SAYA ingin bercerita tentang seorang Raja yang tak pernah berbuat salah, sebab ia -- dan mungkin juga kita -- tak tahu apa sebenarnya yang disebut "salah" dalam kasusnya. Ia seorang tokoh novel tentu saja -- sebuah novel yang tak berbahaya -- di sebuah lingkungan yang seperti kita kenal, tapi mungkin juga tidak. Namanya Willie Stark. Penyair Amerika Robert Penn Warren menampilkannya dalam All the King's Men. novel terkenal yang pertama kali terbit di tahun 1946 itu. Willie adalah seorang yang akhirnya jadi gubernur di negara bagian yang jauh itu, dan jadi orang yang berubah: ia bukan lagi seorang politikus yang jujur. Kejujuran dalam pengalaman politiknya -- ternyata seperti kembang ros di ranting yang liar: di dekat kelopak yang bagus itu selalu siap siaga duri yang mencakar. Kita bisa luka rupanya -- setidaknya dalam pengalaman Willie -- bila kejujuran itu kita raup dan genggam dengan terlalu bersemangat. Willie Stark memulai karier politiknya dengan kejujuran dan untuk kejujuran. Dan ia kalah. Ia mencalonkan diri jadi bendahara daerah di kota kecil pedalaman itu. Ia ingin melawan korupsi dana yang di himpun untuk pembangunan sekolah. Dan ia tak ingin menyogok, tak ingin pula disogok. Isterinya, Lucie, guru sekolah itu, tak mau mencuri. Tak banyak yang mendukungnya. Jabatan bendahara itu, juga kejujuran itu, lepas. Bahkan Lucie dipecat. Tapi Willie ingin terus jadi "juru bicara bagi kelompok orang-orang jujur yang lidahnya terkatup". Suatu hari satu bagian dari gedung sekolah itu roboh. Anak-anak tertimpa dan tiga murid tewas. Ternyata batu-bata yang dipakai untuk bangunan sekolah itu. biarpun mutunya rendah, tetap dipakai karena datang dari pabrik si ketua daerah. Bagi Willie jelas: pemerintahan negara bagian itu telah tumpul di hadapan soal seperti itu. Mereka sudah terlampau lama berkuasa tanpa oposisi. Maka mereka sudah saatnya untuk dilawan. Willie pun mencalonkan din jadi gubernur. Tapi ia kena kecoh lagi. Ketika akhirnya ia menang, ia telah jadi seorang yang kecewa dengan koreng di rohaninya dan jauh di biji matanya. Kini yang ia lihat hanya duri itu, bukan kuntum itu. ia pun memerintah dengan pemerasan dan penyuapan. Ia Willie Stark yang baru. raja yang tak pernah berbuat salah karena apa yang "salah" menjadi tak jelas lagi baginya. Hal pokok itu jadi kabur karena ia telah punya pleidoi untuk ketidakjujuran dan sebuah dalih untuk kekotoran. Bukankah ia anak rakyat, yang tak pernah merasakan previlese, yang tak terdidik di sekolah yang baik dan tahu pesingnya peluh untuk bisa terus hidup? Maka ia mencemooh, ketika pembantunya. Jaksa Hugh Miller, mengundurkan diri karena muak dengan korupsi di sekitar Sang Gubernur: bagi Willie Stark, Miller yang aristokratis itu tak mau bila "tangan Harvard-nya kotor". Miller, kata sang bos, bersikap seperti seorang yang ingin makan steak, tapi tak tahan berkunjung ke rumah jagal, lantaran di sana ada orang-orang kasar dan jahat yang membunuh hewan. Miller seperti orang yang menginginkan batu bata. tapi tak tahu ada orang yang harus mengotori tangannya agar bata itu terbentuk dari tanah. "Selalu ada sesuatunya," kata Willie Stark, ketika kepadanya diceritakan ada seorang hakim yang tak bisa disogok. "Manusia dibenihkan dalam dosa," katanya pula, maka di baliknya "selalu ada sesuatunya." Akhirnya, dalam diri orang seperti Stark, korupsi telah mendapatkan tinkatannya yang tinggi: ia telah menjangkau ke sebuah pandangan tentang manusia sebagai sesuatu yang tak bisa dituntut dengan nilai-nilai. Tiap orang punya pamrih, tiap orang untuk dirinya sendiri: "selalu, ada sesuatunya". Maka bagi pandangan ini, bila kesucian bukanlah milik manusia, maka dosa harus diterima. Kecurangan, dusta, dan sejenisnya harus dimaafkan bahkan pada saat ia dilakukan, tanpa dimintakan. Sang Raja benar-benar tak pernah berbuat salah. Dalam novel Robert Penn Warren, Willie Stark akhirnya terbunuh. Novel ini tak membiarkan Willie menguasai dunia, dan harapan dikukuhkan kembali. Epigraf yang dipilih penulisnya adalah sekalimat yang dikutip dari Purgatoro yang cerah: "Ketika harapan mengenakan setangkai kembang yang hijau." Alhamdulillah. Tapi kita, pembaca, sayangnya tak hidup dalam sebuah novel dengan sebaris kutipan Dante terbentang di langit sore. Tiap hari Willie Stark hidup lagi, menyeringai lagi, dan kita bertanya tak putus-putusnya: bila ketidakjujuran dilakukan semua orang, bila kecurangan adalah sah karena manusia tak bisa ditolong lagi. mengapa dalam hidup tetap ada kepercayaan, persahabatan, kesetiaan? Apakah itu kebodohan kita? Ataukah kehidupan bersama adalah hal yang muluk? Jawabnya mungkin bisa dikatakan oleh Miller, yang di akhir novel ini kembali bekerja untuk masyarakatnya: sejarah memang buta, tapi manusia tidak.Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini