SYEIKH Mohammad Abul Nas langsung menulis surat. Ketua organisasi Ikhwanul Muslimin Mesir itu, begitu mendengar partai fundamentalis Islam Aljazair memenangkan pemilu putaran pertama, langsung berharap, "Semoga Allah menganugerahkan kemenangan mutlak pada putaran kedua," tulisnya, "keunggulan partai Islam fundamentalis bakal memicu kemenangan gerakan Islam di seluruh negara Arab." Di Afrika utara, Islam fundamentalis yang tak kunjung naik kuasa itu rupanya juga tak matimati. Ada yang menduga, di Tunisia, Maroko, Mesir, dan Aljazair, kelompok Islam fundamentalis bakal mengambil alih kekuasaan satu per satu. Tak mengherankan, begitu pemilu putaran kedua di Aljazair dibatalkan, negara-negara tetangganya bernapas lega. Soalnya, banyak pengamat, bahkan oleh pemerintah Aljazair sendiri, sudah memastikan partai fundamentalis Front Penyelamatan Islam (FIS) bakal menang. Rasa syukur ini digambarkan secara terus terang oleh media cetak Tunisia, yang hampir semuanya merupakan corong pemerintah Tunis. Dengan tulisan mencolok, dengan huruf segede jempol, mingguan Tunis Hebdo memberi judul artikelnya: "Pengunduran diri Chadly memotong rumput di bawah kaki militan FIS, partai yang beruntung karena kebetulan angin sedang berembus ke arah mereka." Mingguan itu menduga, pengikut FIS bakal rontok karena waktu. Mingguan tersebut mungkin kelewat optimistis. Benarkah gerakan fundamentalis di Afrika cuma kebetulan beruntung? Di negara-negara mayoritas berpenduduk Islam di Afrika, khususnya di Mesir, gerakan fundamentalis sudah hadir sejak berpuluh tahun lalu. Meski mereka belum pernah naik kuasa, aktivitasnya tak boleh diremehkan. Demikian juga di Tunisia, Maroko, dan Libya. Lihat saja, baru tiga tahun terakhir ini, setelah pemerintah Aljier menerapkan sistem multipartai, kelompok fundamentalis muncul ke permukaan dan segera saja menjadi partai terbesar. Banyak pihak berpendapat, seandainya politik tangan besi sejumlah rezim negara Islam di Afrika dan negara Arab lainnya dicabut dan dilangsungkan pemilihan bebas, sudah lama kelompok fundamentalis akan memegang peranan dalam percaturan politik, bahkan mungkin mengambil alih kekuasaan di negara-negara itu. Mesir, yang dianggap sebagai pusat kehidupan intelektual Islam, merupakan pelopor tumbuhnya gerakan fundamentalis Islam zaman modern di Afrika dan kawasan Timur Tengah. Yakni dengan didirikannya Ikhwanul Muslimin oleh Hassan Al Banna, seorang guru, di Ismailiyah pada 1928. Ikhwan, artinya persaudaraan, yang awalnya cuma perkumpulan pemuda, kemudian berkembang menjadi organisasi politik berpengaruh di Mesir. Dan merebak dengan cepat ke sejumlah negara muslim di sekitarnya. Slogan Ikhwan "Quran adalah konstitusi kami, Rasul pembimbing kami, dan kematian untuk kebesaran Tuhan merupakan ambisi utama kami," segera populer di kalangan muda negara-negara tersebut. Masalah ekonomi yang makin buruk, kerusuhan sosial, pengangguran yang kian membengkak, dan urbanisasi yang tak terkendalikan merupakan salah satu penyebab mengapa Islam fundamentalis cepat mendapat tempat di hati banyak orang, terutama di perkotaan. Di perkotaan, masyarakat asal desa merasa kehilangan identitas di lingkungan baru mereka. Kelompok yang bingung itu umumnya berkumpul di satu wilayah kumuh perkotaan, hingga memudahkan para juru bicara kelompok radikal menyebarkan propagandanya. Tapi, sesungguhnya, bukan cuma mereka yang melarat di perkotaan saja yang tertarik berlindung di bawah atap Islam fundamentalis. Di kalangan pelajar dan mahassiswa pun, gerakan Islam fundamentalis mendapat tempat. Gerakan Ikhwan bertekad mengukuhkan syariat Islam sebagai sumber utama hukum, untuk menggantikan undang-undang Eropa yang dianggap bertentangan dengan hukum Islam. Mereka mengecap pihak penguasa tidak adil, tidak Islami, dan korup, karena itu patut digulingkan. Berbagai jurus diterapkan untuk meraih tujuan utama ini: mulai dari membangun sel-sel rahasia sampai berdakwah di muka massa di dalam ataupun di luar masjid dari konfrontasi berdarah melawan pasukan keamanan Pemerintah sampai ikut berperan dalam pemilihan yang damai dari melancarkan aksi teror sampai menyelenggarakan demonstrasi tanpa kekerasan dari mensubversi para pejabat institusi Pemerintah melalui infiltrasi sampai menarik diri sepenuhnya dari masyarakat dari melancarkan perang terbuka melawan negara sampai menyelenggarakan debat intelektual dengan kelompok sekuler. Di Mesir, bulan madu singkat Ikhwanul Muslimin dengan rezim militer, yang menggulingkan kerajaan pada 1952, berakhir dengan aksi oposisi dengan kekerasan. Termasuk percobaan pembunuhan atas Presiden Gamal Abdul Nasser oleh aktivis Ikhwan pada 1954. Sejak itu, Ikhwan memandang dunia dalam dua kategori: pemerintahan Islam dan pemerintahan jahiliyah. Pemerintah Kairo dianggap sebagai versi modern pemerintahan jahiliyah. Maka, jihad pun dijalankan. Tapi mereka belum mampu menundukkan Nasser. Bahkan, mereka kehilangan sejumlah pemimpin dan aktivisnya yang ditangkapi dan ditahan. Baru setelah Presiden Anwar Sadat memberikan amnesti umum pada 1975, yang diikuti dengan kembalinya Mesir ke sistem multipartai, kelompok Ikhwan bisa mengkonsolidasikan kembali kekuatannya. Maka, Universitas Al Azhar pun kembali menjadi pusat kegiatan mereka, yang pada era Nasser kegiatan Ikhwan dilarang di sini. Sebenarnya, Sadat pun menyadari kekuatan Ikhwan menarik massa. Maka, di sisi lain, ia memberi angin, di sisi yang lain lagi ia mencoba memecah organisasi Islam itu dengan merekayasa terbentuknya sayap moderat. Caranya, antara lain, memberikan dana bantuan sejumlah uang. Tapi celaka, perjanjian damai MesirIsrael pada 1979 di Camp David menghancurkan kredibilitas Sadat, baik di mata anggota Ikhwan yang moderat, apalagi yang ekstrem. Sayap moderat menyerang kebijaksanaan ekonomi Sadat yang, katanya, hanya melahirkan lintah-lintah darat, spekulator tanah, dan pengusaha yang cuma bisa mengimpor barang mewah. Mereka menuding Sadat menjual Mesir kepada Amerika, sebagaimana halnya yang dilakukan Nasser, menjual Mesir kepada Uni Soviet. Saat itu, pengikut Ikhwan di kalangan mahasiswa sudah kian meningkat, sejalan dengan kian kuatnya kubu radikal dalam tubuh Ikhwan. Kelompok radikal ini lalu menyempal dan mendirikan kelompok baru. Di antaranya, kelompok Al Jihad, kelompok yang dikenal berdisiplin tinggi. Kelompok inilah yang dituduh membunuh Anwar Sadat pada 1981. Setelah kematian Sadat, kelompok fundamentalis Mesir kembali ke masa suram, khususnya kelompok-kelompok radikalnya. Sebab, akibat dari pembunuhan Anwar sadat, "Pemerintah menyerang kami dengan telak. Kebanyakan orang kami kini dipenjarakan. Yang di luar, kalau tidak tewas dalam bentrokan, mereka tidak berani muncul di muka umum," tutur Mahmoud, 33 tahun, seorang aktivis Al Jihad, belum lama. Ketua Al Jihad, Syeikh Omar Abdul Rahman, kini berada di pengasingan di New York, AS. Menurut catatan Amnesti Internasional, pemerintah Mesir melakukan penahanan dan penyiksaan untuk menekan kelompok Islam fundamentalis. Kini, di Mesir, hampir tiap pekan terjadi bentrokan bersenjata antara pasukan pemerintah dan kelompok fundamentalis radikal. Pada umumnya, kelompok ekstrem itu menyerang toko-toko minuman keras, barbar, toko-toko milik umat Kristen, dan gereja-gereja dengan bom bensin. Jihad juga menyerang wanita yang tak bercadar. Saat ini, konon, makin banyak pengikut fundamentalis radikal dari kalangan terpelajar, serikatserikat buruh dan para profesional, termasuk dokter, insinyur, ahli hukum, dan tentara. Jangan lupa, pembunuhan Anwar Sadat sukses dilaksanakan karena adanya pengikut Jihad dalam tubuh militer. Tapi, tampaknya, pemerintah Kairo melihat jalan paling baik menghadapi Ikhwanul Muslimin adalah jalan Sadat. Yakni, di satu sisi merangkul, di sisi lain mencoba menekan. "Kami tak segan-segan menerapkan undang-undang darurat untuk mempertahankan stabilitas dan keamanan," ujar Letnan Jenderal Mohammad Abdul Halim Mousa, Menteri Dalam Negeri Mesir, pekan lalu. Sementara itu, Presiden Mesir Mubarak tetap mengizinkan kelompok Ikhwan yang moderat berkiprah dalam arena politik, antara lain ikut pemilihan umum. Kini Ikhwan merupakan kelompok oposisi terbesar di parlemen Mesir bersama dengan Partai Buruh. Sedangkan kelompok Jihad menyebut kerja sama Ikhwan dengan sistem yang ada merupakan langkah siasia karena, "Pemerintah tak pernah berniat menyerahkan kekuasaan melalui pemilihan yang bebas," ujar seorang aktivis Jihad. Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Ketika pelari wanita Hassiba Boulmerka meraih medali emas dalam lomba lari 1.500 meter di Kejuaraan Dunia Tokyo, tahun 1990, begitu pulang di Aljier tak hanya sanjungan yang ia terima, tapi juga kecaman. Kecaman itu datang dari para mullah, mengapa Hassiba sampai hati hanya berkaus singlet d~an bercelana ketat hadir di depan ribuan mata penonton. "Kalau saya pakai jilbab, akan mengganggu gaya lari saya," ~awab Hassiba. Ketika Presiden Bendjedid memberi ucapan selamat sambil mencium kening Hassiba, masjid-masjid pun ramai mengkritik ulah Presiden Aljazair itu. Rabu, 15 Januari. Tiga partai politik terbesar secara resmi mengeluarkan resolusi mengecam Dewan Negara, yang didalangi tentara itu, sebagai melanggar konstitusi. Tiga partai (FIS, FLN, dan Front Kekuatan Sosialis) itu menuntut pemilu, yang ditunda, secepatnya dilaksanakan. Kamis,16 Januari. Televisi Aljier menyiarkan kedatangan Mohammad Boudiaf, orang yang ditunjuk sebagai Ketua Dewan Negara,dari Maroko. Tak jelas, mengapa Boudiaf yang ditunjuk. Meski ia salah seorang pahlawan kemerdekaan Aljazair, sejak 1964 ia dikucilkan. Itu sebabnya, menurut koresponden New York Times di Aljier, orang tua berusia 74 tahun ini tak begitu dikenal oleh sebagian besar rakyat Aljazair. Yang menimbulkan pertanyaan dalam diri banyak warga Aljazair, awam atau para politikus dan cendekia, dalam upacara penyambutan itu bukan hanya perdana menteri dan menteri pertahanan, tapi semua kepala staf ketiga angkatan dan kepolisian hadir. Jadinya, upacara itu benarbenar memberi kesan diselenggarakan oleh militer. Jumat, 17 Januar~i. Di sekitar wilayah Bab El Oued, salah satu basis FIS di Aljier, dijaga ketat. Rintangan jalan dipasang, beberapa kendaraan lapis baja parkir di sekitarnya, dan tentara serta polisi memeriksa kartu identitas tiap lelaki, yang masuk ke daerah ini untuk salat Jumat di Masjid Es Sunna. Mereka yang bukan warga Bab El Oued dan sekitarnya, disilakan mencari masjid lain. Tampak pemimpin FIS Hachani di dalam masjid, berkata pada jemaah: "Rezim ini akan segera runtuh, sabar dan waspadalah, hindarkan provokasi." Pagi sebelum orang berdatangan, menurut saksi mata, lima anggota FIS yang militan ditangkap. Akhirnya, menurut Kamal Agoun, Wakil Ketua Yayasan Masjid Es Sunna, "sedikitnya 500 orang ditahan." Sabtu, 18 Januari. Pertemuan pertama Dewan Negara dipimpin oleh Boudiaf. Menurut Reuters, Dewan mempertimbangkan perlu tidaknya memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Soalnya pemerintah Iran mengkritik pedas dibatalkannya pemilu pekan lalu. "Aljazair kini diuji sejarah," kata Pesiden Iran Hashemi Rafsanjani, yang disiarkan radio. "Para pendukung kebebasan dan demokrasi gagal dan dipermalukan." Yang pasti, Dewan memutuskan untuk tidak memberikan visa masuk Aljazair kepada orang Iran, Pakistan, dan Sudan. Sebagaimana Iran, dua negara yang lain itu pun mengecam "kudeta" di Aljazair. Tampaknya, pelan-pelan suasana di Aljier bertambah tegang tiap harinya. Bila belum ada insiden besar itu tak lain karena para pemimpin FIS justru mengimbau pendukungnya agar bersabar. Tapi, sampai kapan imbauan itu akan ditaati? Dijadwalkan, Senin pekan ini Abassi Madani dan Ali Belhadj, dua pemimpin puncak FIS yang ditahan sejak Juni lalu, diajukan ke pengadilan. Bila ini dilaksanakan, boleh jadi akan jadi pemicu gerakan dari pihak Islam fundamentalis. Didi Prambadi dan Bambang Bujono~~
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini