24 tahun, salah satu komandan sayap militer gerakan perlawanan Islam, Hamas, dibunuh oleh sejumlah polisi Israel berpakaian preman. Pihak Israel mengatakan, Zeer adalah pembunuh sedikitnya tiga tentara Israel dan sejumlah orang Arab pro-Israel antara Juli dan September silam. Pada hari yang sama, di tempat lain, Salem al-Sabah pun tewas. Konon ia terbukti telah membunuh seorang rabi Israel dan sejumlah warga Palestina yang menjadi kolaborator Israel di awal bulan ini. Dua hari sebelumnya Imad Aqel, komandan sayap militer Hamas, pun tewas. Apa sebenarnya yang terjadi menjelang pertengahan Desember ini, saat yang sudah disepakati oleh PLO dan Israel sebagai awal berjalannya pemerintahan otonomi PLO, dan awal penarikan mundur tentara Israel dari di Gaza dan Kota Yerikho? Melihat korban-korban, yakni para pimpinan sayap militer Hamas, pembunuhan ini mengesankan direncanakan. Tentara Israel seperti tak ingin melepaskan kesempatan, yang tinggal beberapa hari, untuk menghabisi tokoh-tokoh gerakan perlawanan Hamas. Seolah Israel baru rela memberikan pemerintahan otonomi di Gaza pada PLO, setelah aktivis militan Hamas habis. Ketakutan pihak Israel mungkin ditimbulkan oleh seretnya perundingan di Kairo, perundingan yang antara lain membicarakan soal-soal teknis penarikan pasukan dan jumlah polisi serta tentara PLO untuk Gaza yang bisa disetujui pihak Israel. Sampai akhir pekan lalu, di Kairo belum ada kesepakatan, bagaimana keamanan di Gaza dijamin. Padahal sudah disepakati bahwa kompleks-kompleks permukiman Yahudi yang bertebaran tak akan dibongkar, akan tetap di Gaza, tapi akan dijaga oleh pasukan keamanan Israel sendiri. Dikhawatirkan, dalam kondisi seperti itu, aktivis gerakan militan dan tentara Israel mudah terpancing satu sama lain untuk mengobarkan konflik. Sebab, para aktivis gerakan militan Palestina, karena kebrutalan tentara Israel sehari-hari, sudah menggariskan bahwa ''Membunuh tentara Israel wajib hukumnya,'' kata Imad Aqel sebulan sebelum peristiwa pembunuhan itu. Entah karena ucapannya, atau memang ada bukti-bukti, pemuda berusia 24 tahun ini dicap Israel sebagai ''penjahat nomor satu'', bertanggung jawab atas pembunuhan 11 tentara Israel dan empat mata-mata Israel yang orang Arab Palestina. Dan Aqel, musuh nomor satu itu, memang menjadi mitos yang konon membuat gentar serdadu Yahudi. Dua tahun Aqel lolos dari kejaran penguasa Yahudi, konon karena pemuda ini piawai menyamar. Di samping itu, ia pun tak pernah mau dipotret, hingga tak semua tentara Israel mengenalnya. Rabu naas pekan lalu itu ia rupanya kepergok serombongan tentara Israel berpakaian preman, kebetulan di antara mereka mengenalnya, maka ia pun tewas. Betapa penting Imad Aqel, terlihat dari reaksi Perdana Menteri Yitzhak Rabin yang memuji keberhasilan tentaranya menghabisi pemuda penjaga semangat intifadah itu. Tapi hanya punya satu Aqelkah Hamas? Ketua komite pertahanan dan luar negeri parlemen Israel, Ori Orr, tak yakin bahwa Hamas bakal mengakhiri kegiatannya hanya karena beberapa pentolannya dihabisi. ''Mungkin kita bakal menyaksikan serangkaian pembalasan lagi. Kita akan berperang dengan Hamas,'' katanya dengan nada khawatir. Dan benar, Kamis esok harinya Gaza dilanda demonstrasi, ban- ban bekas dibakar, drum minyak digelindingkan di jalan, bendera Palestina berkibar di mana-mana. Warga Palestina itu memprotes, untuk kesekian kalinya, kebrutalan tentara Yahudi. Bentrokan antara mereka dan tentara Israel pun tak terhindari. Tembakan pun terdengar. Beberapa orang pemuda dikabarkan tewas di tempat, 30-an luka-luka, beberapa lagi ditahan tentara Israel. Jam malam pun diberlakukan, di sebuah kamp yang dianggap terkuat konsentrasi militan Hamasnya. Dan esoknya, seperti sudah disebutkan, dua pemimpin Hamas pun diberondong tewas. Kini muncul spekulasi, perdamaian bakal gagal. Indikasinya, Perdana Menteri Yitzhak Rabin, setelah melihat betapa mudahnya kerusuhan berkobar di Gaza, berniat menunda penarikan mundur tentaranya yang dijadwalkan dimulai 13 Desember nanti. ''Hari itu bukanlah hari keramat. Cuma dijadikan pedoman atau target,'' ujarnya kepada wartawan yang mewawancarainya, seusai Rabin menghadiri sebuah pertemuan Partai Buruh di Tel Aviv. Sebenarnya, sikap Rabin tidaklah berubah mendadak karena terjadi kerusuhan di Gaza. Ketika berkunjung ke Kanada, dua pekan lalu, Rabin tampak pesimistis perdamaian bisa tercipta di kawasan Timur Tengah. Meski Israel menyambut hangat perdamaian Washington, katanya, ia tak bermimpi hal itu bisa terjadi dalam satu malam. Perkembangan keamanan dewasa ini, menuntut Israel lebih waspada, kata Rabin dalam pidato di depan Dewan Federasi Yahudi Kanada. ''Kita terpaksa mengangkat satu tangan demi perdamaian, sementara tangan yang lain tetap berada di picu senjata, untuk sewaktu-waktu menarik picu senjata bila diperlukan,'' Rabin menambahkan. Segera saja Yasser Arafat menanggapi pernyataan Rabin. Kata Arafat, pihaknya tak bisa menunda kesepakatan Washington. ''Tak ada alasan untuk menunda pelaksanaan perjanjian damai yang sudah diteken bersama,'' kata pemimpin PLO Yasser Arafat dalam kunjungannya ke Oslo, Norwegia, Jumat pekan lalu. Artinya, pada tanggal 13 Desember nanti, apa pun yang terjadi, PLO akan berusaha membuka pemerintahan di Yerikho. Bagi Arafat, justru dengan selekas mungkin melaksanakan pasal-pasal perdamaian yang telah disepakati, kemungkinan munculnya situasi yang sangat berbahaya bisa dicegah. Tapi, bagaikan perdebatan dalam sebuah pertemuan, hari itu juga muncul jawaban Yitzhak Rabin dari Tel Aviv. ''Saya tak bisa menyerahkan kendali keamanan di Gaza pada PLO, sebab Jalur Gaza tetap merupakan tanggung jawab kami,'' kata Rabin yang diperkuat oleh Menteri Kepolisian Israel Moshe Shahal. Adalah memang tak mudah menjaga Gaza sebagaimana disepakati, melihat betapa permukiman Israel di Gaza terserak hampir di mana-mana. Itu juga berarti akan ada tentara Israel di mana- mana, menjaga permukiman itu. Meski gerak mereka dibatasi, nanti, tapi cukup menjadi potensi meledaknya konflik melihat betapa mudahnya mereka saling bertemu (lihat peta). Tapi tetap ada kemungkinan terobosan sebagaimana yang terjadi dengan penandatanganan 13 Oktober di Washington. Yakni, bila perang pernyataan antara Arafat dan Rabin pekan lalu itu sekadar konsumsi untuk pihak masing-masing. Terutama untuk meredam kelompok garis keras di masing-masing pihak, yang masih tetap menentang perdamaian Israel-PLO. Lalu, pada tanggal yang sudah disepakati, Arafat dan Rabin ternyata siap dengan kompromi-kompromi. Dengar saja kata Arafat ini: ''Sebentar lagi Natal tiba. Marilah kita wujudkan perdamaian di Betlehem.'' Maka bola berada di tangan Rabin. Bila ia menolak menyambut ajakan Arafat, dunia tahu siapa yang menggagalkan perdamaian yang susah payah diselenggarakan ini.Didi Prambadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum