Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tentara ke tentara (lagi)

Kondisi politik di Aljazair. Presiden Chadli Bbenjedid dipaksa mundur. Kelompok sekuler dan militer tak suka front penyelamatan islam (FIS) memenangkan pemilu. kini, pemerintahan dikuasai tentara.

25 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang kaucari Aljazair? Pada 1962, gerakan nasionalis Aljazair Front de Liberation Nationale (FLN) memroklamasikan kemerdekaan Aljazair dari tangan Prancis. Perjuangan bersenjata sejak 1954, sejak FLN berdiri, memakan korban hampir satu juta orang Aljazair. Konstitusi negara merdeka pun disusun. Ditetapkan Aljazair adalah negeri satu partai berdasarkan sosialis. Ahmed Ben Bella, pendiri FLN yang belakangan menjadi partai terbesar di Aljazair, terpilih menjadi presiden. Segera saja ketahuan, pemerintahan FLN kurang becus. Ini memberi peluang tentara, yang lebih terlatih dalam disiplin setidaknya, masuk ke mana-mana, termasuk ke birokrasi dan bisnis. Rupanya suasana tak tertahankan lagi, Menteri Pertahanan Houari Boumedienne mengudeta Ben Bella. Untuk tidak mengulang langkah pendahulunya, Boumedienne membentuk Dewan Revolusi, sebagian besar anggotanya perwira militer. Lalu, dicanangkanlah nasionalisasi perusahaan asing, dan dilaksanakanlah landreform. Usaha ini, sedikit banyak, bisa memenuhi kebutuhan bahan makanan pokok bagi sebagian besar rakyat. Namun, itu dicapai Boumedienne dengan tangan besi. Ia mencanangkan Piagam Nasional yang menetapkan sistim sosialis sebagai dasar perekonomian Aljazair dan agama Islam sebagai agama negara. Ia juga memperkenalkan konstitusi baru, yang belakangan terasa lebih untuk mengkonsolidasikan kekuasaan pribadinya. Kerusuhan pertama pun muncul dari kelompok mahasiswa Islam fundamentalis. Namun, sang pemimpin terus jalan sampai akhir hayatnya, pada 1978. Segera, Dewan Revolusi memegang kekuasaan. Waktu itu sudah ada yang berubah. Diam-diam Islam mengkonsolidasikan kekuatan karena kelompok ini merasa Boumedienne sudah terlalu Marxist, dan jauh dari tradisi muslim Arab. Suasana perkembangan Islam itulah, yang oleh presiden selanjutnya, Chalid Bendjedid, ditoleransi. Bahkan, dalam kabinet pertama di masa Bendjedid ini, menteri agama adalah Mouloud Kacem, salah seorang pemimpin kelompok Islam fundamentalis. Rupanya, toleransi itu membuka peluang protes yang mengendap dari zaman Boumedienne. Oktober 1988, kerusuhan meledak, keadaan darurat diberlakukan, tapi Bendjedid menjanjikan pembaruan politik. Maka, sosialisme dan Islam sebagai ideologi negara disejajarkan. Dalam bidang ekonomi, swastanisasi digalakkan. Tahun berikutnya, bahkan sistem multipartai diberlakukan, dan berakhirlah sistem partai tunggal. Muncullah partai Islam fundamentalis Front Islamique du Salut (FIS) atau Front Penyelamatan Islam itu. Dan, langsung menjadi partai besar, mungkin karena masa inkubasi sudah berlangsung sejak awal Boumedienne berkuasa. Di sisi militer, Bendjedid menghendaki tentara profesional, suatu hal yang selalu gagal ia terapkan karena begitu kuatnya jaringan militer. Namun, setelah adanya sistem multipartai, ada alasan kuat menyisihkan militer. Pertama dari FLN, kedua dari parlemen. Tentara mesti di atas segala golongan, kata Bendjedid yang bekas kolonel itu. Di bidang ekonomilah Bendjedid kurang sukses. Sebagian subsidi pangan terpaksa dihapuskan, karena harga minyak yang melorot. Aljazair yang di tahun 80-an meraup US$ 30 milyar dari penjualan minyaknya, hanya mendapatkan US$ 8 milyar tahun 1986. Swastanisasi, di mata rakyat hanya berarti munculnya sedikit orang kaya yang dengan santai sliwar-sliwer dengan mobil Mercedez Benz, BMW, atau Peugeot, sementara mereka harus mengencangkan ikat pinggang terus menerus. Bendjedid ternyata konsekuen dengan reformasinya. Ketika dalam pemilu daerah pada 1990 FIS menang, ia menerima kenyataan itu. Sementara itu, kelompok sekuler dan tentara begitu sewot. Bisa jadi sejak itulah pihak militer, yang makin didesak, tinggal di barak, mendendam Bendjedid. Namun, sampai putaran pertama pemilu tingkat nasional bulan lalu, tidak ada yang dapat diperbuat oleh tentara dan kelompok sekuler. FIS terus melaju dengan kemenangannya. Titik puncak kejengkelan, juga ketakutan kaum sekuler, ketika demonstrasi mereka, yang menuntut diulanginya pemilu, tak digubris pemerintahan Bendjedid. Padahal, demonstrasi di Kamis dua pekan lalu itu, yang antara lain diadakan oleh kelompok wanita modern Aljazair itu, cukup provokatif: menuduh FIS curang. Namun, sampai beberapa hari sebelum pemilu final diadakan, tidak ada tanda-tanda Bendjedid bersedia mengorbankan demokrasi yang mulai dirintisnya. Maka, sekelompok militer yang, antara lain, berada dalam Dewan Keamanan pun beraksi. Akhirnya, Bendjedid dipaksa mundur, dan pemilu dibatalkan. Kembali Aljazair jatuh di tangan, pinjam kata-kata pemimpin FIS Hachani, "orang-orang yang haus kekuasaan", dan demokrasi dikorbankan. Leila S.Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus