Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Damai yang memancing perang

Perjanjian 17 pasal yang ditandatangani bersama oleh presiden jayewardene & pm rajiv gandhi, diharapkan bisa memadamkan perang saudara di sri lanka. pribumi sinhala protes, pemberontak tamil terjepit.

8 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUDAH perang saudara berkecamuk empat tahun dan 6.000 orang tewas, pemerintah Sri Lanka akhirnya sampai juga ke meja perundingan. Presiden Jayewardene menyambut kedatangan PM Rajiv Gandhi -- sebagai penengah -- Selasa pekan silam di Colombo, sementara masih banyak pribumi Sinhala yang menolak perdamaian dengan pemberontak Tamil. Sesuai dengan kesepakatan, India mengirimkan pasukan penyangga perdamaian sebanyak 5.000 orang, yang dalam tempo satu hari sudah berhasil menduduki Semenanjung Jaffna, daerah minoritas Tamil. Perjanjian yang diharapkan bisa memadamkan perang saudara itu ditandatangani bersama oleh Jayewardene dan Rajiv, sementara pemberontak Tamil tidak terwakili di situ. Berdasarkan perjanjian itu, kelak provinsi utara dan timur -- wilayah Semenanjung Jaffna -- akan bergabung di bawah suatu pemerintahan khusus, dengan hak otonom yang cukup luas. Ditetapkan juga bahasa Tamil menjadi bahasa nasional, di samping bahasa Inggris dan Sinhala. Inilah terobosan penting setelah berbagai upaya India -- selama dua tahun -- hampir menemui jalan buntu. Pasukan India -- di bawah pimpinan Mayjen Markirat Singh didatangkan dengan pesawat Antonov 32 bikinan Soviet, untuk mempercepat perlucutan senjata separatis Tamil. Mereka bergerak sejak Jumat lalu. Adalah Presiden Jayewardene sendiri yang meminta secara resmi pada India untuk mengirim pasukannya, karena tentara Sri Lanka ditarik kembali dari Jaffna ke ibu kota. Tentara pribumi Sinhala, yang selama ini sangat direpotkan oleh gerilyawan Tamil Elam, sengaja mundur ke basis mereka, agar perjanjian tidak tertunda lagi. Di bawah penjagaan ketat, kedua pemimpin itu menandatangani persetujuan 17 pasal, tanpa partisipasi wakil pemberontak Tamil. Tapi sebelum ke Colombo, Rajiv sempat berdialog 90 menit dengan pimpinan LTTE, Vellapulai Prabhakaran, di New Delhi. Sementara itu, di selatan Colombo pecah aksi protes menentang perjanjian damai, yang dianggap mernecah-belah kesatuan negara pulau itu. Dipimpin puluhan pendeta Budha mereka sangat antiseparatis Tamil yang beragama Hindu -- kelompok demonstran membakar gedung Bank Ceylon milik pemerintah. Mereka juga membakari beberapa mobil seraya meneriakkan yel-yel, "Gandhi pergi kau . . . mari kita bunuh Jayewardene." Mereka beranggapan perjanjian itu telah memberi konsesi terlalu besar pada golongan Tamil. Pasukan militer dan polisi Sri Lanka, yang juga berpatroli dari udara, telah menjatuhkan bom gas air mata untuk mematahkan aksi protes. Tak kurang dari 38 orang tewas dan 120 orang luka-luka dalam kerusuhan yang berlangsung selama tiga hari. Sebanyak 500 bis hancur berantakan diamuk massa Sinhala. PM Ranasinghe Premadasa dan Menteri Pertanian Gamini Jayasuriya -- dua tokoh penting yang mengincar kursi PM -- ikut memboikot perjanjian itu. Dalam upaya memenangkan simpati pribumi Sinhala, mereka tidak hadir dalam jamuan kenegaraan yang diadakan untuk menyambut Rajiv Gandhi. Menhan Lalith Athulathmudali juga absen, karena ia langsung ditugasi mematahkan gelombang demonstran yang semakin menyebar ke beberapa distrik lain di selatan Colombo. Perjanjian perdamaian yang diprakarsai bersama oleh PM Rajiv Gandhi dan Presiden Jayewardene itu tak hanya terganggu oleh herbagai aksi kerusuhan di Colombo, tapi juga ternoda gara-gara ulah seorang anggota barisan kawal kehormatan. Orang ini secara tak terduga mengayunkan popor senjatanya ke leher dan pundak PM Rajiv yang sedang memeriksa barisan kehormatan. Dengan gerak refleks, Rajiv cepat merundukkan kepala hingga terhindarlah ia dari hantaman popor. PM India itu segera didorong oleh pengawal pribadinya ke dalam limousine, sedangkan si pelaku langsung diringkus. Menurut berita terakhir, pemberang yang tidak diketahui namanya ini pernah terlibat dalam partai terlarang, Front Pembebasan Rakyat Janatha Vimukhti Peramuna JVP). Hasil pemeriksaan dokter membuktikan lelaki berusia dua puluhan ini jiwanya tidak stabil. Sulit diramalkan adakah perjanjian ini akan segera mencetak perdamaian. Terutama karena Rajiv dan Jayewardene masing-masing digerakkan oleh motivasi yang pribadi sifatnya. Rajiv berusaha mengimbangi kegagalannya d dalam negeri, dengan memaksakan kemenangan diplomatik lewat perjanjian perdamaian itu. Jayewardene, yang usianya 80 tahun itu, ingin membuktikan bahwa ia juga mampu menciptakan keamanan bagi Sri Lanka. Tapi di luar dugaan, pemberontak Tamil menolak dilucuti, sebaliknya justru mengancam tentara India. Bahkan Velupillai Prabhakaran, 33 tahun, pimpinan LTTE, dalam wawancara dengan India Today menentang keras perlucutan senjata. "Persetujuan itu pasti gagal....Kami akan terus berjuang sampai titik darah yang penghabisan," ancam Prabhakaran dari sebuah hotel di New Delhi. Tokoh ini tak sudi kalau jerih payahnya selama 12 tahun membina LTTE -- organisasi gerilyawan Tamil terbesar -- harus diakhiri dalam tempo hanya tiga hari. "Jelas, perjanjian ini cuma menyenangkan pihak Sri Lanka. Apalagi kami tidak diajak berunding," ucapnya ketus. Gerakan pemberontak Tamil lainnya, EROS, sudah lebih dulu menolak dilucuti oleh pasukan India. Tapi jubirnya, V. Balakumar, menyatakan bersedia menyerah dengan syarat: perjanjian itu harus diratifikasi oleh parlemen Sri Lanka. Diperkirakan, Eros kini berkekuatan 2.000 pasukan bersenjata di Jaffna, LTTE mempunyai 6.000 gerilyawan berikut 500 orang di Madras. Belum jelas benar, memang, pendirian kelompok pemberontak Tamil itu. PM Rajiv pekan ini akan kembali ke Madras untuk mengadakan pembicaraan dengan Ketua Menteri Negara Bagian Tamil Nadu, M.G. Ramachandran. Berkat kerja sama Ramachandran juga -- yang sebelumnya pendukung tangguh pemberontak Tamil -- perjanjian itu akhirnya ditandatangani. Sekalipun begitu, perdamaian tampaknya masih jauh dari jangkauan. Minggu terakhir pekan ini, Jayewardene malah mengerahkan 900 orang pasukan lagi ke Colombo untuk menumpas aksi kerusuhan yang terus dilancarkan kelompok sayap kiri (JVP). Polisi telah menahan Muruttetuwe Ananda Thero, pendeta Budha, yang aktif mengerahkan massa. Akibat kerusuhan ini -- terbesar dibanding kerusuhan rasial pada tahun-tahun sebelumnya -- kehidupan ekonomi Sri Lanka lumpuh total. Yulia S. Madjid, Laporan kantor berita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus