SELAMAT tinggal Yugoslavia, selamat datang Slovenia dan Kroasia. Itukah makna pengakuan terhadap dua republik yang sudah menyatakan merdeka pada 25 Juni 1991 lalu, yang baru diucapkan oleh negara-negara Masyarakat Eropa pada Rabu pekan lalu, atau hampir tujuh bulan sesudahnya? Masalahnya, selama hampir tujuh bulan itu, di Republik Federasi Yugo tersebut, rasanya, perang lebih mudah meletus, dan sulit dihentikan. Mula-mula, antara Slovenia dan Serbia, yang didukung tentara Federal. Lalu, antara Kroasia dan Serbia, yang juga didukung pasukan Federal. Pada awalnya, mungkin Masyarakat Eropa (ME) tak hendak mengakui pernyataan kemerdekan dua republik anggota Federasi Yugo itu. Lihat saja, menteri luar negeri negara-negara ME itu sibuk cari jalan damai. Tiba-tiba, dicapai kata sepakat untuk gencatan senjata. Tapi, satu dua hari kemudian senjata menyalak lagi, korban pun jatuh lagi. Ada gencatan senjata lagi, dilanggar lagi. Demikian seterusnya, sampai PBB pun terlibat. Sementara itu, para analis Eropa sudah pesimistis, Yugoslavia dapat dipertahankan. Perbedaan etnis beserta budaya dan cara hidupnya, antara orang Serbia, Slovenia, Kroasia, dan etnis muslim lainnya di Yugo membuat banyak pengamat menyimpulkan persatuan di bawah federasi memang rapuh. Kemudian Helmut Kohl melihat persoalan dengan relistis. Ia mengumumkan Jerman akan mengakui kedua republik, Slovenia dan Kroasia. Dua hari sebelum Natal tahun lalu, kata-kata Kohl dibuktikan. Kebetulan, lagi ada masa reses, senjata tak menyalak, setidaknya hanya ada dordor kecil-kecilan. Jerman berpendapat bahwa pengakuan adalah satu-satunya jalan untuk menciptakan perdamaian di negeri itu. Jerman juga memutuskan untuk segera membuka hubungan diplomatik dengan Slovenia dan Kroasia. Lalu, lewat sedikit perdebatan, akhirnya pekan lalu semua negara Masyarakat Eropa pun mengakui Slovenia dan Kroasia. Malah akhirnya Kanada dan Australia ikut-ikutan. Kroasia tentu saja menyambut hangat keputusan ME tersebut. "Peristiwa ini akan ditulis dengan tinta mas dalam buku sejarah Kroasia," kata Kepala Staf Kepresidenan Kroasia. Presiden Kroasia sendiri, Franjo Tudjman, konon berseri-seri tak lama setelah ia menandatangani dokumen peresmian hubungan diplomatik dengan Jerman. "Kroasia telah mendapatkan kemerdekaan dengan melalui proses menentukan nasib sendiri, yang demokratik," kata utusan khusus Jerman Klaus Peter Klaiber, yang mengangkat tos bersama sang Presiden. Sementara itu jalan-jalan di Zagreb, ibu kota Kroasia dihias dengan meriah. Bendera berkibar di semua tempat, dan ribuan orang memenuhi gereja utama di kota itu. Misa ucapan terima kasih kepada Tuhan itu dipimpin sendiri oleh Kardinal Franjo Kuharik, uskup besar Roman Katolik di Kroasia. "Kita berdoa agar hari ini tercatat dalam sejarah sebagai titik awal untuk hari depan kita, yang lebih baik dan lebih membahagiakan," kata Kardinal Kuharik. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada Paus Johanes Paulus II di Vatikan yang sejak lama mendukung usaha Kroasia untuk memerdekakan diri. Berita tentang pengakuan juga diterima dengan gembira di Slovenia. Menurut Presidennya, Milan Kucan, tugas utama yang dipikul republik kecil itu untuk memerdekaan diri telah berhasil. Tapi, tugas yang lebih besar lagi, yakni berjuang untuk menjadi bagian dari Eropa dan bekerja sama dengan negara-negara Eropa lain adalah tugas yang kini dihadapi. Di Serajewo, ibu kota Republik Bosnia-Hercegovina, berita tentang pengakuan ME pada rekan republiknya juga diterima dengan gembira. Bosnia-Hercegovina juga berambisi merdeka, tapi masih di luar perhatian dunia internasional rupanya. Meski Perdana Menteri Jure Pelivan optimistis bahwa eksistensi republiknya akan segera diakui. "Pengakuan Eropa atas Kroasia dan Slovenia adalah suatu proses dunia yang lebih luas, dan giliran berikutnya adalah kita," kata Pelivan. Alasan dia, Serbia tak mungkin terus menerus mengingkari kenyataan. Pengakuan Masyarakat Eropa atas Bosnia-Hercegovina, juga pada Republik Macedonia, ditunda. Masalahnya, di kedua republik tersebut belakangan ini belum ada konstitusi, yang menjamin hak-hak asasi etnik minoritas. Negara-negara Eropa Barat itu masih ragu dapatkah etnik Kroasia, Serbia, dan Muslim Slavik di kedua republik itu hidup berdampingan secara damai. Dapat dimaklumi bila Serbia menerima kabar itu dengan geram. Para pemimpin Serbia, yang berniat mempertahankan eksistensi Federasi Yugoslavia, menganggap pengakuan itu sebagai langkah yang kelewat tergesa. Dan Presiden Slobodan Milosevic mencoba meyakinkan dunia bahwa Yugoslavia akan tetap ada. Kata Milosevic, sekutu utamanya, Republik Montenegro, telah sama-sama setuju membentuk perserikatan Yugo, yang lebih kecil. Masalahnya kini, benarkah pengakuan Masyarakat Eropa dapat menghentikan perang saudara? Sejak Slovenia dan Kroasia menyatakan dirinya merdeka sekitar tujuh bulan silam, tentara Federal, yang didominasi orang Serbia, melakukan gempuran hebat terhadap kedua negara itu, terutama Kroasia. Alasan mereka, penglepasan diri kedua negara minoritas itu akan menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap 600 ribu etnis Serbia yang berdiam di wilayah-wilayah kedua republik itu. Sebagai akibat gempuran tentara Federal, hampir sepertiga wilayah Kroasia kini dikuasai Serbia. Di antaranya daerah dekat Krajina, di selatan Zagreb, yang jadi konsentrasi permukiman etnis Serbia. Yang dapat jadi masalah baru, pihak Serbia sudah menyatakan tak akan mengembalikan wilayah Kroasia, yang jatuh ke tangan Serbia dalam perang saudara sekitar enam bulan ini. Pernyataan itu tentu saja membuat Kroasia marah. Presiden Tudjman buru-buru mengatakan bahwa Serbia harus menyerahkan daerah-daerah yang direbutnya, dan kalau itu tak dilakukan, Kroasia akan memperolehnya kembali dengan jalan apa pun. Pengakuan atas Kroasia dan Slovenia datang pada saat PBB akan segera menempatkan 10 ribu personil, yang akan bertindak sebagai pengawas gencatan senjata. PBB turun tangan setelah ME menarik 200 pengawasnya setelah insiden tertembak atau ditembaknya helikopter, yang mengangkut sukarelawan dari Masyarakat Eropa dua pekan silam. Uniknya, baik pihak Serbia maupun Kroasia menyambut baik kehadiran pasukan PBB. Kroasia, yang terdesak, tentu saja menginginkan perlindungan dan dukungan untuk meminta kembali daerahnya, yang jatuh ke tangan Serbia. Pihak Serbia menyambut kedatangan PBB sebagai pendukung guna mempertahankan wilayah Kroasia, yang jatuh ke tangannya. Masalah perbatasan itulah yang dapat memusingkan PBB. Memang ada jalan keuar, yakni akibat perang saudara ini ekonomi Serbia semakin lemah. Dengan menekan kelemahan ini, diharapkan Serbia tak akan ngotot mempertahankan wilayah-wilayah yang direbutnya, bila Kroasia dengan dukungan PBB dan terutama Masyarakat Eropa memintanya kembali. Selamat tinggal Yugoslavia. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini