Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ciuman maut calon mempelai

Wartawan nezar hindawi, 32, dituduh berencana meledakkan pesawat israel, lewat kekasihnya, anne m. murphy, 32. israel menuduh syria sebagai dalangnya. hindawi tertangkap dan diadili di old barley, london.(ln)

25 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK terlintas sedikit pun dalam pikiran Anne Marie Murphy, 32, bahwa perjalanan ke mahligai perkawinan akhirnya berbelok ke sidang pengadilan. Sidang itu, tidak tanggung-tanggung, berlangsung di Old Bailey, London, dan disiarkan pers ke seluruh dunia. Di sidang pengadilan itu, Murphy hadir sebagai saksi sedangkan pada kursi terdakwa duduk calon suaminya, Nezar Hindawi, 32. Kenyataan ini terasa begitu getir bagi Muprhy, hingga pada sidang pekan silam wanita itu meledak. "Hei, bajingan!" teriaknya melabrak Hindawi. "Bagaimana hal itu bisa kau lakukan terhadap diriku? Aku benci! Benci!" Tragedi Murhpy bermula pada suatu hari di bulan April tahun ini. Murphy, yang terbujuk kata-kata manis Hindawi, bersedia terbang ke Israel, khusus untuk menikah. Lalu, laki-laki itu mengantarkannya ke bandar udara Heathrow, London, dengan janji akan menyusul pada penerbangan berikut. "Dia memberi cium perpisahan di kedua pipi saya," tutur Murphy di sela uraian air mata. Tak terbayangkan oleh wanita Irlandia yang sedang hamil ini bahwa itulah sejenis ciuman Judas yang bisa menjadi ciuman maut, andai kata petugas keamanan perusahaan penerbangan Israel, El-Al, tidak menemukan bom dalam tas cangkingannya. Bom itu, celakanya, disusupkan sendiri oleh Hindawi ke dalam tas Murphy, lengkap dengan pengatur waktunya. Rencana jahat yang terbongkar itu rupanya tidak sekadar melibat dua kekasih, tapi juga menjaring dua negara bermusuhan: Israel dan Syria. Liku-liku ceritanya memang agak berbelit. Kepada petugas interogasi, Hindawi mengakui telah menerima US$ 12.000 dari dinas intel Syria sebagai imbalan untuk jerih payah meledakkan Boeing 747 El-Al berikut 375 penumpangnya. Ia juga diinstruksikan menitipkan bahan peledak pada seorang wanita, karena "pasti lebih aman". Tidak jelas benar mengapa Hindawi memilih Murphy, wanita yang sudah dipacarinya sejak dua tahun lalu, bahkan sudah pula dihamilinya untuk yang kedua kali. Yang pasti, Hindawi tidak bergeming ketika dilabrak Murphy. Malah dengan amat tenang, ia menolak semua tuduhan yang dibacakan Penuntut Umum Roy Amlot. Pokoknya, ia tidak menyelipkan bom ke dalam tas Murphy, juga tidak memiliki senjata gelap dan amunisi. Adapun keterlibatannya dengan Syria tak lain karena dua hal: imbalan US$ 12.000 dan bantuan pemerintah Damaskus untuk membentuk Gerakan Revolusioner Yordania. Tujuan utama gerakan ini adalah menggulingkan Raja Hussein. Bantuan Syria belum sempat terwujud karena Hindawi keburu tertangkap dua hari sesudah bom sial itu ditemukan, 17 April silam. Kegagalannya, konon, diketahui pihak Kedutaan Besar Syria di London. Terbukti mereka berusaha menyelamatkan Hindawi dengan memotong pendek dan mengecat rambut calon mempelai itu. Tapi, dasar bukan seorang profesional, Hindawi tertangkap dengan mudah di sebuah hotel. Penuntut Roy Amlot menyatakan, "Ada bukti kuat Hindawi bekerja sama dengan agen-agen Syria." SIAPAKAH Hindawi yang tega mengorbankan ibu anaknya sendiri? Dia seorang wartawan berkebangsaan Yordania, yang bekerja pada sebuah koran berbahasa Arab di London. Beberapa bulan sebelum tertangkap, ia berkunjung ke Yordania, Syria, Italia, dan Eropa Timur. Perjalanan panjang ini menghasilkan US$ 12.000 sebuah paspor Syria, dan peledak buatan Ceko. Tentang paspor ini, tampaknya tidak ada yang istimewa. Menurut penjelasan Presiden Hafez Assad kepada majalah Time, pemerintah Syria membuatkan paspor untuk Hindawi tak lain karena paspor Yordania miliknya sudah kedaluwarsa. Kejadian seperti ini biasa terjadi di negara-negara Arab. Bahwa Hindawi bekerja sama dengan agen Syria dibantah keras oleh Assad. Damaskus justru memerintahkan kedutaannya di London agar mengusir Hindawi atau melaporkannya kepada polisi. Sejauh menyangkut El-AI, Assad berteori bahwa bukan tidak mungkin dalangnya justru Israel. Dengan kata lain, Israel melancarkan sebuah operasi, dan menghentikannya sebelum pengeboman terjadi. Bom itu pada kenyataannya memang sempat diamankan petugas El-Al, lalu rencana Hindawi yang gagal total segera dibesar-besarkan Israel demi tujuan politis. Rencana ini dituding Assad sebagai bagian dari plot Israel untuk mendiskreditkan Syria di mata dunia. Benarkah? Entahlah. Yang pasti, kecurigaan terhadap Syria sudah telanjur meluas -- setidaknya di Eropa dan Amerika. Sumber PLO di Paris mengatakan, Syria berada di balik berbagai ancaman teror terhadap Prancis. Belum ditanya sumber-sumber lain. Pengadilan Hindawi mungkin bisa menyingkapkan lebih jauh keterlibatan Syria itu, serta berapa kuat dia membiayai aksi-aksi teror tersebut, kalau memang ada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus