JENDERAL Hussein Mohammad Ershad punya cita-cita selangit: ingin menjadi Presiden Bangladesh yang terpilih secara konstitusional. Sebab, sejak merdeka dari Pakistan pada 1971, Bangladesh, yang berpenduduk hampir 100 juta jiwa, telah berulang kali ganti kepala negara. Dan tak seorang pun yang berhasil memegang tampuk pemerintahan sampai akhir masa jabatan lima tahun. Kepala pemerintahan pertama, Perdana Menteri Sheik Mujibur Rahman, tewas dalam kudeta 1975 disusul Presiden Ziaur Rahman. Sepeninggal Ziaur Rahman, Hakim Abdul Sattar terpilih sebagai kepala negara. Tapi, tak sampai setahun Sattar berkuasa, tampil Ershad, kastaf angkatan bersenjata, di pentas perebutan kekuasaan. Ia kemudian memproklamasikan dirinya sebagai presiden. Tapi Ershad kurang puas, karena mandat itu tak diperolehnya secara langsung dari rakyat. Maka, setelah berulang kali menunda pelaksanaan pemilihan umum, Rabu pekan silam, Ershad berhasil melegitimasikan keinginannya dengan mengantungi 25,98 juta suara -- 84% jumlah suara yang masuk di 23 ribu tempat pemungutan suara (TPS). Sebelas lawan utama Ershad pada pemilihan presiden harus berbagi sisa suara. Kelompok oposisi meragukan keabsahan hasil pemungutan suara itu. Menurut mereka, di hari pemilihan, banyak TPS kosong, beredar surat suara dan daftar pemilih palsu. Betulkah? "Saya tak perlu memanipulasikan pemilihan hanya untuk memenangkannya," kata Ershad. Ershad mungkin tak melakukan manipulasi seperti dituduhkan lawan-lawan politiknya. Tapi, yang pasti, pada pemilihan kepala negara, minggu lalu itu, ia telah bertarung tak imbang. Kelompok oposisi, yang dimotori oleh Begum Khaleda Zia, istri Almarhum Presiden Ziaur Rahman (koalisi 11 partai kanan), dan Sheik Hasina, putri Presiden Mujibur Rahman (koalisi 7 partai kiri), memboikot pemilihan kali ini. Mereka merasa tak berkepentingan dengan pemilihan yang hasilnya sudah diketahui sebelum penghitungan suara usai. Dengan terpilihnya 300 anggota parlemen pada bulan Mei, dan pemilihan presiden maka selesai sudah tahapan-tahapan konstitusional yang harus dilakukan Ershad untuk mengukuhkan kekuasaannya. Kini, ia tinggal memenuhi janji yang dilontarkannya selama kampanye: pencabutan UU Keadaan Darurat. Ancer-ancer Ershad, pencabutan UU Keadaan Darurat itu sudah dapat dilaksanakan sebelum awal bulan depan bila parlemen mau mengukuhkan dirinya sebagai presiden secara konstitusional. Pengukuhan itu tampak tak bakal sulit diperoleh Ershad karena Partai Jatiya, partai pro-penguasa, menduduki 210 kursi parlemen. Sedangkan Liga Awami hanya 75 kursi. Sisa 11 kursi yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan dua pertiga pendukung bagi keabsahan pengukuhan tampaknya akan berasal dari calon-calon independen. Apakah pencabutan UU Keadaan Darurat berarti akhir bagi peran militer? Tampaknya bukan. Bila Ershad mengakhiri peran militer di pentas politik, maka ia akan menumbuhkan antipati dari rekan-rekan sendiri. Dan Ershad bisa mereka gulingkan dengan segala cara. Sekiranya Ershad berhasil merestorasi kehidupan politik, ia masih harus pula membenahi perekonomian Bangladesh yang morat-marit. Bantuan luar negeri USS 1,3 milyar, warisan rezim penguasa terdahulu misalnya, tersebar tak menentu. Sejumlah dana yang jatuh kepada para pengusaha (berupa kredit modal kerja, yang ditaksir berjumlah US$ 500 juta) sulit diharapkan kembali. Padahal, dana itu merupakan sumber kehidupan utama. Selain itu, kekuasaan yang sekarang di tangan Ershad bukan tameng ampuh untuk melindungi nyawanya. "Di Bangladesh," kata Sheik Hasina, "sulit meramalkan sesuatu." JRL
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini