LAPANGAN Merah, Moskow, kembali bergelora. Akhir Mei lalu karena Mathias Rust mendarat dengan Cesnna-nya di sana, sebulan kemudian karena aksi unjuk rasa yang rada berani juga. Sekitar 800 orang Tartar yang berkulit agak gelap -- dibanding warga Soviet lainnya -- duduk bergerombol di muka gerbang Kremlin. Protes ini dilancarkan dua kali, pertama pada 6 Juli, kemudian tanggal 23-26 Juli lalu. Mereka mengibarkan bendera biru-putih bertuliskan "tanah air atau mati", dan sesekali memekikkan nama Mikhail Gorbachev. Orang-orang Tartar itu menuntut wilayah otonomi di tempat asal mereka di Semenanjung Krim, bahkan minta izin dibolehkan kembali ke sana. Demonstrasi yang sopan ini baru bubar setelah para pemimpinnya dijanjikan bertemu dengan presiden Uni Soviet Andrei Gromyko. Ini pertama kalinya demonstrasi berlangsung sampai dua hari -- mereka sampai bermalam di "tempat bergengsi"itu. Sebelumnya aksi-aksi unjuk rasa tak ada yang mampu bertahan satu jam di sana, langsung dibubarkan polisi. Kali ini polisi bersikap longgar. Demo Tartar ini adalah anak cucu dari kaum minoritas yang pada tahun 1944 dibuang oleh Yosef Stalin dari Semenanjung Krim ke Siberia dan wilayah Soviet lainnya di Asia Tengah. Sebanyak 400 ribu warga Tartar dipindahkan, karena dituduh bekerja sama dengan Nazi Jerman. Tidak kurang dari 100 ribu orang dari mereka yang dikucilkan itu tewas dalam proses pemindahan tersebut. Sejak itu pemerintahan otonomi kaum Tartar di Semenanjung Krim dihapuskan dan orang Rusia banyak yang kemudian tinggal di sana. Kini kaum Tartar -- yang beragama Islam dan berkebudayaan Turki -- diduga jumlahnya 1 juta jiwa, tersebar di wilayah Asia Tengah, Ukraina, dan di selatan Soviet. Aksi mereka berlanjut lagi sehari, justru setelah bertemu Gromyko, Senin pekan lalu. "Kami tak mendapat jawaban yang kongkret. Kami tak puas," kata Sadrie Seytova, sang juru bicara. Konon, Gromyko mengimbau warga Tartar agar kembali dulu ke tempat tinggal mereka di Asia Tengah, sampai panitia yang dipimpinnya selesai bertugas. Para Tartar itu justru minta beraudiensi dengan Gorbachev. Maka, untuk kesekian kalinya AS dikorbankan sebagai kambing hitam. Pemerintah Soviet menuduh diplomat Amerika menghasut kaum Tatar. Sementara itu, Izvestia menyerang aksi Tartar yang dituduh menyalahgunakan glasnost dan demokrasi. Sedang kantor berita TASS menyebut tindakan protes itu sebagai "sikap ekstrem yang tak bertanggung jawab", seraya memperingatkan mereka pasti akan ditindak. Dan itulah memang yang terjadi. Jumat pekan lalu 12 pemimpin Tartar "dipaksa" meninggalkan Moskow. Namun, pemerintah masih tetap mengizinkan warga Tartar yang masih tinggal -- untuk berkumpul di Taman Ismailovo, Moskow. F.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini